Diambil dari hlm Opini Flores Pos 13 Februari 2014
Flori Geong
Pernyataan
Wakil DPRD Ngada, Paulus Nong Watu dalam Harian Umum Flores Pos beberapa waktu
lalu cukup mengejutkan. DPRD Ngada menantang Divisi Perempuan TRUK-F untuk
menempu jalur hukum atas laporan yang disampaikan TRUK-F kepada DPRD Ngada
tentang dugaan tindakan immoral Bupati Ngada. Alasan DPRD Ngada tidak bersikap
atas laporan tersebut dan sebaliknya menantang TRUK-F adalah karena kasus ini
dinilai sebagai delik aduan. DPRD Ngada pun siap mendukung TRUK-F kalau menempu
jalur hukum.
Pertanyaannya,
apakah DPR hanya menerima laporan masyarakat yang masuk dalam bentuk delik
umum? Dan apakah DPR hanya menjadi eksekutor untuk melanjutkan putusan hukum di
pengadilan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya melihat kembali
esensi laporan TRUK-F kepada DPRD Ngada dan apa yang diharapkan dari DPRD
sebagai lembaga politis yang disediakan negara demokratis.
TRUK-F Bersuara
Kasus
ini telah mencuat sekitar dua tahun lalu. Akan tetapi, TRUK-F yang mendampingi
korban dan beberapa kali dihubungi Bupati cukup lama juga menutup rapat hal
ini. Tentu saja ada alasan mengapa TRUK-F cukup lama tidak bersuara. Salah satu
alasan, sebagaimana terungkap dalam pernyataannya kemudian, korban meminta
perlindungan dan pendampingan TRUK-F untuk memulihkan kondisi psikisnya yang
sangat terpukul.
Masa
tenang ini kemudian berubah drastic setelah Bupati dalam berbagai kesempatan
menyatakan kepada masyarakat tentang kebohongan infromasi ini. Hal ini semakin
riuh ketika salah satu klarifikasinya di
hadapan masyarakat tersebar dalam bentuk video, termasuk di Youtube.
Pernyataan
MS ini kemudian memaksa TRUK-F untuk membuka suara. Setelah selama ini diam
sambil mendampingi korban, TRUK-F merasa bahwa keadaan ini tidak bisa
dibiarkan. Kebenaran mesti diungkapkan dan kebohongan harus dihentikan.
Pengungkapan kebenaran ini juga merupakan tanggung jawab moral TRUK-F terhadap
masyarakat yang telah mempercayakan kekuasaannya kepada Bupati. Suara TRUK-F
ini dinyatakan secara terbuka melalu media sebagai bentuk perlawanan terhadap
upaya pembohongan publik. Dalam hal ini, korban bukan hanya MNS tetapi juga
masyarakat yang terus dibohongi.
Kemudian
muncullah berbagai persoalan termasuk aksi-aksi perlawanan terhadap PMKRI yang
juga mempertanyakan kebenaran masalah ini. Sementara bupati sendiri tetap menyangkal
namun tanpa menyebut TRUK-F secara langsung dan juga tidak melaporkan TRUK-F
atas tuduhan pencemaran nama baik. Bupati beralasan bahwa ia tidak mau repot
menanggapi hal ini karena lebih memilih mengurus masyarakat.
Alasan ini seringkali
ditanggapi dengan penuh haru dan bangga oleh masyarakat. Akan tetapi tanpa
menyelesaikan masalah ini, energi bupati yang katanya demi masyarakat, justru
lebih banyak dikuras bupati sendiri dengan melakukan berbagai klarifikasi pada
berbagai kesempatan.
Langkah Politis
Surat
TRUK-F untuk DPRD Ngada adalah suatu langkah politis yang ditempuh untuk
menjernikan persoalan ini. Tentunya muncul pertanyaan: mengapa TRUK-F tidak
melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum tetapi
justru dilaporkan kepada DPRD Ngada yang bukan lembaga hukum tetapi lembaga
politis.
Surat
TRUK-F untuk DPRD Ngada kiranya jelas bahwa ada beberapa alasan yang menjadi
landasan sikap TRUK-F melaporkan masalah ini kepada DPRD Ngada. Selain karena
korban belum bersedia memproses kasus ini secara hukum, sikap ini juga diambil
karena klarifikasi bupati dalam berbagai kesempatan yang bertolak belakang
dengan pengakuan korban. Selain itu, posisi sebagai bupati adalah posisi
politis. Kekuasaannya adalah kekuasaan politis yang dipercayakan masyarakat kepadanya.
Dan untuk menjami bahwa kekuasaan yang dipercayakan masyarakat itu digunakan
untuk kepentingan masyarakat, maka ada lembaga politis yang bertugas
mengontrolnya. DPRD Ngada adalah lembaga politis yang dipercayakan masyarakat
untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan itu. Dengan fungsi kontrolnya, DPRD
Ngada memang mesti mengontrol penyelenggaraan kekuasaan oleh bupati. Salah satu
bentuknya adalah mendengar laporan masyarakat dan meminta pertanggungjawaban bupati.
Untuk itu, DPRD pun harus peka terhadap berbagai persoalan yang ada dalam
masyarakat, termasuk yang tersebar dalam media massa.
Terhadap
laporan yang masuk atau tersebar dalam berbagai media termasuk kenyataan yang
ditemukan oleh para anggota DPR di lapangan, DPRD memang harus selektif. Dalam
proses seleksi ini, mesti ada kriteria yang
digunakan. Hemat saya, dalam mengontrol kekuasaan, kriteria yang digunakan
adalah apakah sesuatu terjadi atau suatu kenyataan ada karena penyelewengan
kekuasaan atau tidak. Karena itu, DPRD seharusnya menanggapi persoalan yang
berhubungan dengan penyelewengan kekuasaan tidak peduli itu adalah delik aduan
atau bukan. Dasarnya adalah bahwa kekuasaan itu dipercayakan kepada bupati
bukan untuk kepentingan pribadi, entah kekayaan atau kesenangan pribadi lainnya
tetapi demi kepentingan masyarakat yang mempercayakan kekuasaan itu.
Maka
yang harus diteliti dari laporan TRUK-F adalah, apakah dugaan tindakan immoral
yang dilakukan bupati itu adalah suatu bentuk penyelewengan kekuasaan atau
bukan?
Penyelewengan
Kekuasaan
Masalah
ini melibatkan seorang pejabat publik dengan korban adalah bawahannya. Relasi
antara atasan dan bawahan adalah relasi kuasa. Dalam relasi kuasa, hubungan
seksual antara atasan dan bawahan yang terjadi selalu merupakan hubungan yang
timpang karena tidak setara. Maka hubungan seksual antara bupati dan bawahannya
tidak bisa dilihat sebagai suatu hubungan suka-sama suka tetapi sebagai
hubungan yang timpang. Dengan itu maka termasuk dalam kekerasan.
Dan
relasi kuasa yang terbentuk hanya mungkin karena bupati memiliki kekuasaan yang
dipercayakan masyarakat kepadanya. Karena itu, hubungan seksual antara atasan
dan bawahan sudah merupakan suatu bentuk penyelewengan kekuasaan yang
dipercayakan kepada sang bupati. Di sini, bupati sedang menggunakan kekuasaan
yang dipercayakan kepadanya untuk kesenangan pribadi dan bukan untuk
kepentingan masyarakat.
Menjadi
jelas bahwa hubungan seksual antara atasan (bupati) dan bawahannya adalah
hubungan timpang dan sebagai sebuah bentuk penyelewengan kekuasaan. Terhadap
dugaan penyelewengan kekuasaan itu, DPRD sebagai lembaga politis pengontrol
kekuasaan sudah seharusnya memanggil Bupati untuk mengklarifikasi masalah
tersebut dengan memperlihatkan bukti-bukti yang diserahkan TRUK-F. Dalam hal
ini, DPRD tidak pernah boleh memandang dirinya sebagai algojo yang hanya
menindaklanjuti keputusan pengadilan. Sebagai lembaga politis dengan fungsi
kontrol yang diembannya, DPRD mesti meminta pertanggungjawaban bupati atas
laporan TRUK-F itu.
Karena
itu, tantangan DPRD Ngada atas TRUK-F untuk melaporkan kasus ini ke pihak
berwajib memang adalah hal yang wajar, tetapi dengan itu tidak berarti DPRD
Ngada tidak bersikap dengan memanggil Bupati untuk meminta klarifikasinya. DPRD
tidak bisa hanya menantang TRUK-F dan menanti proses hukum berlajalan lalu menjadi
algojo atas putusan pengadilan. DPRD mesti mengambil sikap, tetapi bukan
sebagai instansi penegak hukum tetapi sebagai instansi politis yang bertugas
mengontrol kekuasaan. Sikap inilah yang belum diperlihatkan DPRD Ngada, dan
dengan itu, harus dirongrong, digugat agar setidaknya wakil rakyat yang
terhormat ini bisa membuka mata dan dengan serius menjalankan peran politisnya
secara militan.