Tuesday, June 11, 2013

Perempuan direkrut jadi caleg: kebanggaan atau Penghinaan (Refleksi setelah Workshop Pendidikan Politik 2)

Seorang perempuan, sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak memiliki popularitas, tidak terlibat dalam organisasi-organisasi yang ada, akhirnya direkrut salah satu partai Politik untuk maju dalam pemilihan legislatif tahun 2014. Menjadi caleg merupakan sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya. Bagi dia, tidak pernah terbersit dalam dirinya suatu keinginan untuk maju dalam pemilihan legislatif. Alasannya tentu saja banyak, tetapi salah satunya adalah ia memang tidak pernah berminat untuk terjun dalam dunia politik sehingga selama ini pun ia tidak sibuk dengan segala urusan berbau politik selain menggunakan hak memilih di dalam kamar pencoblosan.

Ketika diwawancarai oleh seorang wartawan, ia dengan penuh semangat mengatakan bahwa meskipun ia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang selama ini kurang terlibat dalam partai politik, tetapi orang-orang partai politik berani merekrutnya. Hal ini adalah suatu kebanggan. Ia bangga dan menjadi semakin percaya diri. Baginya, kalau direkrut berarti dalam dirinya ada sesuatu yang berguna yang selama ini tidak disadarinya dan tidak diakui. Direkrut menjadi caleg menjadi semacam suatu pengakuan akan adanya kualitas dirinya meski ia selalu mengatakan bahwa ia hanyalah seorang ibu rumah tangga. Ia bahkan berani membandingkan dirinya yang mengantongi ijazah SMA dengan beberapa perempuan di sekitarnya yang berijazah S1. Ini adalah suatu kebanggaan baginya karena mereka yang S1 tidak direkrut jadi caleg seperti dirinya.

Mungkin ada benarnya untuk berbangga ketika direkrut untuk menjadi caleg. Bangga karena menjadi caleg berarti menjadi calon utusan rakyat untuk memperjuangkan Hak-hak rakyat. Dan menjadi caleg itu bukan orang sembarangan. Dan Partai Politik sebagai kendaraan politik biasanya tidak sembarangan mencalonkan orang yang tidak berkualitas (tentu saja harus ditanyakan kualitas apa saja yang menjadi kriteria tiap partai politik). Tidak heran kalau selama ini banyak orang yang sangat ingin menjadi caleg tetapi gugur karena partai politik menganggapnya kurang berkualitas.

Kebanggaan semakin meningkat karena ia direkrut dan bukan mencalongkan dirinya sendiri. Baginya ini adalah suatu kebanggan karena di tengah banyak laki-laki yang gugur dalam pencalonan, ia justru didatangi orang-orang partai politik untuk direkrut dan diusung parpol tersebut. Baginya, semua orang apalagi perempuan yang hidup dalam budaya patriarki pasti berbangga kalau hidup sehari-harinya tidak pernah berurusan denga politik tetapi kemudian direkrut untuk menjadi caleg bahkan baginya ia telah mengalahkan beberapa laki-laki yang gugur dalam pencalonan.

Dari sudut pandang seperti ini; kebanggaan tersebut ada dasarnya.
Akan tetapi fenomena baru dimana Partai Politik giat mendatangi rumah-rumah dan merekrut orang menjadi caleg patut dianalisa lebih jauh. Artinya, kita perlu bertanya mengapa partai politik mesti terjun ke rumah-rumah masyarakat (sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya) untuk merekrut perempuan-perempuan sehingga ibu di atas juga turut direkrut meskipun ia tidak pernah terlibat dalam urusan politik?

Pertanyaan ini sangat penting untuk menganalisa keadaan masyarakat kita sekarang ini. Saya sangat yakin, ibu di atas bukan satu-satunya perempuan yang direkrut meski sebelumnya sangat buta terhadap politik. Ada banyak perempuan-perempuan lain yang direkrut untuk menjadi caleg. Hemat saya ini bukanlah suatu fenomena biasa yang mesti ditanggapi secara kritis.

Fenomena ini muncul seiring dengan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan minimal 30 % keterlibatan perempuan dalam kepengurusan Partai Politik dan juga minimal 30% caleg perempuan dalam setiap Daerah Pemilihan (Dapil). Jika setiap partai tidak memenuhi kuota minimal tersebut dalam setiap dapil, maka partai tersebut tidak diperbolehkan untuk ikut serta mengikutsertakan para calegnya ikut dalam pemilihan dari dapil tersebut.

Untuk memenuhi persyaratan itu, setiap partai tentu saja harus berupaya merekrut caleg-caleg perempuan. Akan tetapi karena partai politik di Indonesia umumnya sangat maskulin maka sangat sedikit perempuan yang terlibat dalam partai politik. Mau tidak mau, partai politik harus merekrut perempuan-perempuan dari luar partai politik untuk memenuhi persyaratan undang-undang.

Dalam keadaan seperti ini, fenomena perekrutan perempuan menjadi caleg merupakan suatu bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Aturan undang-undang yang sesungguhnya baik untuk mendorong partai politik memberi akses yang luas untuk perempuan justru mengakibatkan perempuan dieksploitasi. Perempuan menjadi sekedar "alat" untuk memenuhi tuntutan undang-undang agar meloloskan para caleg-yang umumnya laki-laki- untuk tetap mengikuti pemilihan legislatif.  Dengan demikian, perekrutan caleg perempuan bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan tetapi lebih sebagai suatu penghinaan.

Akan tetapi, keadaan tersebut bukanlah keadaan satu-satunya dan bukanlah keadaan yang tidak bisa diubah. Masih ada keadaan yang bisa kita perjuangkan. Akan tetapi keadaan tersebut hanya bisa diubah kalau masyarakat sadar akan keadaan tersebut. Dan kesadaran hanya bisa dibangun kalau masyarakat diberi pendidikan politik. Dan pendidikan politik adalah tanggung jawab negara dan partai politik. Persoalannya pendidikan politik inilah yang tidak dilakukan oleh negara dan partai politik.
http://rakyatkecilbersuara.blogspot.com/2013/06/absennya-negara-dan-partai-politik.html


Saturday, June 8, 2013

Divisi Perempuan TRUK-F Bawa Bantuan Untuk Anak-Anak Pengungsi Rokatenda



Sejak meningkatnya aktivitas Gunung Api Rokatenda di Pulau Palue Kab. Sikka pada sekitar bulan Oktober 2012, masyarakat Palue mulai mengungsi ke daratan Flores. Sejak itu pula, masyarakat Palue menderita. Pertama kali mengungsi, masyakat Palue tinggal di Kelurahan Haewuli-Sikka. Kurang lebih seminggu di Haewuli, masyarakat Palue dipaksa pulang kembali ke Palue karena pemerintah kab. Sikka melihat bahwa berdasarkan pantuan atas aktivitas gunung Rokatenda, keadaan tidak membahayakan. Selang beberapa hari, Rokatenda kembali mengamuk dan menyiram masyarakat Palue dengan debu panasnya. Masyarakat Palue kembali mengungsi. Kali ini, sebagian besar dari mereka memilih mengungsi ke wilayah utara Kab. Ende. Pengalaman mengungsi pertama kali membuat mereka enggan kembali ke Kab. Sikka. Walau demikian, masih ada cukup banyak masyarakat Palue yang mengungsi ke Sikka, khususnya ke keluarga-keluarganya. Sebagian kecil tinggal di Transito, sebagian lagi tinggal di rumah warga di Waturia.

Di Sikka, pemerintah dan masyarakatnya sedang sibuk memikirkan Pilkada Sikka dan Pilgub NTT. Akibatnya, masyarakat Palue kekurangan perhatian.3 60 Bencana Rokatenda.
Pemerintah yang paling bertanggung jawab seolah lupa akan warganya yang sangat menderita. Sementara para politisi yang sedang sibuk mengkampanyekan visi dan misinya sebagai calon pemimpin pun seolah tak tahu keadaan ini. Yang mereka tahu, masyarakat Palue hanyalah sejumlah angka yang akan bisa membawa mereka pada kursi kekuasaan. Karena itu, saat hari pemilihan, masyarakat Palue "dihargai" hak pilihnya dan diangkut dari Ende menuju TPS di Maumere. Setelahnya, masyarakat Palue kembali dikirim pada kesusahannya.

Dalam keadaan seperti ini, ada sejumlah orang dan kelompok yang masih sadar bahwa masyarakat Palue adalah saudara yang mesti segera ditolong. Mereka yang menganggap diri saudara itu ada yang datang dari jauh, dari berbagai daerah di luar Sikka. Di Sikka sendiri, perhatian untuk masyarakat Palue digerakan oleh Gereja, khususnya Caritas Maumere, anak-anak muda, WVI, Divisi Perempuan TRUK-F dan berbagai LSM lainnya. Sebagai penggerak, organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dibagikan selain semangat kemanusiaan. Namun, organisasi tersebut memiliki sejuta tangan yang walaupun susah tetapi tetap ingin berbagi dengan masyarakat Palue yang lebih menderita. Hal ini bisa dilihat dari semangatnya umat Katolik dari setiap Paroki dan Stasi yang bersedia menyumbangkan kepunyaanya untuk meringankan beban saudara-saudari masyarakat Palue.

Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) adalah satu organisasi yang tidak memiliki apapun selain semangat kemanusiaan. Namun, lewat TRUK-F jugalah banyak tangan yang terulur untuk membantu masyarakat Palue. Di tengah kesibukan Divisi Perempuan TRUK-F untuk membantu dan mendampingi perempuan dan anak-anak korban kekerasan, Sr. Eustochia dan keempat staf TRUK-F masih bisa meluangkan waktu untuk menggerakkan orang-orang yang baik hati untuk mengulurkan bantuan untuk orang Palue.

Hari ini, Sabtu 8 Juni 2013, TRUK-F sekali lagi mengunjungi masyarakat Palue di tempat pengungsian di Haewuli, Waturia, Km 2 dan di Kota Uneng. Kalau sebelumnya bantuan diberikan untuk keperluan makan minum, kemudian khusus untuk kebutuhan perempuan dan benang bagi para perempuan untuk membunuh waktu selama mengungsi dengan menenun, hari ini bantuan khusus diberikan untuk anak-anak usia sekolah.

Sejak mengungsi, saat itu pula banyak anak-anak usia sekolah yang berhenti ke sekolah. Meski semangat belajar menggebu, tetapi rasa malu membunuh semangat itu. Anak-anak SD ini malu tak berseragam dan bersepatu ke sekolah. Mereka semakin malu ke sekolah dengan pakaian kusam dimakan waktu.  Kini doa mereka untuk terus ke sekolah tanpa harus malu akhirnya terkabulkan. TRUK-F datang dengan beberapa kardus pakain Seragam Merah-Putih  dan seragam Pramuka. Ini merupakan uluran kasih dari Kelompok Pendalaman Iman Katolik (Pika). Semoga dengan seragam baru ini, anak-anak Palue kembali berani mengarungi dunia pendidikan sebagaimana mereka terbiasa mengarungi lautan. Semoga mereka bisa menjadi "emas" murni yang telah diuji dalam tanur api kesusahan sehingga mereka bisa menjadi generasi yang lebih manusiawi, generasi yang lebih punya hati untuk orang-orang berkesusahan.

Maju terus anak Palue, Raihlah kesuksesan dan REBUTLAH kembali Hak-Hakmu yang telah dirampas!!!!!!!

Wednesday, June 5, 2013

Absennya Negara dan Partai Politik dalam Pendidikan Politik (Refleksi setelah Workshop Pendidikan Politik I)

Workshop Pendidikan Politik bagi Perempuan (3-5 Juni 2013) yang diselenggarakan Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) bekerja sama dengan Mensen met een Missie (Belanda) dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kab. Sikka akhirnya selesai. Narasuber dalam Workshop ini adalah DR. Kunthi Tridewiyanti (Komnas Perempuan), Dr. Yovita Anike Mitak (Biro Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi NTT, DR. Otto Gusti (Dosen Filsafat Politik pada STFK Ledalero), Ignas Ledot (Dosen Liturgi pada STFK Ledalero), dan Hubert Thomas (Peneliti pada Puslit Candraditya Maumere). Dalam Workshop ini ada 24 caleg perempuan dari 10 Partai yang hadir(Yang diundang 30 Orang dari 12 Partai Politik). dari Workshop ini ditemukan bahwa, banyak perempuan direkrut Partai Politik hanya menjelang Pemilu dan terkesan hanya untuk memenuhi minimal 30% keterlitaban Perempuan dalam Politik sebagaimana ditetapkan UU. Selain itu, Ditemukan juga bahwa banyak caleg Perempuan yang belum mendapat pendidikan politik secara memadai. Hal ini menguak fakta bahwa Pemerintah dan Partai Politik masih sangat minim melakukan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya bagi para caleg. Padahal untuk Kabupaten Sikka, Pemerintah telah mengalokasikan dana pendidikan politik untuk setiap Parpol sebesar Rp 4.500/Suara/tahun. Kalau TRUK-F bisa menyelenggarakan pendidikan politik, Ini sebenarnya sesuatu yang harus membuat Pemerintah dan Partai Politik MALU...
Pertanyaannya: apa sebenarnya pendidikan politik itu?
Secara sederhana, pendidikan politik itu adalah upaya penyadaran bagi masyarakat akan hak, kewajiban, tanggung jawab, akses, dan manfaat politik setiap warga negara. Dengan penyadaran akan hal-hal itu, diharapkan warga negara bisa berpartisipasi dalam politik. Partisipasi di sini tidak hanya soal partisipasi dalam memilih pemimpin atau wakil rakyat. Hal ini sangat penting dalam suatu masyarakat demokratis. Tanpa partisipasi warga negara dalam politik, demokrasi hanyalah sesuatu yang semu. Demokrasi hanyalah soal prosedur dan belum menyentuh substansinya.
Apa akibatnya kalau demokrasi hanya urusan prosedur? masyarakat dijadikan alat menggapai kekuasaan. Warga negara dijadikan alat dan tidak dihargai sebagai subjek yang harus dihargai. Sebagai alat, warga negara tidaklah penting, yang penting adalah tujuannya. Tujuan itu adalah kekuasaan. Karena hanyalah alat, maka warga negara tidaklah penting dan tidak perlu diperhatikan kalau alat itu tidak dibutuhkan. Sebagaimana alat-alat yang sedang tidak digunakan ditelantarkan di gudang, demikian pun rakyat seringkali ditelantarkan. Rakyat hanya diperhatikan menjelang pemilu. Karena dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menentukan pemilu. dengan cara pandang bahwa rakyat hanyalah alat, maka rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu untuk melegitimasi kekuasaan. 
Ya rakyat yang dipandang sebagai alat akan terus ditelantarkan selama tidak dibutuhkan (tidak ada pemilu). entah rakyat itu miskin, melarat, sengsara, menderita, dan berbagai kesusahan lainnya, rakyat akan tetap tidak diperhatikan selama tidak dibutuhkan. 
Keadaan seperti ini tentu saja akan terus dipelihara para penguasa, entah itu penguasa negara maupun penguasa politik. Untuk mempertahankan keadaan seperti itu, maka masyarakat sebagai pemilik kekuasaan harus dibiarkan tetap sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Agar tetap sebagai alat, masyarakat harus tetap "dijaga" untuk tidak mengetahui bahwa ia adalah alat.  Karena itu, pendidikan politik yang menjadi tanggung jawab negara dan partai politik untuk menyadarkan masyarakat akan hak-haknya sehingga tidak menjadi alat, harus "ditiadakan".
Saya berpikir bahwa Politik itu adalah tentang kepentingan. Dan Kepentingan para Penguasa dan Para Pemimpin Partai Politik adalah agar kekuasannya tetap langgeng dan tidak diganggu. Maka salah satu cara agar hal itu tercapai adalah membiarkan masyarkat tetap "buta" terhadap politik. Untuk itu, pendidikan Politik untuk masyarakat tidak perlu dibuat.
Kalau demikian, apakah masyarakat masih perlu mengakui para pemimpin negara ini dan partai politik????
Kalau tidak, tidak cukup diperlukan adanya reformasi untuk membawa perubahan. Kita butuh REVOLUSI untuk mengubah keadaan seperti ini.
Perempuan direkrut jadi caleg: kebanggaan atau Penghinaan (Refleksi setelah Workshop Pendidikan Politik 2)