Thursday, May 30, 2013

motor kreditan






kredit motor? Ini menjadi suatu tren sekarang ini. Peningkatan jumlah sepeda motor dalam beberapa tahun belakangan ini memang cukup menggembirakan bagi masyarakat yang berada di daerah dengan sarana transportasi yang belum memadai. Kehadiran motor bisa mempercepat pergerakan barang dan jasa yang berbuntut pada kemajuan ekonomi. Akan tetapi apakah yang sesungguhnya terjadi di balik kemajuan tersebut??
Saya sudah cukup sering berbincang-bincang dengan para pemilik motor. Tetapi hampir sebagian besar pemilik motor yang saya temui ternyata memiliki motor dengan cara kredit. Awalnya saya berpikir bahwa sungguh bagus ada orang yang mau memberikan kredit motor kepada masyarakat kecil yang miskin. Dalam bayangan saya, dengan bantuan kredit motor seperti ini, orang-orang miskin yang kesulitan mendapatkan akses pada sarana transportasi untuk mobilitasnya membawa barang dagangan dari desa di pegunungan ke pasar akan sangat terbantu dengan adanya kemudahan memiliki motor. Kredit motor rasanya akan memudahkan masyarakat miskin untuk beranjak perlahan menuju keadaan ekonomi yang lebih baik karena hasil perkebunannya bisa lebih mudah diperjualkan. Selain itu, kredit motor memberikan suatu kesempatan bagi banyak orang untuk memiliki pekerjaan sebagai tukang Ojek. Ini jelas menghidupkan perekonomian.
Namun sayang.
Di balik bayangan indah di pikiran saya,saya akhirnya menemukan bagaimana kehidupan masyarakat kecil yang miskin itu ternyata semakin ditekan. Motor kredit tidak lagi seperti dalam bayangan saya. Motor kredit lebih menjadi alat eksploitasi. Bagaimana mungkin?
Bayangkan saja motor seharga Rp 13 Jutaan bisa menjadi Rp 23 jutaan jika kredit. Selisihnya sekitar Rp 8 Jutaan hingga belasan jutaan. Fantastis kan? Eksploitasi yang tak terlalu kelihatan. Keuntungan yang terlalu mencekik hidup masyarakat kecil yang sudah miskin melarat. Mungkin dengan cicilan sebesar Rp 500.000 an ribu per bulan, kita melihatnya cukup kecil dan sangat membantu. Tetapi coba kita singkirkan sepintas angka itu, dan alihkan pikiran pada tukang ojek pemilik motor kredit. Penghasilan sehari untuk tukang ojek di wilayah kota Maumere berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 70.000. Kita ambil rata-rata penghasilan tukang ojek sekitar Rp 40.000 sehari. Penghasilan ini tergantung keadaan, jika hujan maka penghasilan tukang ojek pasti sangat sedikit. Akan tetapi uang yang didapat ini mesti disisihkan untuk membeli bensin, kita perkirakan sekitar Rp 15.000 sehari (Sisa Rp 25.000). Kalau si tukang ojek harus membayar cicilan motor per bulan sebesar Rp 500.000, maka setiap hari ia harus menyisihkan uang sebesar minimal sekitar Rp 16.000. Maka uang yang tersisa untuk membiayai hidup sekitar Rp 9.000. Kalau tukang ojek tersebut masih bujang, maka uang tersebut hanya pas untuk sekali makan, tetapi kalau sudah berkeluarga maka sepiring nasi mesti dibagi untuk istri dan anak.
Hitungan ini masih sangat kasar dan masih bisa diperdebatkan. Tetapi, kurang lebih seperti itulah pendapatan bersih seorang tukang ojek dengan motor kredit. Tentu saja pendapatannya akan semakin berkurang jika kita harus menghitung pengeluarannya untuk keperluan motor lainnya seperti untuk tambal ban (memang ini jarang terjadi), kemudian untuk mengganti Oli atau biaya perawatan motor lainnya.
Kalau kita menghitung lagi dengan keadaan jalan yang sangat buruk, maka ketika kredit motor tersebut telah lunas, keadaan motor pun sudah sangat jauh dari baik. Belum lagi kalau kita harus memperhitungkan kesehatan sang ojek yang setiap hari harus berhadapan dengan angin dan panasnya mentari. Belum lagi getaran yang semakin berat dipengaruhi oleh kondisi jalan yang buruk
Dalam keadaan seperti itu, masih wajarkan keuntungan jutaan rupiah yang diperoleh pemberi kredit motor????
Film ini menggambarkan sedikit dari realitas tersebut.

Wednesday, May 22, 2013

Spider Webs Fields In Manggarai


Lodok adalah bentuk pembagian lahan yang memiliki satu titik pusat sehingga berbentuk seperti jaring laba-laba. Model pembagian ini merupakan suatu model pembagian khas Manggarai.

Mbolata: A Beautiful Beach

Pantai Mbolata Mulai Ramai Dikunjungi Wisatawan



  
Pantai Mbolata yang terletak di bibir pantai Mbolata, Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur mulai ramai dikunjungi para wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik. Setiap hari libur ratusan wisatawan memadati pantai yang berjarak sekitar 30 kilometer arah Timurkota Borong, ibukota Manggarai Timur itu. Pengunjung masih didominasi oleh wisatawan domestik.
Fransiscus de Rosari Huik, seorang pelaku wisata setempat mengaku, pantai Mbolata masih merupakan salah satu lokasi wisata andalan yang diminati para wisatawan terutama wisatawan lokal. “Sejak tahun 2008 lalu ketika saya mulai membuka akses wisata di lokasi ini, banyak wisatawan mulai berkunjung ke sini. Namun pengunjung masih didominasi  oleh wisatawan lokal terutama anak-anak sekolah. Sedangkan wisatawan asing belum terlalu banyak tetapi dari catatan kami sudah mencapai lebih dari 1000 wisatawan mancanegara yang datang ke sini,” ujar pemilik Cottage Mbolata ini kepada FBC di pantai Mbolata belum lama ini.
Dikatakan, persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di wilayah Manggarai Timur pada umumnya yakni masalah buruknya infrastruktur jalan dan belum tersedianya pelayanan umum seperti listrik. Akses jalan dan listrik menjadi persoalan yang sangat dirasakan oleh para wisatawan dan pengelola pariwisata. Saat ini jalan menuju ke sejumlah obyek wisata termasuk ke pantai Mbolata belum diaspal demikian juga listrik hanya menyalah pada malam hari.
Jaringan listrik belum masuk ke lokasi wisata sehingga mempersulit para pengelola wisata untuk melayani para pengunjung secara lebih memadai. Belum tersedianya jaringan listrik membuat pihaknya terpaksa melayani tamu dengan menu masakan seadanya.”Karena belum ada listrik, kami terpaksa masak dari rumah dan lebih banyak bahan masakan organik yang tidak membutuhkan listrik,”tambahnya.
Rata-rata pengunjung merasa senang dan menikmati keindahan alam, budaya serta memahami kondisi infrastruktur yang belum memadai. Selain masalah minimnya ketersediaan infrastruktur publik, ancaman yang kini dihadapi yakni abrasi pantai yang dari tahun ke tahun semakin mengkwatirkan. Bahaya abrasi kini semakin mengancam kawasan pantai yang disebut-sebut sangat cocok untuk berselancar itu. Menurut keterangan, abrasi di kawasan itu semakin “menggila” sejak 5 tahun belakangan ini. Untuk menanggulangi ancaman abrasi, De Rosari bersama warga setempat mulai menanam sejumlah pohon seperti anakan waru di sejumlah titik untuk melindungi kawasan itu dari terjangan abrasi.

G 30-S, Kita dan Viktimasi Korban Tiga Tingkat

G 30-S, Kita dan Viktimasi Korban Tiga Tingkat
Pos Kupang - Rabu, 29 September 2010 | 00:02 WITA
More Sharing Serv|Share on facebookShare on myspaceShare on googleShare on twitter

PERSOALAN  G 30 S kembali hangat diperbincangkan sejak bergulirnya reformasi. Banyak orang mulai meragukan kebenaran peristiwa sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah atau dalam film Janur Kuning itu. Sejak reformasi, paling kurang muncul empat versi baru tentang dalang di belakang kejadian 30 September 1965 itu.
Pertama, teori WF Wertheim, Coen Holtzappel serta media dan jurnalis Amerika yang mengatakan bahwa Soeharto dan CIA (Badan Intelijen Amerika) yang melakukan operasi intelijen untuk menjebak PKI. Kedua, operasi intelijen Partai Komunis China yang mendalanginya. Ini pernah dikemukakan oleh pihak Amerika dan CIA, lalu dianulir kembali. Ketiga, menurut peneliti dari Universitas Cornell, penyebab pembunuhan adalah konflik internal TNI. Keempat, teori Anthony Dake bahwa Presiden Soekarno sendirilah pelakunya. TNI-AD dan Amerika kemudian menyokong teori ini untuk menjatuhkan Presiden Soekarno yang diklaim membuat sebuah skenario yang melibatkan PKI untuk menghabisi lawan-lawan politiknya, terutama Dewan Jenderal yang pernah berusaha mengkudetanya.
Terlepas dari kontroversi sejarah seputar pelaku gerakan tersebut, kita tak dapat mengelak kenyataan bahwa banyak masyarakat yang menjadi korban peristiwa tersebut. Banyak orang yang dibunuh karena diduga menjadi anggota ataupun simpatisan kelompok terlarang, PKI. Namun di belakang semuanya itu, kita harus jujur bahwa hal itu terjadi dalam suatu kerangka mencari dan merebut kekuasaan. Kejadian yang menjadi awal pembantaian terhadap satu juta lebih masyarakat di seluruh tanah air itu menjadi bagian dari proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Peristiwa G30S memang telah lama berlalu, namun luka yang ditinggalkannya masih terus menganga, bahkan semakin menimbulkan borok. Upaya memendam kekelaman sejarah bangsa ini dengan dalil melupakan suatu kebiadaban di masa lalu justeru menjadi virus yang terus menimbulkan luka-luka baru. Upaya melupakan sejarah kelam tersebut tanpa suatu rekonsiliasi bagaikan membiarkan duri terus menancap dalam daging.
Entah bagaimana persoalan sebenarnya yang telah merobek hati bangsa, peristiwa tahun 1965 hingga 1966 tersebut patut kita refleksikan kembali saat ini. Hemat saya, bukanlah hal naif bila kita memiliki kecemasan akan terjadinya peristiwa serupa di masa mendatang. Kita perlu berjaga-jaga agar peristiwa yang telah menelan jutaan nyawa tak berdosa itu tidak terjadi lagi dalam cara apa pun.
Viktimisasi korban  tiga tingkat
Masyarakat Indonesia yang hidup pada tahun 1965 rata-rata merupakan masyarakat yang miskin. Walaupun telah merdeka selama dua puluh tahun, namun kemiskinan tetap menguasai masyarakat Indonesia pada umumnya. Di pihak lain, segelintir orang justeru semakin meningkat taraf hidupnya. Hal ini terjadi karena sistem yang ada waktu itu tidak mengakomodasi seluruh masyarakat Indonesia untuk maju dan berkembang. Sistem yang ada hanya berpihak pada segelintir orang. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa pada masa-masa awal kemerdekaannya itu, banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban ketidakadilan oleh sistem yang berlaku saat itu.
Pengorbanan masyarakat kecil pun kembali terjadi sejak terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal TNI-AD. Masyarakat yang buta terhadap politik dan tidak banyak tahu tentang partai politik dikorbankan karena menjadi pengikut PKI. Dalam kemiskinannya yang diakibatkan oleh sistem yang tidak adil, jutaan masyarakat Indonesia dibunuh secara kejam tanpa alasan yang pasti. Mereka yang tak bersalah dikorbankan dan dianggap pemerintah sebagai orang-orang yang bersalah dan patut dilenyapkan dari muka bumi.
Namun, para korban ini kembali dikorbankan dengan manipulasi tentang kebenaran mereka ini. Melupakan sejarah kelam tahun '65 hingga '66 dengan semua korbannya sambil membentangkan sejarah para pemenang merupakan suatu bentuk manipulasi terhadap kebenaran yang ada tentang para korban. Jelaslah bahwa sejarah hampir selalu menunjukkan bahwa yang kalah akan selalu kalah juga di hadapan hukum. Walter Benyamin benar ketika mengatakan bahwa sejarah bangsa-bangsa merupakan sejarah para pemenang, sejarah dari mereka yang berkuasa.
Satu jutaan masyarakat Indonesia yang menjadi korban tahun 1965 hingga 1966 merupakan kelompok yang kalah. Namun setiap korban ini entah yang masih hidup maupun sudah meninggal tetap membutuhkan hukum sehingga kebenaran dapat ditegakkan dan sejarah yang tertulis dapat memperhatikan aspek korban juga. Kenyataannya hingga saat ini tidak ada kejelasan hukum tentang para korban, apalagi para pelakunya dan sejarah tetap menjadi sejarah para pemenang dengan klaimnya yang selalu mempersalahkan yang kalah. Hal inilah yang kita sebut sebagai viktimisasi korban tiga tingkat.
Konteks kita
Dalam konteks kita saat ini, korban masih terus berjatuhan, tetapi dalam cara yang kurang tampak sebagaimana terdapat dalam peristiwa tahun 1965 hingga 1966 sehingga banyak orang menganggapnya bukanlah sebentuk kejahatan lagi. Banyak yang melihat bahwa dalam zaman  reformasi ini bentuk-bentuk korban seperti peristiwa '65 dan 66 tidak ada lagi. Namun, bila kita jujur sebenarnya ada banyak orang yang dikorbankan dalam perhelatan politik. Sistem demokrasi yang kita anut selama ini dipelintir sebagai bentuk baru dan halus dalam mengorbankan orang lain (masyarakat lemah) demi kekuasaan. Jelaslah bahwa selalu ada korban dalam berbagai pergolakan kekuasaan. Dalam kerangka mencari kekuasaan ini, kita dapat melihat suatu bentuk viktimisasi terhadap rakyat lemah yang telah menjadi korban sistem yang ada dalam negara kita saat ini.
Susksesi kepemimpinan dari pusat hingga kabupaten justeru menjadi ajang pengorbanan kembali rakyat kelas bawah tersebut. Sistem demokrasi yang 'mengagungkan' rakyat sebagai pemegang kekuasaan justeru digunakan untuk merendahkan martabat rakyat itu sendiri. Pilpres, Pilgub, Pilkada hingga Pileg sarat dengan berbagai bentuk viktimisasi korban. Masyarakat kecil yang dianggap lemah dan tidak memiliki daya kritis, yang adalah korban dari sistem yang tidak adil, diperalat, dimobilisasi, dikibuli dan direndahkan dalam berbagai kampanye politik. Mereka yang telah menjadi korban dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme kini dikorbankan dan diperalat demi mencapai kekuasaan. Hal ini malah sudah sangat banal. Seakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas demokrasi di negeri ini. Kampanye dirangkai sedemikian rupa sehingga bisa memperdaya masyarakat yang kurang memiliki daya kritis, guna mendulang dukungan sebanyak-banyaknya. Sementara kebenaran isi kampanye bisa jadi dinomorsekiankan. Sekali lagi, masyarakat kelas bawah dikorbankan demi kekuasaan.
Selain itu, money politics menjadi senjata lain yang terus mengorbankan masyarakat kelas bawah. Penguasaan politik oleh uang (para pengusaha) menjadikan politik kita timpang dan cenderung membela kepentingan mereka yang memiliki modal.  Pembelian suara rakyat dalam berbagai pemilihan juga menjadi bentuk lain dari money politic yang sangat merendahkan martabat masyarakat. Uang mereduksi manusia menjadi budak yang tidak mampu menentukan pilihannya sendiri. Akibat lanjutnya dapat ditemukan setelah pemilu usai, para pemodal (sumber modal dalam kampanye) menjadi pengendali kekuasaan sehingga berbagai kebijakan yang diambil pemerintah lebih berpihak pada kepentingan mereka sementara kesejahteraan masyarakat dilupakan. Kembali rakyat dikorbankan.
Bentuk viktimisasi korban di atas merupakan sedikit dari banyaknya tindakan serupa yang terjadi dalam kerangka memperebutkan kekuasaan dan kelihatan lebih halus dari yang terjadi sejak 30 September 1965 tersebut, namun akibat yang ditimbulkannya tidak kalah buruknya dengan peristiwa G 30 S PKI tersebut. Bentuk viktimisasi korban di atas menjadi alasan mengapa banyak masyarakat lemah tetap miskin, sementara yang kaya semakin kaya. Walaupun rakyat tidak dibunuh secara kejam seperti sejak G30S PKI, namun banyak rakyat kita yang dibunuh secara perlahan karena diperas oleh sistem  dan pemerintahan yang tidak adil.
Itu hanyalah sedikit dari sekian banyak bentuk viktimisasi yang dialami rakyat. Sejak kemerdekaan Indonesia ini, masyarakat lemah selalu dikorbankan dalam setiap pergantian kekuasaan. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa keluar dari persoalan seperti ini. Kita selalu berharap agar dalam berbagai pergolakan merebut tampuk pemerintahan di negara kita ini, rakyat tidak lagi dikorbankan.
Hal ini hanya bisa terwujud bila kita bisa membuka diri terhadap suatu kenyataan perbedaan. Keterbukaan terhadap kenyataan berbeda memungkinkan kita untuk saling menghargai dan melihat bahwa setiap orang penting dan sederajat. Dengan pandangan seperti itu diharapkan tidak ada lagi upaya menjadikan orang lain sebagai korban demi mencapai tujuan (kekuasaan).
Karena itu, kita membutuhkan suatu bentuk demokratisasi pada tataran hati nurani sehingga dalam setiap pergantian kekuasaan kita selalu menghargai perbedaan. Dengan demikian setiap orang tidak menjadikan orang lain sebagai korban demi pencapaian tujuannya. Disposisi batin seperti ini sangat penting bagi kita di zaman dengan tendensi kuat ke arah homogenitas ini. Dengan itu, kita diharapkan bisa menghidupkan demokrasi di negara ini secara lebih nyata. sehingga tidak ada lagi rakyat yang dikorbankan atau dikorbankan berkali-kali lagi. *

FLorianus Geong
Krew KMK Ledalero, Maumere

YLH: Profesor Penulis Dari Undana

YLH: Profesor Penulis dari UNDANA

Oleh Yusuf Leonard Henuk
(Guru Besar Fapet Undana)
JUDUL tulisan ini sengaja dipilih untuk memperkenalkan nama penulis yang telah lama dikenal di dunia maya sebagai To’o YLH dari Universitas Nusa Cendana (Undana) yang kebetulan terpilih mewakili universitas-universitas di wilayah Indonesia Tengah sebagai seorang ‘profesor penulis produktif’ yang telah diwawancarai wartawan Media Indonesia sekaligus menanggapi opini dari Hengky Ola Sura (HOS) yang mengawali opininya dengan mengangkat komentar Bung Joki berjudul: “Guru Besar Hanya Nama” ketika menurunkan opininya berjudul:
“Merindukan Profesor Menulis” (Pos Kupang, Sabtu, 4 Juni 2011: 4). YLH sendiri telah lama menulis opini terkait komentar Bung Joki di media massa yang mungkin komentar ini diambil Bung Joki dari opini YLH berjudul: “Guru Besar Hanya Nama” (Timor Express, Senin, 2 Juni 2008: 4).

Sebagai seorang Guru Besar (GB) dari Undana yang tergolong sebagai ‘profesor penulis’ selain kedua senior YLH yang telah disinggung HOS yaitu: Prof. Dr. Alo Liliweri dan Prof. Dr. Mien Ratoe Odjoe, tapi sayang tak dijumpai namanya bersama seniornya Prof. Dr. Felyanus Sanga oleh HOS yang hanya terfokus pikirannya membaca Pos Kupang dan Flores Pos, walaupun YLH khususnya sudah lama menulis di Pos Kupang sejak opini pertamanya berjudul: ‘Raih Gelar Doktor: Memangnya Gampang?” (Pos Kupang, Senin, 29 April 2002: 4 & 7).

Sedangkan, kedua profesor baru di Undana yang telah dikukuhkan pada tanggal 16 April 2011 telah lama menulis bersama di Pos Kupang untuk kedua opini mereka berikut: (1) Henuk dan Sanga (2006): “Undana: 44 Tahun Belum Publikasi 44 Buku” (Pos Kupang, Jumat, 1 September 2006: 11 & 15) dan (2) Sanga dan Henuk (2006): “Budaya Membaca dan Menulis di Kalangan Dosen” (Pos Kupang, Jumat, 23 September 2006: 11).
Sebagai informasi khusus kepada HOS, YLH hingga kini sudah menulis 20 opininya yang dimuat di Kupang Pos dari total 62 opininya yang tergolong journalistik papers yang terbit di media massa lokal di NTT dan SUMUT.

YLH pun telah mengungkapkan rasa terima kasih pada hari pengukuhan GB-nya pada tanggal 16 April 2011 kepada semua media massa lokal di NTT yang telah ‘membesarkan’ namanya ke mancanegara:
(1) Pos Kupang (www.pos-kupang.com), (2) Timor Express (www.timorexpress.com) dan khususnya (3) Kursor yang rutin meliput dan memberitakan gugatannya melawan Rektor Undana tanpa pengacara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang lalu disusul upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya (www.pttun-surabaya.go.id) dan berakhir melakukan upaya hukum kasasi dan penarikannya di Mahkamah Agung RI (www.mahkamahagung.go.id).

Pada kesempatan ini, YLH ingin memperkenalkan dirinya sebagai ‘profesor penulis dari Undana’ agar dikenal dan disayangi para pembaca sesuai kata-kata yang sudah umum dipakai ‘Tak kenal maka tak sayang’ (to know is to love). Perkenalan diri YLH telah dimuat dalam buku terbarunya ke-11 yang memiliki International Series of Book Number (ISBN: 978-979-18254-0-5) yang merupakan judul pidato pengukuhan GB-nya pada tanggal 16 April 2011 berjudul: “Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Penyusunan Ransum Untuk Ternak.”
Acara iring-iringan kendaraan bermotor bernuansa ‘Adat Rote’ dari tempat kediamannya di Kelurahan Maulafa Kota Kupang ke tempat pengukuhan dan selama acara pengukuhan GB berlangsung di Undana telah disiarkan dan ditonton oleh para pemirsa TVRI Stasiun Kupang pada tanggal yang sama dan khusus di halaman 41/terakhir bukunya yang dibacakan penyiar TVRI Kupang (Ina Djara): “..Ia tergolong cukup produktif menulis dan menyajikan karya ilmiah di dalam maupun luar bidang keahliannya di berbagai pertemuan ilmiah internasional maupun nasional serta telah menerbitkan juga beberapa buku disamping aktif mengisi kolom opini berbagai media lokal di NTT [i.e. Pos Kupang, Timor Express, Kursor, Rote Ndao Pos, Ti’i Langga dan Warta Undana] dan SUMUT [i.e. Analisa].

Berdasarkan data dalam buku ini sudah tidak diragukan bahwa YLH tepat sekali memperkenalkan diri sebagai ‘profesor penulis dari Undana’, karena telah menerbitkan: (1) Karya ilmiah di jurnal ilmiah nasional non-akreditasi, nasional akreditasi dan internasional: 80 buah; (2) Tulisan-tulisan di koran: 62 buah; (3) Buku ber-ISBN: 11 buah, termasuk buku: “Pedoman Penulisan Artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah” (ISBN: 979-97845-7); dan (4) Edit buku penulis lain ber-ISBN: 4 buah, termasuk buku: “Basic Study Skills Untuk Dosen dan Mahasiswa” (ISBN: 979-97845-6-5).

Sudah tidak dibantah lagi bahwa YLH merupakan seorang GB dari 20 GB di Undana yang kini masih aktif dari 923 dosen Undana sudah lama ‘turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya’, namun tidak begitu dikenal oleh HOS yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Flores.
YLH perlu menjernihkan pikiran HOS yang masih berpikir hanya sebatas seorang mahasiswa saja dengan menyatakan dengan begitu lugu bahwa ‘Guru besar hendaknya lebih bernas memoles tulisan tentang aneka persoalan dengan langsung memberikan gambaran yang praktis. Penguasaan teori-teori yang hanya disampaikan dalam jurnal dan seminar-seminar, hemat saya, ibaratnya membuang garam di air laut’.

Bagi kami para profesor mana pun di muka bumi ini justru kami merasa lebih bergengsi menulis di jurnal ilmiah internasional untuk dikenal sesama pakar serumpun ilmu sejagat dan khusus di Indonesia dihargai bobot kredit: 40 (empat puluh)/karya ilmiah ketimbang menulis di jurnal ilmiah nasional akreditasi yang memiliki bobot kredit: 25 (dua puluh lima)/karya ilmiah dan jurnal ilmiah nasional non-akreditasi yang memiliki bobot kredit: 10 (sepuluh)/karya ilmiah, sehingga hampir banyak profesor di Indonesia tidak begitu tertarik menulis di koran yang hanya memiliki bobot kredit: 1 (satu) per opini dan justru koran merupakan tempat belajar bagi para mahasiswa seperti HOS untuk belajar menulis.

Sedangkan, tugas utama seorang profesor di Indonesia telah diatur jelas dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 2) bahwa “Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah untuk mencerahkan masyarakat”, sehingga jelas tidak sesuai dengan pernyataan HOS bahwa “Dan andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisannya pada media massa”.

Kini menjadi lebih jelas bahwa tugas seorang mahasiswa seperti HOS adalah membaca buku atau karya ilmiah seorang profesor lalu menurunkan dalam bentuk opini di media massa.
YLH telah mengajar mahasiswa Fapet Undana seperti Amirudin Bapang untuk menulis karya ilmiah YLH di media massa dalam opininya berjudul: “Fapet Uber Alles” (Timor Express, Selasa, 26 April 2011: 4), artinya: “Fapet Diatas Segala-galanya.”

Sebagai seorang profesor, YLH sudah terbiasa mengutip kata-katanya sendiri dalam menulis ketimbang HOS yang masih banyak belajar menulis, sehingga mengutip kata-kata dari Pramoedya Ananta Toer. Kutipan YLH terbaru dalam mengakhiri opininya ini yang patut disimak oleh para profesor di Indonesia seperti terbaca dalam opininya yang ditulis bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-49 berjudul: “Fapet Undana di Mata Guru Besar Undana” (Timor Express, Kamis, 24 Februari 2011: 4):
“Seorang dosen yang meniti karir sebagai pengajar di perguruan tinggi mana pun dan telah meraih gelar akademik yang tertinggi sekalipun, sebenarnya ia baru mencapai kepuasan batin yang sesungguhnya bila ia telah mempublikasi karya ilmiah yang banyak seperti yang terlihat dalam curriculum vitae (cv) sebanding dengan deretan panjang gelar akademik yang telah diraihnya.”

Artikel ini merupakan tanggapan terhadap artikel "Merindukan Profesor Menulis" tulisan Hengky Ola Sura. Dimuat di Pos Kupang edisi Jumad, 17 Juni 2011. Artikel ini dapat dikunjungi di http://202.146.4.119/read/artikel/64824/opini/ylh-profesor-penulis-dari-undana

Tulisan ini kemudian mendapat tanggapan dari Florianus Geong 

Menulis Untuk Apa?

Menulis Untuk Apa?

Oleh Florianus Geong (Mahasiswa STFK Ledalero, Kru KMK Ledalero)

MEMBACA tulisan Hengki Ola Sura (HOS) berjudul ‘Merindukan Profesor Menulis’ dalam kolom opini Harian Pos Kupang 4 Juni lalu, seorang teman berkomentar “NTT memiliki banyak dosen dengan gelar akademik doktor, bahkan banyak yang telah dikukuhkan sebagai profesor. Akan tetapi hampir tidak ada kontribusi ‘orang-orang terdidik itu’ dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat NTT.”

Hemat saya, opini HOS dan juga komentar teman saya atasnya merupakan suatu bentuk keprihatinan atas gejala pemisahan dunia akademik atau bahkan pelarian sivitas akademika dari karut-marut kondisi masyarakat. Gejala ini tampak jelas dalam minimnya perhatian dunia akademik terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal ini jelas tidak bermaksud untuk menegasikan peran dunia akademik dalam melahirkan manusia-manusia terdidik yang kemudian mengabdi masyarakat.
Peran dunia akademik dalam menghasilkan manusia-manusia yang mengabdi masyarakat tidak dapat disangkal, akan tetapi kehadiran dunia akademik tidak hanya untuk menghasilkan manusia-manusia yang akan bekerja dalam masyarakat. Dunia pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam masyarakat yang selalu diharapkan menelurkan ide-ide cemerlang dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Judul opini HOS ‘Merindukan Profesor Menulis’ mengandung kontradiksi in se, sebab menulis, menghasilkan karya tulis/buku/opini, merupakan conditio sine qua non atau syarat yang mesti dipenuhi, selain syarat lain tentunya, agar seseorang (umumnya seorang doktor) dikukuhkan menjadi profesor.
Kriteria yang digunakan untuk mengukuhkan seorang doktor menjadi profesor dilihat dari pencapaian jumlah kredit yang diperolehnya dari berbagai tulisan ilmiah. Itu berarti seorang doktor tidak mungkin menjadi profesor jika tidak menulis. Atau dengan kata lain, seorang profesor merupakan seorang yang mesti sudah menulis atau menghasilkan tulisan ilmiah dan memenuhi jumlah kredit yang ditetapkan negara.

Karena itu tidak salah bila dalam tanggapannya terhadap opini HOS tersebut, Guru Besar Fapet Undana, Yusuf Leonard Henuk, menunjukkan bahwa dirinya sebagai seorang profesor merupakan seorang penulis.
Dalam opininya berjudul ‘YLH: ‘Profesor Penulis Dari Undana’ (Pos Kupang, 17/6/2011) Profesor Yusuf Leonard Henuk (YLH) memaparkan sejumlah tulisannya yang menunjukkan bahwa sebagai profesor ia telah dan hampir pasti terus menulis. Atau mengutip kata-kata YLH sendiri “sudah tidak dapat diragukan bahwa YLH tepat sekali memperkenalkan diri sebagai ‘profesor penulis dari Undana’, karena telah menerbitkan :
(1) karya ilmiah di jurnal ilmiah nasional non-akreditasi, nasional akreditasi dan internasional: 80 buah; (2) Tulisan-tulisan di koran: 62 buah; (3) Buku ber-ISBN: 11 buah, termasuk buku: ‘Pedoman Penulisan artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah’ (ISBN: 979-97845-7); dan (4) Edit buku penulis lain ber-ISBN: 4 buah, termasuk buku: ‘Basic Study Skills Untuk Dosen dan Mahasiswa’ (ISBN: 979-97845-6-5).”
Menara Gading PT
Terlepas dari kontradiksi in se yang terdapat dalam judul tulisannya, HOS dalam keseluruhan tulisannya menunjukkan suatu kerinduan akan ide-ide guru besar di NTT dalam bentuk tulisan dalam media massa lokal. Kerinduan ini jelas bukanlah suatu penyangkalan bahwa guru besar atau profesor-profesor di NTT menulis tetapi merupakan suatu bentuk kerinduan masyarakat NTT akan kehadiran kaum terdidik dalam diskursus pada media massa lokal demi membangun NTT.

Kerinduan ini bertolak dari paling kurang satu alasan mendasar, yaitu ke-profesional-an dari para guru besar dalam bidang-bidang ilmu yang digelutinya. Gelar profesor selalu merujuk pada keahlian atau keprofesionalan seseorang pada bidang tertentu. Spesialisasi keahlian setiap orang yang dikukuhkan sebagai profesor menggambarkan suatu keprofesionalannya (walaupun selalu dapat dibantah, keprofesionalan tidak selalu berbanding lurus dengan pencapaian gelar profesor) dalam bidang tersebut.
Karena itu, keikutsertaan para profesor dalam diskusi di ruang publik (di sini saya batasi ruang publik hanya pada tempat yang dengan mudah dapat dijangkau sebagian besar masyarakat yaitu koran) dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat banyak sehingga turut membangun masyarakat dan daerah kita ini.

Keterlibatan para guru besar di NTT dalam diskusi di media massa lokal memang dapat dikategorikan sangat minim. HOS menyadari keadaan itu dan berharap ‘Guru besar atau profesor di NTT sudah sepatutnya turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya.’
Sebab masyarakat banyak yang hanya mampu menjangkau media massa seperti koran mengharapkan ide-ide cemerlang para profesor yang profesional dalam bidangnya, lahir dari ulasan tajam dan mendalam atas persoalan yang dihadapi masyarakat.
Harapan agar para guru besar turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku juga merupakan satu harapan yang ditujukan pada keseluruhan sivitas akademika.
Sebab bukan satu rahasia lagi bahwa sivitas akademika pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di NTT tergolong lemah dalam mengonfrontasikan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dengan persoalan masyarakat sehingga menelurkan ide dan pemikiran yang mampu mendorong masyarakat keluar dari kubangan persoalannya itu. Perguruan tinggi akhirnya menjadi tanpa keterlibatan sosial yang berarti. Kuliah hanyalah sarana yang diperlukan untuk memperoleh ijazah sementara peran sosialnya tenggelam dalam upaya meraih gelar.
Peran sosial perguruan tinggi hanya tampak dalam jumlah wisudawannya yang siap bekerja dalam masyarakat atau dalam kegiatan kampus seperti kuliah kerja nyata yang seharusnya melahirkan kesadaran dalam diri segenap sivitas akademika akan pentingnya partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Menulis untuk Apa?
HOS menggugah segenap sivitas akademika, khususnya para guru besar pada semua perguruan tinggi di NTT, agar meninggalkan menara gading ke-perguruan-tinggi-an. Akan tetapi hal ini tidak ditanggapi YLH secara penuh. YLH hanya menanggapi tulisan HOS dengan membuktikan ketidakvalidan judul opini HOS. Artinya YLH hanya menanggapi opini HOS dengan menjelaskan bahwa kerinduan HOS akan profesor menulis tidak mendasar sebab profesor memang menulis.
Tanggapan ini tidak memadai karena yang dipersoalkan HOS adalah lemahnya keterlibatan para profesor dalam mengatasi karut marut kehidupan masyarakat. Dengan inti persoalan yang dikemukakan HOS itu, maka HOS tidak bermaksud mengatakan bahwa profesor di NTT tidak menulis. Akan tetapi dalam tulisannya, YLH justru membuat suatu pembuktian dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh profesor penulis. Dengan ini, YLH tidak mengupas persoalan yang diangkat HOS secara memadai.

‘Merindukan Profesor Menulis’ merupakan suatu judul yang menunjukkan inti persoalan yang mau diangkat HOS, yaitu lemahnya partisipasi sivitas akademika dan lebih khusus lagi para guru besar di NTT dalam mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat.
Atau dengan kata lain, HOS mau menunjukkan bahwa idealnya perguruan tinggi memiliki fungsi sosial, akan tetapi dalam konteks NTT sivitas akademikanya lebih betah berdiam dalam menara gading ilmu pengetahuannya daripada mengonfrontasikan ilmunya dengan persoalan masyarakat. Karena itu, ‘Merindukan Profesor Menulis’ merupakan suatu harapan agar segenap sivitas akademika khususnya profesor di NTT mulai terjun dalam pergulatan dengan persoalan masyarakat.
‘Merindukan Profesor Menulis’ tidak menunjukkan bahwa profesor di NTT tidak menulis karena itu masyarakat NTT mengharapkan profesor menulis tetapi gambaran kerinduan masyarakat NTT akan peran sosial profesor dengan mendiskusikan dan menemukan jalan keluar bagi persoalan masyarakat.
Bagaimana para profesor mewujudkan peran sosialnya? HOS mendambakan agar keahlian para profesor dalam bidang kajiannya dapat ditularkan kepada masyarakat banyak dan bukan hanya dalam ruang kuliah.
HOS mendambakan agar para profesor dengan keahliannya turut terlibat menggeluti persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Telaahan kritis dan mendalam dari sang profesor merupakan satu masukan berharga bagi masyarakat dalam mengatasi persoalannya. Karena itu para profesor diharapkan untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat dengan meneliti persoalan yang dihadapi masyarakat dan menawarkan jalan keluar yang bisa diambil.
Dan HOS melihat keaktifan profesor dalam menulis di koran dengan analisa yang tajam atas persoalan yang dihadapi masyarakat merupakan jalan yang mesti dipilih. Koran sebagai media keterlibatan profesor dalam persoalan masyarakat ini dianjurkan HOS karena alasan sederhana dan praktis yaitu karena koran merupakan media yang paling mudah dijangkau masyarakat kebanyakan dibanding jurnal-jurnal ilmiah yang lebih sering dimanfaatkan para profesor.
Dengannya HOS mengharapkan ide-ide cemerlang para profesor bisa dijangkau oleh masyarakat luas sehingga mempunyai efek bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi keterlibatan profesor dalam menuangkan idenya melalui koran tidak berarti meniadakan keaktifannya menulis buku atau dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Jelaslah bahwa yang ingin ditekankan HOS adalah nilai guna praktis dari keprofesionalan para profesor di NTT. Sebagai tanggapan atas kerinduan HOS akan manfaat praktis keahlian para profesor bagi masyarakat, YLH justru berbicara tentang model tulisan atau media apa yang ‘pantas’ bagi seorang profesor.
YLH justru memaparkan bagaimana ‘meminjam kata-kata YLH- ‘kami (baca: para profesor) merasa lebih bergengsi menulis di jurnal ilmiah internasional untuk dikenal sesama pakar serumpun ilmu sejagat dan khusus di Indonesia dihargai bobot kredit: 40 (empat puluh) karya ilmiah ketimbang - menulis di koran yang hanya memiliki kredit 1 per opini’. Pertanyaannya: apa yang menjadi tujuan kita menulis?
Demi gengsi, kredit atau untuk menyampaikan ide atau pendapat kita kepada orang lain agar dimengerti dan membawa manfaat bagi kehidupan bersama?
YLH dan kontradiksi in se
YLH mengutip UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 2) bahwa Profesor memiliki kewajiban khusus untuk menulis buku dan karya ilmiah untuk mencerahkan masyarakat” untuk menentang HOS yang melihat bahwa ‘andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisan pada media massa’.
Hemat saya, bunyi UU tentang tugas profesor tidak meniadakan peran profesor dalam mencerahkan masyarakat melalui media massa.
YLH menulis bahwa pernyataan HOS tentang andil profesor dalam mencerahkan masyarakat melalui media massa tidak sesuai dengan UU tersebut. Dengan ini YLH membenarkan tesisnya pada paragraf sebelumnya tentang motivasi menulis yang berkisar pada gengsi dan kredit poin yang diperoleh. Atau dengan kata lain, YLH sebagai seorang profesor merasa tidak perlu menulis di koran, yang baginya hanya merupakan tugas mahasiswa, karena kurang bergengsi dan hanya akan mendapatkan kredit 1 per opini.

YLH juga menulis bahwa harapan HOS agar profesor menulis di media massa tidak sesuai dengan UU tugas profesor. Namun, apakah seorang profesor yang menulis di koran dinilai sebagai sesuatu yang salah bila menulis di koran tidak termasuk dalam tugas profesor sebagaimana tertuang dalam UU?
Jika salah dan karena itu profesor tidak boleh menulis di koran, maka pantaslah bila dalam tulisannya YLH ingin menunjukkan bahwa profesor tidak pantas menulis di koran karena sekali lagi, menulis di koran merupakan tugas mahasiswa, kurang bergengsi, memiliki kredit yang kecil dan tidak sesuai dengan UU. Namun ketika YLH menunjukkan ketidakpantasan seorang profesor menulis di koran melalui opininya di koran bukankah itu suatu kontradiksi?

Tulisan ini merupakan tanggapan untuk artikel Prof. Yusuf Leonard Henuk berjudul YLH: PROFESOR PENULIS DARI UNDANA. 
Dimuat di Pos Kupang edisi Rabu, 22 Juni 2011. http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/64997/menulis-untuk-apa

Mengapa Ilmuwan Harus Menulis

Mengapa Ilmuwan Harus Menulis?

(Tanggapan untuk Florianus Geong)
Oleh Yusuf Leonard Henuk

Judul tulisan sengaja dipilih oleh To'o YLH untuk menanggapi tanggapan menarik dari Florianus Geong (FG) (Mahasiswa STFK Ledalero, Kru KMK Ledalero) terhadap opini Prof. YLH yang telah terbit di media ini sebelumnya dalam tulisannya berjudul: "Menulis untuk Apa?" (Pos Kupang, Rabu, 22 Juni 2011: 4), bertepatan dengan Prof. YLH telah sah mendaftar sebagai Mahasiswa Magister (S2) di Program Hukum dan Pembangunan (Law and Development) Aliansi Unair dan Undana, Program Pascasarjana Undana setelah niat tulusnya mengurus/mengobati birokrasi di Fapet Undana yang dipandang pendukungnya tidak termasuk Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App.Sc.,Ph.D (Rektor Undana/salah satu dari ke-8 Guru Besar di Fapet Undana) dan para peserta pemaparan program kerja (civitas akademika Fapet Undana: 20 Juni 2011) terhadap calon Dekan Fapet Undana (2011-2015) sedang sakit kronis, tapi kandas melawan 'incumbent' pada tanggal 21 Juni 2011 dengan kedudukan: 9 vs. 8 suara (putaran I) dan berakhir 10 vs 7 suara (putaran II) (plus 'Cadek' ke-3: Ir. Jalaludin, M.Si: 0 suara) untuk kemenangan Ir. Agustinus Konda Malik, MS - lebih banyak berpengalaman mengurus birokrasi khususnya pendidikan (proses belajar mengajar/PBM) ketimbang Prof. YLH yang banyak berpengalaman dalam maupun luar negeri mengurus penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam lingkungan Undana.
Kini Prof. YLH tidak terbeban apa pun untuk melanglangbuana ke mana saja setelah selesai rutin melaksanakan dharma pendidikan setiap semester dan bebas bepergian ke mana saja untuk terus mengembangkan pengalamannya dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi dan terpenting pengembangan 'talenta menulisnya' (my writing talent) guna mempersiapkan diri sebagai salah satu calon Rektor Undana (2013 - 2017) sesuai saran via SMS dari mantan dosennya, Prof. Vincent Gasperz: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda dan biasa dalam hidup" dan Walikota Kupang (Drs. Daniel Adoe): "Kegagalan awal dari kemenangan" serta rekan-rekan dosen sesama penulis (Dr. Ir. LM Riwu Kaho, M.Si): "Pemilihan Dekan Fapet Undana cuma 1 episode dalam hidup To'o YLH.
Hal yang lebih buruk, bahkan sudah pernah To'o YLH lalui dan alami ketika melawan Rektor Undana di PTUN - PT TUN - MA bukan? So, be cool To'o YLH. Viva To'o YLH!" dan (Ir. Melkianus Luji Jadi, MP): "Waktu Tuhan akan tiba pada waktunya. Banyak introspeksi diri supaya tampil lebih baik nanti" plus 2 rekan seniornya sesama anggota senat Undana dari FISIP Undana: (i) Dra. MM Malelak, MS: "Tuhan menjadikan sesuatu indah pada saatNya dan bukan saatmu, masih ada waktu lain"; dan (ii) Drs. Yusuf Kuahaty, SU: "Kalah tak masalah yang penting sudah terbukti punya potensi yang dapat diperhitungkan di masa depan". Kini Prof. YLH pun bisa berbangga karena telah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Komite SD Inpres Maulafa (2011 - 2016) pada tanggal 25 Juni 2011.
Selanjutnya, Prof. YLH harus 'angkat topi' kepada HOS dan kini FG yang masih berstatus sebagai mahasiswa tetapi telah berani 'bertarung melawan' seorang profesor dalam acara 'berpacu dalam IQ', walaupun diharapkan oleh publik seharusnya ada komentar menarik dari para profesor lain di Indonesia pada umumnya, dan khusus di Undana atas komentar dari para mahasiswa ataupun siapa saja terhadap kami semua yang telah rutin menerima 'besar tunjangan kehormatan Profesor setara dengan 2 (dua) kali gaji pokok plus tunjangan sertifikasi dosen (serdos) sampai berumur 70 tahun yang dialokasikan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Khusus FG, Prof. YLH harus berterima kasih karena telah menanggapi sekaligus memperkenalkan kembali Prof. YLH yang telah memproklamirkan dirinya dalam opini terbaiknya berjudul: "YLH: 'Profesor Penulis dari Undana" (Pos Kupang, Jumat, 17 Juni 2011: 4). Ukuran terbaik opini YLH ini didasarkan pada SMS berupa komentar dari dua rekan penulis di media massa: (1) AGH Netti: "Wah! Artikel di rubrik opini Pos Kupang 17 Juni 2011 hebat dan luar biasa" dan (2) Bobby J Mooynafi: "Syalom Bapa, saya sudah baca opini di Pos Kupang 17 Juni 2011 bagus sekali. Proficiat."
Sebagai 'pukulan perkenalan' terhadap komentar FG: "keikutsertaan para profesor dalam diskusi di ruang publik (di sini dibatasi ruang publik hanya pada tempat yang dengan mudah dapat dijangkau sebagian besar masyarakat yaitu koran) dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat banyak sehingga turut membangun masyarakat dan daerah kita ini. Keterlibatan para guru besar di NTT dapat dikategorikan sangat minim", YLH harus jernihkan pikiran HOS dan FG bahwa kami para profesor di Indonesia kebanyakan tampil di ruang publik yang lebih bergengsi di seminar-seminar yang tentu dibayar oleh para penyelenggara seminar dengan biaya yang tentu lebih besar dari para mahasiswa yang hanya berstatus sebagai peserta yang biasa diberi dua potong kue dan segelas minuman ringan. Sedangkan, hasil dari seminar yang telah dilakukan oleh kami para profesor disebar-luarkan oleh para wartawan, dosen ataupun mahasiswa ke media massa.
Khusus FG yang masih berstatus mahasiswa, YLH memberi tugas untuk membaca buku YLH berjudul: "Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Penyusunan Ransum Untuk Ternak" dan simak kata-kata YLH (2011: 4): "Kampus adalah tempat kita mencari banyak gelar akademik, sedangkan tempat kita mencari banyak pengetahuan adalah melalui membaca banyak buku", sehingga jangan terpaku membaca koran melulu karena bobot ilmiahnya sangat rendah. YLH dan kami para profesor selalu memberi nilai rendah kepada para mahasiswanya yang malas mencari sumber-sumber bacaan ilmiah (text-books) dan jurnal ilmiah (scientific papers) ketika kami memberi tugas (assignment) yang sumber bacaannya semuanya hanya mengandalkan koran (journalistic papers) melulu.
Tanggapan YLH ini sekaligus menjawab pertanyaan FG: apa yang menjadi kita menulis? Demi gengsi, kredit, atau untuk menyampaikan ide atau pendapat kita kepada orang lain agar dimengerti dan membawa manfaat bagi kehidupan bersama? Jawaban terhadap pertanyaan FG dapat dipahami bukan saja oleh HOS dan FG sebagai mahasiswa dan/ataupun para pembaca di mana pun di muka bumi ini jika membaca buku YLH berjudul: "Pedoman Penulisan Artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah" (2005: 2):
"Menulis artikel tidak hanya sekadar sebagai penyampaian gagasan atau opini terhadap suatu tema atau peristiwa yang aktual, hangat, dan sedang diperbincangkan khalayak yang dimuat dalam suatu penerbitan surat kabar atau majalah, tetapi juga untuk kepentingan penulisnya. Bagi penerbit media massa, pengiriman artikel oleh pembacanya merupakan umpan-balik bagi penerbitannya. Sedangkan, kepentingan setiap penulis dalam menulis artikel yang diterbitkan di surat kabar, majalah, jurnal ilmiah, dan sebagainya, tergantung profesi masing-masing penulis. Bagi mereka yang berprofesi jurnalis atau wartawan (termasuk mahasiswa), kepentingan nyata bagi penulis artikel bukan hanya mendapatkan imbalan materi, akan tetapi juga memperoleh kepuasan rohani dan kenikmatan psikologis. Siapapun pasti akan merasa senang bila melihat tulisannya terpampang di suatu media massa yang terkenal yang dibaca oleh khalayak luas. Apalagi tulisannya menimbulkan polemik yang berkepanjangan, sehingga yang bersangkutan wajib menanggapinya. Sedangkan, kepentingan sangat nyata dalam menulis artikel bagi mereka yang berprofesi dosen dapat disimpulkan sebagai berikut: "... pentingnya menulis tulisan ilmiah sebanyak-banyaknya bagi kita yang berprofesi dosen tidak hanya semata-mata untuk mengejar angka kredit saja, tetapi kita pun punya andil dalam menyebarluaskan informasi ilmiah sekaligus tentu nama dan institusi tempat kita bekerja pun ikut terkenal."
Tanggapan Prof. YLH yang didasarkan bukunya sendiri justru merupakan 'pukulan telak' untuk FG dalam komentarnya: "YLH juga menulis bahwa harapan HOS agar profesor menulis di media massa tidak sesuai dengan UU (No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen terkait) tugas profesor. Namun, apakah seorang profesor yang menulis di koran dinilai sebagai sesuatu yang salah bila menulis di koran tidak termasuk dalam tugas profesor sebagaimana tertuang dalam UU? Jika salah dan karena itu profesor tidak boleh di koran karena sekali lagi, menulis di koran merupakan tugas mahasiswa, kurang bergengsi, memiliki kredit yang kecil dan tidak sesuai dengan UU. Namun ketika YLH menunjukkan ketidakpantasan seorang profesor menulis di koran melalui opininya di koran bukankah itu suatu kontradiksi?"
Prof. YLH berupaya untuk menjelaskan pertanyaan menarik FG sesuai judul opininya di media ini: "Menulis untuk Apa?" sekaligus pertanyaan Prof. YLH: "Mengapa Ilmuwan Harus Menulis?" yang didasarkan pada bukunya tersebut di atas (2005: 36-37): "Menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah, kini sudah tidak lagi sekadar hobi semata, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan bagi kaum intelektual, terutama bagi mereka yang menduduki jabatan fungsional seperti guru, dosen, peneliti, dan lain sebagainya. Menulis karya ilmiah justru sekarang sangat penting dan dibutuhkan oleh mereka untuk mendapatkan angkat kredit guna dapat dipromosi ke jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Terpenting dari itu, mereka punya andil dalam menyebarluaskan informasi ilmiah kepada sesama ilmuwan.
Pada dasarnya, kualitas seorang ilmuwan tidak diukur dari kemampuannya melakukan penelitian dengan menggunakan dana penelitian yang tergolong cukup besar dan pengetahuannya yang luas tentang bidang keahliannya, tetapi kualitasnya semata-mata diukur dari banyak karya ilmiah yang telah dipublikasikannya. Semakin banyak jumlah karya ilmiah yang dipublikasinya, semakin terkenal namanya di kalangan ilmuwan yang punya bidang keahlian yang sama.
Bagaimanapun juga karya ilmiah yang telah dipublikasi oleh seorang ilmuwan akan tetap tersimpan selamanya di perpustakaan sampai setelah yang bersangkutan tiada. Setiap pembaca akan tetap mengenangnya bila membaca dan menggunakan karya ilmiahnya sebagai bahan referensi dalam suatu tulisan ilmiah yang baru. Khusus para ilmuwan dalam lingkungan perguruan tinggi, terdapat suatu kepuasan batin tersendiri dalam diri seorang dosen bila yang bersangkutan mencantumkan urutan panjang jumlah karya ilmiah yang telah dipublikasikannya dalam suatu daftar riwayat hidup yang buatnya untuk memenuhi suatu maksud tertentu. Akibatnya, seorang dosen yang telah memperoleh gelar akademik yang tertinggi sekalipun, sebenarnya ia baru mencapai kepuasan batin yang sesungguhnya bila yang bersangkutan dapat mempublikasi karya ilmiah dalam jumlah yang banyak sebanding dengan deretan panjang gelar akademik yang telah diraihnya.
Pada kenyataannya, 'without communication, science would not have develop. Even today, scientists are judged by their ability to communicate their ideas and findings through written scientific papers and conference presentations' (Tanpa komunikasi, bidang sains tidak dapat berkembang. Bahkan kini, para ilmuwan dinilai berdasarkan kemampuan mereka mengutarakan gagasan-gagasan dan penemuan-penemuan mereka lewat tulisan-tulisan ilmiah yang dipublikasi di jurnal ilmiah dan presentasi-presentasi tulisan ilmiah pada konferensi ilmiah).
Akibatnya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tidak akan berkembang bila tidak ada komunikasi ilmiah. Jelasnya, komunikasi dengan sesama ilmuwan, baik lisan maupun tulisan mutlak diperlukan oleh para ilmuwan sebagai bagian dari masyarakat ilmiah di manapun dan sampai kapanpun mengingat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun, sebab tahap akhir dilaporkannya suatu hasil penelitian mungkin merupakan titik awal dimulainya penelitian yang lain. Bahkan dalam artikel, Profesi dosen: 'publish or perish', penulis ibaratkan menulis karya ilmiah bagi para ilmuwan sebagai makanan di mana siapa saja bisa memasak makanan bagi mereka, tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menyantap makanan bagi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka perlu terus memahami dan menguasai dengan baik metodologi penulisan dan penyajian karya ilmiah."

Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel Florianus Geong "Menulis Untuk Apa?" Dimuat di Pos Kupang edisi 30 Juni 2011.
sumber: http:////kupang.tribunnews.com/read/artikel/65499/editorial/opini/2011/6/30/mengapa-ilmuwan-harus-menulis

Merindukan Profesor Menulis

Merindukan Profesor Menulis

Oleh Hengky Ola Sura
Mahasiswa Universitas Flores Kru Komunitas Baca dan Sastra Lamalera

GURU besar hanya nama. Demikian komentar Bung Joki Pos Kupang dalam salah satu edisinya. Saya lupa edisinya kapan. Saya memang terganggu, mungkin seperti juga komentar Bung Joki tersebut. Saya pikir komentarnya Bung Joki adalah bagian dari kegelisahan persis seperti yang saya rasakan. Kegelisahan saya bukanlah rasa iri hati atau ketidaksenangan saya terhadap para guru besar di perguruan tinggi NTT. Kegelisahan saya lebih pada apa yang telah diperbuat dengan jabatan guru besarnya untuk kemajuan NTT.
Jelas bahwa guru besar adalah seorang pengajar, tetapi pencapaian setelah jabatan guru besar itu apa? Tengok saja di lingkup perguruan tinggi NTT berapa banyak profesor yang ada. Jumlahnya belasan dengan spesialisasi yang mengagumkan. Saya tidak bermaksud menyindir para guru besar yang ada tersebut, tetapi saya juga ikut nimbrung dalam komentar Bung Joki, guru besar hanya nama.
Tulisan ini merupakan apresiasi serentak godaan yang tidak sesat, melainkan ajakan kepada guru besar yang ada di NTT untuk boleh merenung dan tercenung dengan segala karut-marut persoalan yang ada di NTT. Ajakan saya sangatlah sederhana, menulislah di koran-koran lokal/media massa di NTT. Intinya merindukan profesor menulis.

Saya sangat yakin bahwa guru besar atau profesor adalah gelar kehormatan yang tidak asal diberikan melainkan penghormatan atas pencapaian dalam kajian mendalam dari ilmu yang telah ditekuni seorang guru besar dengan berbagai persyaratan yang telah diikuti dan lulus.
Guru besar atau profesor di NTT sudah sepatutnya turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya. Berapa banyak jurnal ilmiah, buku-buku profesor yang diperoleh segmen pembaca seperti yang dicapai media massa? Hanya media massa yang mampu merebut segmen pembaca lebih daripada jurnal-jurnal ilmiah yang hanya dikonsumsi sebagian orang.

Media massa di NTT seperti Pos Kupang, Flores Pos, Timex dan surat kabar lainnya memberikan ruang berupa kolom opini. Kolom ini pastinya adalah ruang paling praktis para profesor mengulas secara tajam analisisnya secara tepat sebuah persoalan yang terjadi di lingkup propinsi NTT. Selama membaca Pos Kupang dan Flores Pos, paling-paling saya hanya menjumpai Prof. Dr. Alo Liliweri dan Prof. Dr. Mien Ratu Oedjoe. Dua profesor ini yang paling banyak saya jumpai tulisan mereka di media.

Profesor-profesor kebanggaan NTT harusnya menyadari bahwa saat di mana pengukuhan mereka sebagai guru besar adalah sebuah torehan sejarah. Sejarah yang obyektif tersebut adalah gambaran dinamika yang baik dan benar dari kehidupan yang membebaskan. Diktum ini memuat empat arti sejarah, yakni apa yang dihidupi, apa yang dinarasikan, apa yang didokumentasikan dan apa yang diinterpretasikan.
Menjadi guru besar adalah bagian dari sejarah yang membebaskan. Mengapa? Karena guru besar saat tampil dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar mengulas bidang kajian studinya yang selalu fokus berbicara tentang pemberdayaan manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat. Obyeknya dinamika kehidupan (masyarakat) manusia. Artinya memetakan masa depan, mengajarkan masa lalu (bdk Eddy Kristiyanto, OFM, Sejarah Sebagai Locus Philosophicus et Theologicus, Lamalera, 2008).

Semua yang terjadi dengan kehidupan (masyarakat) manusia adalah bagian rangkaian peristiwa yang telah terjadi. Penelitian-penelitian ilmiah misalnya saja selalu berakar pada kajian pustaka, konsep dan teori yang dihasilkan dengan mengaca dari rangkaian-rangkaian peristiwa kehidupan (masyarakat) manusia sebelumnya.
Dengan demikian guru besar dapat menulis secara lebih gamblang dan mendalam lewat media massa. Guru besar hendaknya lebih bernas memoles tulisan tentang aneka persoalan dengan langsung memberikan gambaran yang praktis. Penguasaan teori-teori yang hanya ditelorkan lewat ide-ide yang disampaikan dalam jurnal dan seminar-seminar, hemat saya, ibaratnya membuang garam di air laut. Mengapa? Jelas seperti yang saya kemukakan di atas, berapa jumlah pembaca yang tahu tentang jurnal-jurnal ilmiah?
Profesor menulis bukan demi profesor itu sendiri, melainkan demi suatu tanggung jawab sosial keprofesorannya. Dan andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisannya pada media massa.
Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar Indonesia menulis begini, “Saya berharap pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca tulisan saya, merasa berani, merasa dikuatkan.
Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Berani.” Semoga saja harapan Pramoedya Ananta Toer tersebut juga menjadi harapan para profesor-profesor di NTT untuk menulis. Jabatan profesor yang dianugerahkan hendaknya merangsang para profesor untuk tidak tinggal diam-diam dengan jabatan tersebut tetapi mesti terganggu.

Dimuat di Pos Kupang Cetak Edisi Sabtu, 4 Juni 2011. Artikel ini dapat di kunjungi di http://202.146.4.119/read/artikel/63772/editorial/opini/2011/6/4/merindukan-profesor-menulis


Tulisan ini kemudia ditanggapi oleh Prof. Yusuf Leonard Henuk 

Data Kasus Kekerasan Tahun 2012

KONFERENSI PERS 2012
Sejak tahun 2011 lalu, Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (DP. TRUK-F) mengadakan konferensi pers tentang data-data kasus yang ditangani DP. TRUK-F dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan TRUK-F. Kegiatan ini menjadi bagian dari pertanggungjawaban publik sekaligus menjadi informasi kepada masyarakat tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kab. Sikka. Dengan diadakannya konferensi pers ini, diharapkan agar masyarakat bisa turut serta mengkampanyekan penghapusan segala bentuk kekerasan serta turut pula dalam melindungi korban kekerasan.
I.                   Pendampingan (Data Kasus)
Selama tahun 2012 ada 155 korban kekerasan yang dialami perempuan dan anak yang didata oleh DP. TRUK-F.
1.      Data Kasus Kekerasan Terhadap Anak
Ada 63 anak yang menjadi korban kekerasan selama tahun 2012 dengan perincian
Ø  47 Korban KDRT dan 17 Korban Kekerasan Seksual. Dari 17 korban kekerasan Seksual, ada 9 orang korban yang hamil, 6 di antaranya telah melahirkan anak, sedangkan 3 sedang hamil.
Ø   Dari 17 kasus kekerasan seksual ini, 15 dilakukan proses hokum sedangkan 2 kasus ditempu jalan damai. Ini menjadi keprihatinan kita karena keluarga tidak ingin menempu proses hukum karena pelakunya masih memiliki hubungan darah.
Ø  Hukuman yang diterima pelaku berkisar antara 4 tahun -14 tahun.
Ø  Umur korban kekerasan seksual berkisar antara 4 tahun sampai 17 tahun.
Ø  Umur Pelaku mulai dari 19-75 tahun.
Ø  Pekerjaan Pelaku bervariasi: Petani, pegawai swasta, pelajar, wiraswasta, perawat, buruh, sopir, nelayan, PNS, hingga pejabat publik.
2.      Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Dewasa
Selama tahun 2012, ada 50 orang perempuan dewasa yang menjadi korban kekerasan dengan perincian:
Ø  33 orang perempuan dewasa menjadi korban KDRT: 13 di antaranya dilaporkan ke pihak kepolisian tetapi hanya 3 kasus yang diteruskan hingga ke pengadilan dengan hukuman berkisar antara 6 bulan- 2 tahun.
Ø  4 orang perempuan dewasa yang menjadi korban Ingkar Janji Menikah (IJM)
Ø  13 orang adalah kasus kekerasan bukan dalam lingkaran KDRT dan IJM.
Ø  Ada 12 kasus KDRT di luar kasus kekerasan seksual yang dimediasi oleh TRUK-F
Ø  Umur pelaku bervariasi : 19 tahun – 65 tahun
Ø  Pekerjaan pelaku : Petani, nelayan, wiraswasta, pegawai swasta, PNS, pejabat public, Dukun, ojek, perawat, guru, sopir.
3.      Perdagangan Orang (Human Trafficking)
Total korban perdagangan orang sebanyak 42 orang.
Anak
Perempuan Dewasa
Laki-Laki Dewasa
11 Orang
18 Orang
13 Orang
-          Korban trafiking yang berasal dari luar flores                                     :  6 orang
-          Korban trafiking yang berasal dari Kab Sikka                                     : 35 orang
-          Korban trafiking yang berasal dari Kab Ende                                     : 1 orang
-          Korban trafiking yang pulangkan ke daerah asal luar flores                : 5 orang
-          Korban trafing yang dirujuk dari lembaga mitra untuk di
Pulangnya ke daerah asalnya di Flores                                                : 1 orang
-          Dari 42 korban trafiking, hanya 1 korban yang melaporkan kasusnya ke polisi untuk diproses hukum.
DATA KORBAN DI SHELTER: 40 ORANG
ü  Korban anak perempuan : 26 orang
ü  Korban perempuan desawa : 9
ü  Korban bayi dan balita: 5 orang
ü  Korban paling lama tinggal di shelter 1 orang ; 1 tahun
ü  Korban paling singkat tinggal di shelter: 3 minggu
ü  Korban yang mengalami kekerasan seksual sampai hamil dan saat ini masih di shelter:  4  orang
-          Data korban yang  mendapat pelayanan rehabilitasi kesehatan berupa: rawat nginap, pengobatan, pemeriksaan, imunisasi ibu hamil dan bayi; 17 orang
-          Data korban yang mendapat bantuan dana pemberdayaan ekonomi:  33 orang
     Rincian  Data Kasus Kekerasan Seksual Tahun 2012 Berdasarkan berdasarkan jenis
Perkosaan
11
Pelecehan seksual
4
Perbudakan seksual
2
Incest
3
Aborsi
1
Percobaan perkosaan
3
Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
6
Total
30
II.                Advokasi
1.      Advokasi Kasus
a.       Advokasi kepada Kapolres dan Kasat Reskrim Sikka tentang Kasus Perkosaan Anak.
b.      Advokasi kepada Para Hakim tentang layanan maksimal proses hukum untuk kasus perkosaan terhadap anak.
c.       Membuat surat tekanan kepada aparat hokum terkait kasus perkosaan anak yang prosesnya ditahan-tahan.
2.      Advokasi Kebijakan dengan DPR Sikka tetnag perda perlindungan perempuan dan anak di Kab. Sikka.
III.             Pendidikan Publik
1.      Sosialisasi dan Talkshow Radio
a.       Sosialisasi Gender di 6 Kecamatan, bekerjasama dengan BPPKB Kab. Sikka.
b.      Desiminasi dan Pendidikan HAM dengan RAN HAM di 5 SLTP
c.       Sosialisasi tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Human Trafficking di 4 Kecamatan
d.      Talkshow Radio tentang Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani
e.       Talkshow Radio tentang Human Trafficking
2.      Diskusi
a.       Diskusi Tentang Pelanggaran HAM
b.      Diskusi Tentang Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
c.       Diskusi tentang Human Trafficking.
IV.             Kegiatan Sosial Karitatif
Ikut serta dalam membantu para pengungsi Palue dengan memberikan sumbangan kepada pengungsi di Hewuli.
V.                KIAS
Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) adalah jaringan masyarakat yang bertujuan menghapus praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok minoritas yang didasarkan atas tafsir agama dan budaya. DP. TRUK-F merupakan satu-satunya focal point KIAS di NTT. Akan tetapi, TRUK-F tidak bekerja sendirian. Dalam melakukan kegiatannya, TRUK-F membentuk jaringan kerjasama dengan organisasi-organisasi lain. Organisasi yang tergabung dalam KIAS terdiri dari berbagai latar belakang agama dan suku atau etnis.
Kegiatan utama KIAS adalah melakukan kampanye penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang berbasis tafsir agama, adat dan budaya.
Atas dasar itu, selama tahun 2012 TRUK-F melakukan kegiatan-kegiatan:
1.      Pembentukan kampung setara di Kelurahan Beru.
2.      Training Ansos Gender untuk changes makers (tokoh umat dari beberapa agama, tokoh-tokoh adat dari beberapa etnis, organisasi pemuda dan perempuan).
3.      Seminar Meningkatkan Toleransi Antara Umat Beragama
4.      Diskusi dengan masyarakat di Kampung Setara
5.      Kegiatan memperingati hari HAM International. (Pembagian bunga dan acara peringatan hari HAM dengan tema “Jangan Biarkan Perempuan dan Anak jadi Korban Kekerasan)
6.      Sosialisasi tentang kekerasan seksual dan Human Trafficking
VI.              KESULITAN YANG DIHADAPI
1.      Negara dalam artian Pemerintah Kab. Sikka belum optimal memberikan perlindungan dan pembiayaan bagi pemenuhan hak korban. Misalnya biaya rehabilitasi fisik, perlindungan dan biaya reintelgasi korban.
2.      Korban belum berani nyampaikan kasus kekerasan yang dialaminya. (budaya bisu).
3.      Kasus yang melibatkan pejabat public, sering sulit untuk diselesaikan secara hukum positif.