Wednesday, April 29, 2015

Revolusi Mental Untuk Jokowi (2)

Setelah penghentian sementara dua pimpinan KPK Jokowi mengangkat tiga pimpinan sementara KPK. Banyak pihak menilai bahwa ini merupakan langkah tepat Jokowi untuk mengatasi kriminalisasi KPK. Hal ini semakin diperkuat dengan pembatalan BG sebagai Kapolri meski DPR telah menyatakan bahwa BG lolos uji kelayakan dan kepatuhan sehingga pantas menjadi Kapolri. Akan tetapi kebijakan ini berat sebelah. Pada satu sisi, Jokowi segera menonaktifkan dua pimpinan KPK yang terjerat kasus, pada sisi yang lain Jokowi tidak menonaktifkan BG dari Polri.

Apa yang dilakukan Jokowi sesungguhnya mempertegas fakta yang terjadi bertahun-tahun bahwa Hukum di Indonesia bukan untuk menjamin keadilan tetapi justru untuk mempertegas ketidakadilan. Pihak yang lemah dan yang teguh berjuang membongkar kejahatan begitu mudah dikriminalisasi bahkan dibunuh sementara pihak yang kuat seringkali luput dari jeratan hukum meski jelas kejahatannya bagi banyak orang.

Tentu saja apa yang diduga dilakukan oleh dua pimpinan KPK nonaktif itu patut diselidiki kebenarannya. Jika salah, keduanya pun pantas untuk dihukum. Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini bukanlah suatu upaya menegakkan hukum tetapi lebih sebagai sebentuk pembalasan. Apa yang dilakukan kedua pimpinan KPK nonaktif itu bukan baru sekarang diketahui pihak kepolisian. Kasus keduanya baru mencuat setelah KPK menetapkan BG sebagai tersangka. Maka apa yang dialami oleh kedua pimpinan KPK nonaktif itu patut dikatakan sebagai suatu bentuk kriminalisasi.

Sementara, BG yang telah ditetapkan sebagai tersangka tetap dibiarkan berdinas. Hal ini tentu saja sangat aneh bagi masyarakat kecil. Hukum sebagaimana sudah terlalu sering dikatakan bahwa tumpul ke atas dan tajam ke bawah.Pada satu sisi, Jokowi menonaktifkan pimpinan KPK yang terjerat kasus, pada sisi lain Jokowi membiarkan tersangka korupsi terus berkuasa.

Kalau pertimbangan bahwa kedua pimpinan KPK dinonaktifkan agar proses hukum bisa berjalan dengan baik dan juga KPK sendiri tetap bisa bekerja maksimal, maka seharusnya tindakan yang sama diterapkan juga pada BG. Akan tetapi Jokowi justru bertindak sangat berbeda. Padahal, pengaruh BG pada Polri sangat luar biasa. Hal ini bisa dilihat pada proses praperadilan KPK oleh BG. Dalam proses itu, BG ditetapkan sebagai tersangka sebagai seorang pribadi. Tetapi dalam proses praperadilan, KPK berhadapan dengan pihak kepolisian sebagai satu lembaga.

Maka ketika putusan Hakim Sarpin memaksa KPK untuk melimpahkan kasusnya pada pihak kejaksaan dan selanjutnya pihak kejaksaan "menghadiahkan" pihak kepolisian untuk menyelesaikan kasus BG, penyelesaian kasus ini tentu sangat mudah dibaca arahnya. Lain hal jika BG pun dinonaktifkan dari kepolisian. Namun itu tidak dilakukan sang Presiden.

Persoalan paling besar di negara ini justru pada persoalan hukum. Maka untuk membangun negara ini dengan ide revolusi mental, revolusi mental yang paling utama adalah pada aparat penegak hukum. Sebab pada semua negara, revolusi mental sesungguhnya sudah ada dan dilakukan dalam sistem hukum. Dalam sistem penegakan hukum, yang salah dihukum. Dan hukum dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada pihak yang menjadi korban tetapi sekaligus memberi efek jera agar sang terdakwa tidak melakukan kejahatan lagi.

Namun yang terjadi, Jokowi dengan ide revolusi mentalnya justru tidak menyentuh aspek kebobrokan penegakan hukum itu sendiri. Dan ini menjadi peluang semakin hancurnya penegakkan hukum di Indonesia ini. Dan korupsi akan semakin membudaya dengan pembiaran BG berdinas dan membiarkan KPK dihancurkan. 

EMBONG LARIK: THE ART OF CACI, THE ART OF LIFE


Ini foto di Cijantung di Jakarta. Bukan di Manggarai, Flores. Kitorang di Jakarta main caci juga. Dan memang lebih nikmat main caci di tanah rantau. Apalagi di kota Metropolitian. Tapi kalau kitorang yang merantau masih main caci, mestinya di Manggarai, Flores, lebih sering lagi.
Nah, kalau lihat foto ini, mungkin saja timbul pertanyaan soal ekspresi wajah para jagoan ini. Ini pemain yang tangkis nampak serius, konsentrasi, waspada. Sementara pemain yang pegang larik yang hendak melakukan pemukulan, nampak senyum-senyum, santai. Gak salah nih?! Iya gak salah.
Ini salah satu seni dalam permainan caci (the Art of Caci), sama seperti "The Art of War" (Seni Perang)-nya Sun-Tzu. Dalam foto ini pemain yang hendak memukul ini sedang melakukan aksi Seni Embong Larik. Artinya harifiahnya, meninabobokan larik (cambuk). Artinya, sebenarnya bukan meninabobokan larik, tetapi meninabobokan lawannya, pemain yang menangkis. Bikin lawannya itu "temo" (terlena, lengah, tidak waspada), dengan cara bersenandung - menyanyikan lagu Manggarai yang tujuannya memang meninabobokan. Di tengah senandungnya atau kapan saja, dia merasa bahwa pihak lawannya itu terlena, tidak waspada, dia akan melakukan serangan yang mendadak (Sudden Attack). Karena pihak lawannya, harus tetap waspada, awas, tidak terlena, selama dia bersenandung. Embong Larik merupakan bagian dari The Art of Caci. Seni bermain caci.
Embong Larik sebagai The Art of Caci mengandung dua aspek ajaran yang merupakan bagian dari Filosofi Caci. Pertama, manusia Manggarai dalam aktifitas kehidupannya, dalam perjuangannya, tidak lepas dari berkesenian yang merupakan santapan jiwanya. Perjuangan hidup untuk mencapai tujuan tidak selalu dicapai dengan keseriusan yang luar biasa yang bisa bikin putus semua urat, tapi pencapaian tujuan itu bisa juga dilakukan dengan gaya Embong Larik. After all, life itself is a song. Hidup itu sendiri adalah suatu tembang yang kita nyanyikan. Kedua, walaupun demikian, sikap waspada, eling, kesadaran (awareness) harus selalu berada pada puncaknya, karena kita tidak tahu kapan bahaya itu datang, kapan serangan itu menghantam kita. Maka, seperti dalam ajaran Yesus, pelita kesadaran, kewaspadaan itu, pelita berjaga-jaga itu selalu ditempatkan di atas gantang, bukan di bawah gantang. Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan pelita kesadaran dan kewaspadaan dan menempatkannya di bawah gantang.
Begitulah ajaran dalam Seni Embong Larik sebagai bagian dari The Art of Caci yang sebenarnya merupakan Seni Kehidupan (The Art of Life) manusia Manggarai pemilik Budaya Caci itu. Maka, ketika kamu orang main caci atau nonton caci, main atau nontonlah dengan menyalakan pelita kesadaran akan nilai-nilai kultural yang diajarkan dalam Seni Caci itu. Semoga.

Merehabilitasi Yudas dan Petrus

Oleh John Mansford Prior, SVD
Pastor Rutan Negara Maumere

TERLEPAS dari maksud tulisan Inosentius Mansur (Opini 7 April 2015), saya tertarik dengan penilaiannya tentang dua rasul yang berperan dalam Kisah Sengsara Yesus, yakni Yudas Iskariot dan Simon Petrus. Tandas Mansur, Yudas "membohong" ketika mencium gurunya di Taman Getsemani (Mrk 14:45), dan Simon Petrus "membohong" ketika menyangkal Yesus di halaman Mahkamah Agama (Mrk 14:66-72). Hemat saya, penilaiannya terlalu blak-blakan.

Apakah betul Yudas mengkhianati Yesus hanya untuk 30 keping perak saja? Mungkin, tapi belum tentu. Benar, seperti para bendahara pada umumnya Yudas dicurigai malah dicap seorang "pencuri" oleh Penginjil Yohanes (Yoh 12:6). Tetapi sebetulnya, ada tafsiran lain yang cukup meyakinkan.
Yudas dijuluki "Iskariot", artinya "pembawa belati", yaitu dari aliran patriot/nasionalis yang fanatik, seorang simpatisan kaum gerilyawan yang melawan penjajahan militer Roma. Yudas mengikuti Yesus yang mengelilingi Galilea dan Yudea sambil mengumumkan kedatangan Kerajaan Allah. Dan, sama seperti semua murid lain, Yudas menanti berdirinya Kerajaan Daud di Yerusalem. Tidak ada murid yang tepat memahami apa yang dimaksudkan Yesus. Apa lagi menjelang perayaan Paskah Yesus memimpin sebuah pawai palma, sejenis demo damai, ketika memasuki Kota Yerusalem dan rakyat menyambutnya dengan teriakan "Hosana Putra Daud". Rasanya, hanya sesaat lagi dan kerajaan Daud akan Yesus umumkan, lantas Gubernur Pilatus dan tentara Roma diusir, dan umat Allah bisa sekali lagi menikmati kemerdekaannya di bawah kedaulatan Allah.

Jadi, apa sebetulnya tujuan Yudas dengan "mengkhianati" Yesus? Kita pasti ingat sebuah kisah kecil yang menggegerkan kaum nasionalis Indonesia menjelang 17 Agustus 1945. Anak muda Adam Malik bersama Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana, menculik Bung Karno dan Bung Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Mereka bermaksud memaksa Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dan, keesokan harinya proklamasi
dimaklumkan.

Boleh jadi Yudas Iskariot, simpatisan (atau anggota?) kaum nasionalis fanatik punya maksud serupa. Dengan membawa serombongan orang dengan pedang dan pentung ke Taman Getsemani, Yudas hendak memicu proklamasi berdirinya Kerajaan Daud. Sekarang kita menyadari bahwa visinya, sebagaimana visi murid-murid lain, baik laki-laki pun perempuan - memang keliru. Strategi dan taktik Yudas juga meleset dan berakibat tragis. Maka, sesudah menyaksikan bahwa Yesus tidak melawan - para murid sudah siap dengan pedang (Luk 22:38) -tetapi Yesus menyerahkan diri begitu saja, Yudas putus asa, mengembalikan uang pembayarannya itu, dan membunuh diri. Taktik Adam Malik berhasil - visinya sejalan dengan visi dan harapan Sukarno. Taktik Yudas gagal - Yesus punya visi dan strategi lain.

Sebelum Yudas menawar jasanya kepada Dewan Imam mereka sudah mengambil keputusan untuk mengamankan Yesus, keputusan yang mereka ambil sesudah Yesus mengacau-balaukan persiapan persembahan yang sah di alun-alun Bait Allah - dan pada masa yang paling sibuk. Dalam sidang Pengadilan Agama, Yesus dijatuhkan hukuman mati karena murtad, karena menganggap dirinya putra Allah. Dalam sidang Pengadilan Negeri, Yesus dijatuhkan hukum mati karena subversif dengan menerima gelar "raja". Kita dapat membaca di sini bahwa Yesus disalibkan karena gerakannya mengancam hirarki agamanya dan posisi pemerintah penjajah. Yesus menerima dengan tenang akibat dari pewartaannya, panggilannya untuk membebaskan umat manusia; dan Yudas membuka jalan untuk itu.

Dan Simon Petrus? Apakah ia menolak Yesus hanya karena takut ditahan, diadili, dihukum mati? Mungkin saja. Tapi, ada kemungkinan lain. Petrus tidak kenal sosok Yesus yang diborgol, didera, dimahkotai duri, seorang Yesus yang menyerahkan diri begitu saja kepada pemerintah penjajah. Yesus macam itu Petrus tidak kenal. Yesus yang Simon Petrus kenal selama dua-tiga tahun adalah Yesus Sang Penyembuh, Sang Nabi yang membangkitkan orang mati, yang memperganda roti dan ikan, yang meredakan badai, Sang Putra Daud yang memimpin demo memasuki Kota Yerusalem, Sang Putra Allah yang membuka Bait Allah bagi segala bangsa (Mrk 11:17). Simon Petrus mengenal dan mengikuti Sang Rabi dan Guru yang serba kuat nan "jantan", bukan Yesus yang kalah dan nampak serba impoten.
Pada umumnya kita cenderung membaca Injil hanya dari pihak "Yesus" atau dari pihak orang yang percaya. Sebetulnya, tak salah jika kita juga membaca kisah-kisah Injil dari pihak masing-masing pelakon dalam adegan-adegan tertentu. Pernah, misalnya, di pedalaman Flores kami membaca kembali Kisah Sengsara Yesus dari berbagai pihak: sejumlah ibu mengulangi kisahnya dari sisi ibu-ibu Yerusalem, kelompok lain dari sudut pandang tentara Roma (anak-anak kampung, malah ada anak dari ibu-ibu Yerusalem, dus perspektif mereka bertolak belakang), sejumlah umat lain menceritakan pengalaman mereka pada Jumat sore itu sebagai teman-teman penyamun (nasionalis/gerilyawan) yang disalibkan bersama Yesus. Sesudah itu, diadakan diskusi hangat di antara para ibu Yerusalem, anak-anak mereka yang masuk angkatan bersenjata, teman-teman penyamun, dan rasul laki-laki yang tak hadir. Ramai. Yang mengejutkan ialah bahwa kami menjadi sadar bahwa sifat dari masing-masing pelakon hadir pula dalam diri kami.

Jadi, ada untung jika kita tidak begitu saja menilai Yudas Iskariot dan Simon Petrus secara blak-blakan. Dengan membaca kembali Kisah Sengsara dari sudut pandang pelaku yang percaya dan yang tidak percaya, dari sisi simpatisan Yesus pun lawannya, dari perspektif orang yang yakin dan orang yang bingung, murid yang tanggap dan murid yang keliru, kita dapat menemukan dalam diri kita sedikit-sedikit dari sifat seorang Yudas (maksud baik, namun harapan dan taktik salah) dan seorang Petrus (mau ikut orang yang berkuasa, bukan orang yang dikalahkan/ distigmatisasi). Biar kita tidak sampai "merehabilitasikan" Yudas Iskariot, paling kurang kita bisa mulai memahaminya, dan lebih memahami diri kita sendiri. *