Friday, January 30, 2015

penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena

    
    Papua selalu dipandang secara pincang oleh pemerintah. berbagai persoalan yang ada di Papua dipandang hanya sebagai masalah keamanan sehingga pendekatan yang diambil juga adalah pendekatan keamanan. Padahal dalam sejarah Papua, pendekatan keamanan justru gagal total bahkan menjadikan Papua tidak aman. Sudah terlalu banyak orang Papua yang dibunuh, ditembak aparat Negara dengan alasan Demi stabilitas negara atau demi NKRI. Di Papua, yang paling penting adalah stabilitas negara dan keutuhan NKRI, sementara manusianya menjadi tidak penting dan karenanya mudah dibunuh. Dan kesan ini semakin mendapat pembenarannya ketika pembunuhan masyarakat Papua hampir selalu tanpa proses hukum. Pembunuhan akhirnya menjadi biasa dan kebal hukum menjadi keistimewaan para aparat negara di Papua.   
       kini saat masyarakat sedang trauma dengan pembunuhan sadis dan biadab di Enarotali, Paniai, pemerintah justru ingin menambah kekuatan aparat di Kab. Jayawijaya dengan membangun Mako Brimob. Di Jayawijaya sendiri sudah ada Polres, ada Kodim, ada Batalion dll. Penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob adalah sesuatu yang harus dipahami sebagai penolakan terhadap pendekatan keamanan di Papua. Info selanjutnya buka di sini.

penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena

Papua selalu dipandang secara pincang oleh pemerintah. berbagai persoalan yang ada di Papua dipandang hanya sebagai masalah keamanan sehingga pendekatan yang diambil juga adalah pendekatan keamanan. Padahal dalam sejarah Papua, pendekatan keamanan justru gagal total bahkan menjadikan Papua tidak aman. Sudah terlalu banyak orang Papua yang dibunuh, ditembak aparat Negara dengan alasan Demi stabilitas negara atau demi NKRI. Di Papua, yang paling penting adalah stabilitas negara dan keutuhan NKRI, sementara manusianya menjadi tidak penting dan karenanya mudah dibunuh. Dan kesan ini semakin mendapat pembenarannya ketika pembunuhan masyarakat Papua hampir selalu tanpa proses hukum. Pembunuhan akhirnya menjadi biasa dan kebal hukum menjadi keistimewaan para aparat negara di Papua.   kini saat masyarakat sedang trauma dengan pembunuhan sadis dan biadab di Enarotali, Paniai, pemerintah justru ingin menambah kekuatan aparat di Kab. Jayawijaya dengan membangun Mako Brimob. Di Jayawijaya sendiri sudah ada Polres, ada Kodim, ada Batalion dll. Penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob adalah sesuatu yang harus dipahami sebagai penolakan terhadap pendekatan keamanan di Papua. http://tabloidjubi.com/2015/01/29/penolakan-pembangunan-kompi-brimob-di-jayawijaya-terus-berlanjut/

Saturday, January 24, 2015

KAMI HANYA NAMA

kami hidup di tanah kaya
laut indah berpulau-pulau
di dalamnya ada surga
di daratan ada wangi kopi
aromah cengkeh dan vanili di mana-mana
ada padi yang menguning
ada komodo yang mendunia
di mana-mana ada mangan
ternak kami melimpah
tapi tolong jangan tanya
karena semua anugerah itu
kami hanya punya nama

coba liat tanah kami
penuh orang berdasi
ke mana-mana bawa plat merah
buat kami rakyat pejalan kaki senang
"kita punya mobil bagus"
tapi tolong jangan tanya
karena semua itu
kami hanya punya nama.

kekayaan kami katanya milik negara
milik negara untu kepentingan penyelenggara negara
kami cukup dengan bangga
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat

jangan tanya
mana bupati kami
mana DPRD kami
atau mana Gubernur kami
cukup lihat di istana-istana megah
di Hotel-hotel Mewah
atau di mobil-mobil mahal

tapi tolong jangan tanya
karena semua itu
kami hanya punya nama

kami hanya punya nama
untuk alam yang kaya
keindahan yang memukau
dan untuk pemerintah dan wakil kami yang berlimpah
karena semua itu adalah milik para investor
lalu kami dibuat bangga
ada hotel berbintang-bintang
tanda kemajuan
tapi jangan tanya itu punya siapa




 

suara kemiskinan

Aku adalah Papua, aku adalah Maluku,
Akulah Nusa Tenggara, akulah Sulawesi,
Suara dari kemiskinan, yang tak pernah berujung,
 Semenjak Republik ini berdiri.
Tanah kami tanah kaya, laut kami laut kaya,
Kami tidur diatas emas, berenang diatas minyak,
Tapi bukan kami punya, semua anugerah itu,
Kami cuma berdagang, buah-buah pinang.
Kami tak mau bersalah, pada anak-anak cucu,
Kami tak mau bersalah, pada anak-anak cucu,
Harus ada perubahan, harus ada perubahan,
Harus ada perubahan, harus ada perubahan.

BALE NAGI LARANTUKA - IVAN NESTORMAN

Bale Nagi Larantuka
Ivan Nestorman dalam album Flores, The Cape of Flower
Composed/ arranged/ performed by Ivan Nestorman
--
Ivan Nestorman - Bale Nagi Larantuka
Cari kriang di nagi orang
nae berok tembus lautan
Sampe juga di tana orang
Ile Mandiri dalam ingatan
Sore sore dudo ambe inga,
soba sayang cinta mati
Dolo-dolo selalu aku ingat
dengan kebarek dari Pulau Konga
Sore sore dudo ambe inga
ema sayang, papa sayang
Dolo-dolo selalu aku ingat
dengan rumpu-rampe selalu kurindu
Bale nagi bale nagi, Larantuka the place where I belong
Bale nagi bale nagi, Larantuka selalu menunggu ...

MOGI DEO KEZE WALO - IVAN NESTORMAN

Mogi Deo Keze Walo
 Ivan Nestorman dalam album Flores, The Cape of Flower
 Composed/ arranged/ performed by Ivan Nestorman,
 Remi Aimere, Rin Mogi, Lodovikus
 --
Ivan Nestorman - Mogi Deo Keze Walo
 Gula ana fai ngaza mogi
 adu tangia modhe tau ate ngao mona noa se'a pu'u lau lego
 lovely anafai is Nona Mogi from Nagakeo
 dancing tea eku she is so beautiful
 Oo.. Mogi e
 Mogi e Mogi fu kugu
 Oo.. Mogi e
 Come and dance with me tonite
 Mogi e mogie
 Deo keze walo deo keze walo
 Deo keze walo Nona Mogi e
 

AKU PAPUA

Aku Papua

Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu
Adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu
Adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
Hitam putih keriting lurus
Aku Papua
Hitam putih keriting lurus
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
Hitam putih keriting lurus
Kami Papua
Hitam putih keriting lurus
Kami Papua
Biar nanti langit terbelah
Kami Papua

Monday, January 19, 2015

Rasionalisasi Pemprov NTT Demi Sukses Merampok Pantai Pede

Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) di Aula Sekda Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) pada 17 Januari 2015 tentang Pembangunan Hotel di Pantai Pede menguak banyak hal.
Namun, hal ini bukan karena jelasnya materi sosialisasi yang disampaikan oleh Pemprov NTT tetapi lebih karena masyarakat Mabar sangat kritis dan mengungkapkan berbagai data sejarah, hukum, sosial dan budaya Pante Pede.
Pemerintah Provinsi bahkan kelihatan tidak siap, baik dari segi data maupun argumentasi yang bisa menjadi landasan teguhnya pendirian mereka untuk menyerahkan Pantai Pede ke PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM).
Tim dari provinsi lebih banyak menjelaskan hal-hal yang tidak dibutuhkan para peserta sosialisasi atau menjawab apa yang tidak ditanyakan para peserta.
Akibatnya, sosialisasi ini gagal total dengan beberapa pertanyaan tak terjawab hingga kini karena kekecewaan masyarakat terhadap penjelasan pihak Pemprov.  Masyarakat pun meminta acara sosialisasi ditutup.
Hanya satu persoalan yang dipertanyakan masyarakat yang coba dijawab oleh Gubernur NTT melalui para utusannya, yaitu tentang bagaimana sampai Pante Pede menjadi aset Pemprov NTT?

bagaimana jawaban pemprov? Klik di sini

Saturday, January 17, 2015

JOKOWI: ANTARA HUKUMAN MATI DAN REVOLUSI MENTAL

Bapak Presiden Jokowi yang baik. Selama bertahun-tahun bapak sibuk melayani rakyat dengan penuh penghargaan atas HAM. Bapak juga ingin mengubah persoalan besar bangsa ini dengan gerakan Revolusi Mental. Revolusi Mental harus terjadi agar kebobrokan yg selama ini terjadi tidak terulang lagi dan lagi. Akan tetapi, setalah bapak memiliki kekuasaan yang besar dan mampu mendorong banyak perubahan, bapak justru salah memanfaatkan kekuasaan itu untuk mendorong penghargaan atas HAM dan terjadinya Revolusi Mental. Dengan menolak permohonan grasi dari para tahanan kasus narkoba yg dijatuhi hukuman mati, bapak telah salah menggunakan kekuasaan dan bapak belum mengalami revolusi mental.
Bapak presiden yang terhormat, para pengedar narkoba memang merusak bangsa, merusak upaya revolusi mental. Tetapi menghukum mati mereka juga merusak bangsa dan bukan jalan revolusi mental. Merusak bangsa karena bapak mengajarkan bahwa orang yg melakukan kesalahan haruslah dibunuh. Memang banyak yg berargumentasi bahwa pengedar narkoba melakukan kesalahan besar sehingga pantas dihukum mati, tetapi pertanyaannya kesalahan besar menurut siapa? Masyarakat akan melihat bahwa apa yg bapak lakukan terhadap para tahanan itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Siapa yg salah dihukum tergantung seberapa besar kesalahannya. Dan setiap orang berbeda dalam menilai besarnya kesalahan. Maka main hakim sendiri hingga membunuh orang yg bersalah jadi mungkin. Apa itu yang Bapak sebut revolusi mental?

Bapak presiden, bapak jangan asal mengikuti orang lain yg berpikir bahwa dengan hukuman mati, akan banyak orang yg bertobat dan tidak terlibat dalam masalah narkoba. Tidak ada bukti bahwa hukuman mati buat orang lain jera. Ini bukan revolusi mental bapak. Dan ini tidak akan mendorong adanya revolusi mental.
Bapak presiden, revolusi mental tidak bisa terjadi dengan membunuh. Dan adalah kontradiksi memperjuangkan HAM dengan membunuh. Kalau bapak tetap menghendaki adanya hukuman mati, apa bedanya bapak dengan para pembunuh, dengan para pengedar narkoba yg merusak bangsa atau para teroris yg membunuh banyak orang.
Ingat bapak Presiden, bapak itu adalah teladan bangsa. Tapi apa yg harus diteladani kalau dalam soal paling dasar saja, hak hidup, bapak tidak beda dengan para penjahat yg menghendaki kematian musuhnya? Bapak mestinya menjadi teladan soal menghargai hak hidup orang lain. Tapi yg bapak buat adalah membiarkan pembunuhan itu menjadi hal yg biasa dan dibenarkan. Jelas ini bukan revolusi mental.
Bapak mengira bahwa dgn hukuman mati banyak orang yg bertobat. Sama sekali tidak bapak. Yg terjadi justru ajaran baru untuk membunuh.  Bapak presiden yg harus diubah itu adalah mental orang agar tidak cari jalan pintas untuk jadi kaya dengan narkoba. Tapi bapak justru mengajarkan jalan pintas baru mencapai revolusi mental dengan membunuh dan mengancam akan membunuh orang yg masih mengedarkan narkoba. Tapi jalan itu tidak akan mencapai revolusi mental.


Bapak presiden, banyak rakyat bapak yg terancam hukuman mati dibanyak negara. Pasti bapak akan berjuang untuk mereka itu. Tetapi apa yg mendasari perjuangan bapak kalau di dalam negara sendiri di mana bapak satu-satunya yg berkuasa untuk menyelamatkan orang yg dijatuhi hukuman mati tetapi bapak justru menyetujui hukuman mati. Kalau alasan bapak bahwa yg dihukum mati itu orang yg berbuat kesalahan besar merusak bangsa, maka di negara lain di mana banyak rakyat bapak terancam hukuman mati pun alasannya sama, karena melakukan kesalahan besar. Penentuan besar kecilnya kesalahan yg dijatuhi hukuman mati tidak sama untuk setiap orang. Jadi tidak harus kasus narkoba.  bapak berjuang untuk menyelamatkan rakyat bapak di negara orang, tetapi membunuh orang lain di negara sendiri. Bapak pikirkan lagi sebelum bapak tidak bisa mengembalikan mereka yg bapak setujui untuk dibunuh. Ingat bapak ini bukan revolusi mental dan adalah bohong memperjuangkan HAM dengan Melanggar HAM.

Friday, January 16, 2015

PANTAI PEDE: MELAMPAUI PERSOALAN KEPEMILIKAN

PANTAI PEDE:
MELAMPAUI PERSOALAN KEPEMILIKAN
Ence Geong*
Bekerja pada Sunspirit

 Persoalan Pantai Pede di Manggarai Barat yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini cenderung mengerucut pada persoalan entahkah Pantai Pede adalah milik Pemerintah Provinsi NTT ataukah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Pada satu sisi, Pemprov NTT mengklaim bahwa secara hukum Pantai Pede merupakan asset Pemprov NTT. Sementara pada sisi yang lain, masyarakat Manggarai Barat mengklaim bahwa pantai ini adalah milik Pemerintah dan Masyarakat Manggarai Barat karena sesuai dengan Pasal 13 huruf b UU No 8 Tahun 2003 Tentang Pembentukkan Kabupaten Manggarai Barat dan Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri No 42 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutan Piutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk. Dalam Keputusan menteri Dalam Negeri No 42 ini bahkan dijelaskan bahwa penyerahan segala asset kepada Daerah Pemekeran Baru dilakukan paling lambat satu tahun setelah peresmian Wilayah Baru itu.
 Diskursus tentang status hukum kepemilikan Pantai Pede ini tentu saja penting agar pihak yang secara hukum merupakan pemilik Pantai Pede secara bertanggung jawab mengelola Pantai Pede. Hal ini semakin urgen karena pantai Pede berada di wilayah destinasi Pariwisata. Tanpa pengelolaan yang baik, Pantai Pede akan terbengkalai bahkan menjadi momok yang menghancurkan pariwisata Labuan Bajo. Kenyataan selama ini, Pantai Pede dibiarkan tak terurus. Pemerintah Provinsi yang mengklaim sebagai pemilik sah Pantai Pede (sesuai dengan tiga sertifikat tanah yang ada di Pantai Pede) tak peduli dengan keberadaan pantai ini. Sementara Pemda Kab. Manggarai Barat yang dengan basis hukum berbeda menghendaki Pantai ini menjadi milik Manggarai Barat pun tidak berbuat apa-apa terhadap Pantai ini. Akhirnya Pantai Pede yang menjadi tempat kecil - yang tersisa dari pencaplokan para investor- bagi masyarakat Manggarai Barat menikmati keindahan alam dengan biaya yang murah justru dipenuhi sampah. Hal ini tentu saja merusak pariwisata Manggarai Barat itu sendiri.  Dalam kondisi tanpa perhatian pemerintah baik kabupaten maupun provinsi ini, dalam masyarakat Manggarai Barat mulai lahir kelompok-kelompok yang peduli dengan kebersihan Pantai ini. Bagi masyarakat Manggarai Barat, siapa pun pemiliknya, entah itu Pemprov NTT atau Pemkab Manggara Barat, Pantai Pede merupakan milik rakyat yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
 Apa yang dibuat masyarakat itu sangat berbeda dengan tingkah Gubernur dan Bupati yang saling klaim kepemilikan atas tanah itu tanpa ada tindakan yang diambil untuk melayani masyarakat sebagai pemilik yang terutama. Pemprov NTT dan Pemkab Mabar sibuk mencari dasar hukum yang bisa memperkuat klaim kepemilikan atas tanah itu. Akan tetapi substansi yang mendasari adanya pembagian peran dalam mengelola asset masyarakat yang dipercayakan kepada pemerintah diabaikan sama sekali. Masyarakat sebagai pemilik utama Pantai Pede dan yang harus dilayani oleh pemerintah dengan pengelolaan Pantai Pede secara baik demi masyarakat itu sendiri tidak diperhatikan oleh pemerintah. Fokus Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat adalah pada siapa yang secara hukum berhak atas tanah tersebut sehingga bisa mendapat keuntungan pribadi (tetapi berjuang atas nama PAD) dalam transaksi dengan para investor. Menjadi jelas bahwa masyarakat tidak masuk dalam pikiran pemerintah saat membicarakan kepemilikan pantai Pede.
Melampaui Persoalan Kepemilikan
 Pertanyaan yang muncul adalah apakah polemik Pantai Pede berhenti pada persoalan kepemilikan atau harus melangkah lebih jauh melampaui pola pikir pemerintah dan  menemukan masalah dan menawarkan alternative atas masalah Pantai Pede ini? Pertanyaan ini menjadi penting agar substansi persoalan tidak hilang ditelan persoalan klaim kepemilikan oleh para pengelolah tanah ini. Selain itu, berkutatnya para pengelolah provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Barat pada persoalan kepemilikan adalah suatu pintu masuk yang baik untuk membongkar kebobrokan sistem pemerintahan, mekanisme kontrol DPR dan juga patut dicurigai adanya deal-deal dengan pihak ketiga.
 Pertama, Pantai Pede dibagi atas tiga bagian dengan sertifikat masing-masing atas nama Pemprov NTT. Dua sertifikat Hak Pakai No 10 dan 11 dikeluarkan tahun 1989 dan satunya, No 1 dikeluarkan tahun 1994. Akan tetapi kemudian terdapat keanehan. Pada 19 April 1999 baru dilakukan serah terima tanah dengan sertifikat Hak Pakai no 10 dan 11 oleh Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya RI kepada Pemerintah Provinsi NTT (Berita acara serah terima/hibah Barang nomor PL.302/I/2/PSB-99). Sementara 5 tahun sebelumnya (5 April 1994) Pemerintah Provinsi telah menyerahkan kedua tanah itu kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai (Berita Acara nomor P.519/1.1/IV/1994). Dengan demikian maka posisi Pantai Pede sesungguhnya bermasalah sejak awal.
 Kedua, jika dipandang dari sudut pandang UU no. 8 tahun 2003 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri no 42 tahun 2001 maka Pemerintah Provinsi NTT atau Pemkab Manggarai wajib menyerahkan segala asset yang ada di wilayah Kabupaten baru Manggarai Barat paling lambat setahun setelah diresmikan sebagai kabupaten otonomi baru. Akan tetapi hal ini tidak terjadi. Bisa jadi persoalan kepemilikan awal di atas menjadi hambatan. Akan tetapi alasan tersebut gugur dengan sendirinya ketika pemerintah Provinsi justru membuat MoU dengan Investor untuk mengelola Pantai Pede.
 Bagi saya, masalah Pantai Pede ini melahirkan kecurigaan bahwa banyak asset di daerah Pemekaran Baru di NTT ini yang sesungguhnya bermasalah. Pantai Pede hanyalah satu masalah yang muncul ke permukaan karena merupakan tempat strategis dan bisa menjadi ATM bagi penguasa. Tetapi yang terutama, Pantai Pede muncul karena masyarakat Manggarai Barat memberontak karena terancam kehilangan ruang publik berbiaya murah. Maka jika ditelusuri asset-aset di wilayah pemekaran baru, saya yakin ada banyak asset yang sampai sekarang masih teregistrasi sebagai milik Pemprov NTT. Dengan demikian, Gubernur NTT sesungguhnya telah melanggar UU. Hal ini sekaligus menggambarkan bobroknya pemerintahan di NTT ini sekaligus lemahnya mekanisme kontrol wakil rakyat terhadap pemerintah.
 Dengan melihat persoalan ini, kita mesti melampaui perdebatan Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat. Persoalan Pantai Pede ini mesti dibawa kembali ke persoalan yang lebih substansial tentang asset ini baik asset negara, pemprov maupun Pemkab dan asas manfaatnya bagi masyarakat. Hal ini sangat penting agar para pemegang kekuasaan tahu bahwa apa yang disebut sebagai asset negara, Pemprov atau Pemkab bukanlah dalam arti kepemilikan para penguasa itu sehingga seenaknya dikelola tanpa mempertimbangkan masyarakatnya.
 Dalam konteks ini, para penguasa harus sadar benar bahwa segala asset yang teregistrasi sebagai asset pemprov atau pemkab dan ada dalam lingkup Pemprov maupun Pemkab merupakan asset masyarakat yang dipercayakan pengelolaannya kepada pemerintah baik Pemprov maupun Pemkab untuk tujuan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, masyarakat sebagai pemilik utama atas asset – asset pemerintah mesti didengarkan aspirasinya.
 Karena itu, entahkan Pantai Pede teregistrasi sebagai asset Pemprov atau pun Pemkab, peruntukkannya haruslah bagi masyarakat. Maka untuk mengetahui bagaimana Pantai Pede seharusnya dimanfaatkan adalah dengan menggali aspirasi masyarakat dan belajar dari pemanfaatan asset negara lainnya. Untuk itu pemerintah tidak pernah boleh mendahului kehendak rakyat dengan membuat MoU dengan pihak investor (Aparat Penegak Hukum atau KPK mesti menyelidiki hal ini). Penolakan privatisasi Pantai Pede oleh banyak kelompok masyarakat di Manggarai Barat secara jelas menggambarkan bahwa pemerintah Provinsi belum atau bahkan tidak mau menggali aspirasi masyarakat. Dan penolakan itu juga sekaligus menunjukkan apa yang dikehendaki masyarakat dengan Pantai Pede.
 Selain itu, penolakan masyarakat pun secara jelas menggambarkan bahwa model pengelolaan asset negara dengan melibatkan kaum kapitalis tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat banyak. Untuk konteks Manggarai Barat, masyarakat sudah benar-benar kehilangan ruang publik yang bisa dinikmati dengan biaya murah. Berjejernya hotel dan restoran di pesisir Pantai Labuan Bajo menghilangkan ruang publik bagi masyarakat umum. Dan keindahan alam Labuan Bajo akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya dan wisatawan asing. Masyarakat umum akhirnya hanya menjadi pemilik nama sebagai tempat destinasi pariwisata dunia, tetapi keindahannya tidak bisa dinikmatinya sendiri.
 Maka melampuai persoalan kepemilikan, masyarakat dan pemerintah harus fokus pada bagaimana pemanfaatan Pantai Pede sebagai ruang publik yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Manggarai Barat. Yang jelas privatisasi ditolak karena tidak menguntungkan masyarakat dengan alasan PAD sekalipun karena keuntungan yang diperoleh masyarakat kalau Pantai Pede dikelolah untuk ruang publik jauh lebih besar dan tidak dapat dihitung dengan uang. Jika tidak maka masyarakat Manggarai Barat hanya menjadi pemilik nama kota pariwisata tetapi tidak bisa menikmatinya.