Wednesday, May 22, 2013

Merindukan Profesor Menulis

Merindukan Profesor Menulis

Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Universitas Flores Kru Komunitas Baca dan Sastra Lamalera

GURU besar hanya nama. Demikian komentar Bung Joki Pos Kupang dalam salah satu edisinya. Saya lupa edisinya kapan. Saya memang terganggu, mungkin seperti juga komentar Bung Joki tersebut. Saya pikir komentarnya Bung Joki adalah bagian dari kegelisahan persis seperti yang saya rasakan. Kegelisahan saya bukanlah rasa iri hati atau ketidaksenangan saya terhadap para guru besar di perguruan tinggi NTT. Kegelisahan saya lebih pada apa yang telah diperbuat dengan jabatan guru besarnya untuk kemajuan NTT.
Jelas bahwa guru besar adalah seorang pengajar, tetapi pencapaian setelah jabatan guru besar itu apa? Tengok saja di lingkup perguruan tinggi NTT berapa banyak profesor yang ada. Jumlahnya belasan dengan spesialisasi yang mengagumkan. Saya tidak bermaksud menyindir para guru besar yang ada tersebut, tetapi saya juga ikut nimbrung dalam komentar Bung Joki, guru besar hanya nama.
Tulisan ini merupakan apresiasi serentak godaan yang tidak sesat, melainkan ajakan kepada guru besar yang ada di NTT untuk boleh merenung dan tercenung dengan segala karut-marut persoalan yang ada di NTT. Ajakan saya sangatlah sederhana, menulislah di koran-koran lokal/media massa di NTT. Intinya merindukan profesor menulis.

Saya sangat yakin bahwa guru besar atau profesor adalah gelar kehormatan yang tidak asal diberikan melainkan penghormatan atas pencapaian dalam kajian mendalam dari ilmu yang telah ditekuni seorang guru besar dengan berbagai persyaratan yang telah diikuti dan lulus.
Guru besar atau profesor di NTT sudah sepatutnya turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya. Berapa banyak jurnal ilmiah, buku-buku profesor yang diperoleh segmen pembaca seperti yang dicapai media massa? Hanya media massa yang mampu merebut segmen pembaca lebih daripada jurnal-jurnal ilmiah yang hanya dikonsumsi sebagian orang.

Media massa di NTT seperti Pos Kupang, Flores Pos, Timex dan surat kabar lainnya memberikan ruang berupa kolom opini. Kolom ini pastinya adalah ruang paling praktis para profesor mengulas secara tajam analisisnya secara tepat sebuah persoalan yang terjadi di lingkup propinsi NTT. Selama membaca Pos Kupang dan Flores Pos, paling-paling saya hanya menjumpai Prof. Dr. Alo Liliweri dan Prof. Dr. Mien Ratu Oedjoe. Dua profesor ini yang paling banyak saya jumpai tulisan mereka di media.

Profesor-profesor kebanggaan NTT harusnya menyadari bahwa saat di mana pengukuhan mereka sebagai guru besar adalah sebuah torehan sejarah. Sejarah yang obyektif tersebut adalah gambaran dinamika yang baik dan benar dari kehidupan yang membebaskan. Diktum ini memuat empat arti sejarah, yakni apa yang dihidupi, apa yang dinarasikan, apa yang didokumentasikan dan apa yang diinterpretasikan.
Menjadi guru besar adalah bagian dari sejarah yang membebaskan. Mengapa? Karena guru besar saat tampil dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar mengulas bidang kajian studinya yang selalu fokus berbicara tentang pemberdayaan manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat. Obyeknya dinamika kehidupan (masyarakat) manusia. Artinya memetakan masa depan, mengajarkan masa lalu (bdk Eddy Kristiyanto, OFM, Sejarah Sebagai Locus Philosophicus et Theologicus, Lamalera, 2008).

Semua yang terjadi dengan kehidupan (masyarakat) manusia adalah bagian rangkaian peristiwa yang telah terjadi. Penelitian-penelitian ilmiah misalnya saja selalu berakar pada kajian pustaka, konsep dan teori yang dihasilkan dengan mengaca dari rangkaian-rangkaian peristiwa kehidupan (masyarakat) manusia sebelumnya.
Dengan demikian guru besar dapat menulis secara lebih gamblang dan mendalam lewat media massa. Guru besar hendaknya lebih bernas memoles tulisan tentang aneka persoalan dengan langsung memberikan gambaran yang praktis. Penguasaan teori-teori yang hanya ditelorkan lewat ide-ide yang disampaikan dalam jurnal dan seminar-seminar, hemat saya, ibaratnya membuang garam di air laut. Mengapa? Jelas seperti yang saya kemukakan di atas, berapa jumlah pembaca yang tahu tentang jurnal-jurnal ilmiah?
Profesor menulis bukan demi profesor itu sendiri, melainkan demi suatu tanggung jawab sosial keprofesorannya. Dan andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisannya pada media massa.
Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar Indonesia menulis begini, “Saya berharap pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca tulisan saya, merasa berani, merasa dikuatkan.
Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Berani.” Semoga saja harapan Pramoedya Ananta Toer tersebut juga menjadi harapan para profesor-profesor di NTT untuk menulis. Jabatan profesor yang dianugerahkan hendaknya merangsang para profesor untuk tidak tinggal diam-diam dengan jabatan tersebut tetapi mesti terganggu.

Dimuat di Pos Kupang Cetak Edisi Sabtu, 4 Juni 2011. Artikel ini dapat di kunjungi di http://202.146.4.119/read/artikel/63772/editorial/opini/2011/6/4/merindukan-profesor-menulis


Tulisan ini kemudia ditanggapi oleh Prof. Yusuf Leonard Henuk 

No comments: