G 30-S, Kita dan Viktimasi Korban Tiga Tingkat
Pos Kupang - Rabu, 29 September 2010 | 00:02 WITA
|
PERSOALAN G 30 S kembali hangat diperbincangkan sejak bergulirnya reformasi. Banyak orang mulai meragukan kebenaran peristiwa sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah atau dalam film Janur Kuning itu. Sejak reformasi, paling kurang muncul empat versi baru tentang dalang di belakang kejadian 30 September 1965 itu.
Pertama, teori WF Wertheim, Coen Holtzappel serta media dan jurnalis
Amerika yang mengatakan bahwa Soeharto dan CIA (Badan Intelijen Amerika)
yang melakukan operasi intelijen untuk menjebak PKI. Kedua, operasi
intelijen Partai Komunis China yang mendalanginya. Ini pernah
dikemukakan oleh pihak Amerika dan CIA, lalu dianulir kembali. Ketiga,
menurut peneliti dari Universitas Cornell, penyebab pembunuhan adalah
konflik internal TNI. Keempat, teori Anthony Dake bahwa Presiden
Soekarno sendirilah pelakunya. TNI-AD dan Amerika kemudian menyokong
teori ini untuk menjatuhkan Presiden Soekarno yang diklaim membuat
sebuah skenario yang melibatkan PKI untuk menghabisi lawan-lawan
politiknya, terutama Dewan Jenderal yang pernah berusaha mengkudetanya.
Terlepas dari kontroversi sejarah seputar pelaku gerakan tersebut, kita
tak dapat mengelak kenyataan bahwa banyak masyarakat yang menjadi korban
peristiwa tersebut. Banyak orang yang dibunuh karena diduga menjadi
anggota ataupun simpatisan kelompok terlarang, PKI. Namun di belakang
semuanya itu, kita harus jujur bahwa hal itu terjadi dalam suatu
kerangka mencari dan merebut kekuasaan. Kejadian yang menjadi awal
pembantaian terhadap satu juta lebih masyarakat di seluruh tanah air itu
menjadi bagian dari proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke
Soeharto.
Peristiwa G30S memang telah lama berlalu, namun luka yang
ditinggalkannya masih terus menganga, bahkan semakin menimbulkan borok.
Upaya memendam kekelaman sejarah bangsa ini dengan dalil melupakan suatu
kebiadaban di masa lalu justeru menjadi virus yang terus menimbulkan
luka-luka baru. Upaya melupakan sejarah kelam tersebut tanpa suatu
rekonsiliasi bagaikan membiarkan duri terus menancap dalam daging.
Entah bagaimana persoalan sebenarnya yang telah merobek hati bangsa,
peristiwa tahun 1965 hingga 1966 tersebut patut kita refleksikan kembali
saat ini. Hemat saya, bukanlah hal naif bila kita memiliki kecemasan
akan terjadinya peristiwa serupa di masa mendatang. Kita perlu
berjaga-jaga agar peristiwa yang telah menelan jutaan nyawa tak berdosa
itu tidak terjadi lagi dalam cara apa pun.
Viktimisasi korban tiga tingkat
Masyarakat Indonesia yang hidup pada tahun 1965 rata-rata merupakan
masyarakat yang miskin. Walaupun telah merdeka selama dua puluh tahun,
namun kemiskinan tetap menguasai masyarakat Indonesia pada umumnya. Di
pihak lain, segelintir orang justeru semakin meningkat taraf hidupnya.
Hal ini terjadi karena sistem yang ada waktu itu tidak mengakomodasi
seluruh masyarakat Indonesia untuk maju dan berkembang. Sistem yang ada
hanya berpihak pada segelintir orang. Pada titik ini dapat kita lihat
bahwa pada masa-masa awal kemerdekaannya itu, banyak masyarakat
Indonesia yang menjadi korban ketidakadilan oleh sistem yang berlaku
saat itu.
Pengorbanan masyarakat kecil pun kembali terjadi sejak terjadinya
peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal TNI-AD. Masyarakat yang buta
terhadap politik dan tidak banyak tahu tentang partai politik
dikorbankan karena menjadi pengikut PKI. Dalam kemiskinannya yang
diakibatkan oleh sistem yang tidak adil, jutaan masyarakat Indonesia
dibunuh secara kejam tanpa alasan yang pasti. Mereka yang tak bersalah
dikorbankan dan dianggap pemerintah sebagai orang-orang yang bersalah
dan patut dilenyapkan dari muka bumi.
Namun, para korban ini kembali dikorbankan dengan manipulasi tentang
kebenaran mereka ini. Melupakan sejarah kelam tahun '65 hingga '66
dengan semua korbannya sambil membentangkan sejarah para pemenang
merupakan suatu bentuk manipulasi terhadap kebenaran yang ada tentang
para korban. Jelaslah bahwa sejarah hampir selalu menunjukkan bahwa yang
kalah akan selalu kalah juga di hadapan hukum. Walter Benyamin benar
ketika mengatakan bahwa sejarah bangsa-bangsa merupakan sejarah para
pemenang, sejarah dari mereka yang berkuasa.
Satu jutaan masyarakat Indonesia yang menjadi korban tahun 1965 hingga
1966 merupakan kelompok yang kalah. Namun setiap korban ini entah yang
masih hidup maupun sudah meninggal tetap membutuhkan hukum sehingga
kebenaran dapat ditegakkan dan sejarah yang tertulis dapat memperhatikan
aspek korban juga. Kenyataannya hingga saat ini tidak ada kejelasan
hukum tentang para korban, apalagi para pelakunya dan sejarah tetap
menjadi sejarah para pemenang dengan klaimnya yang selalu mempersalahkan
yang kalah. Hal inilah yang kita sebut sebagai viktimisasi korban tiga
tingkat.
Konteks kita
Dalam konteks kita saat ini, korban masih terus berjatuhan, tetapi dalam
cara yang kurang tampak sebagaimana terdapat dalam peristiwa tahun 1965
hingga 1966 sehingga banyak orang menganggapnya bukanlah sebentuk
kejahatan lagi. Banyak yang melihat bahwa dalam zaman reformasi ini
bentuk-bentuk korban seperti peristiwa '65 dan 66 tidak ada lagi. Namun,
bila kita jujur sebenarnya ada banyak orang yang dikorbankan dalam
perhelatan politik. Sistem demokrasi yang kita anut selama ini
dipelintir sebagai bentuk baru dan halus dalam mengorbankan orang lain
(masyarakat lemah) demi kekuasaan. Jelaslah bahwa selalu ada korban
dalam berbagai pergolakan kekuasaan. Dalam kerangka mencari kekuasaan
ini, kita dapat melihat suatu bentuk viktimisasi terhadap rakyat lemah
yang telah menjadi korban sistem yang ada dalam negara kita saat ini.
Susksesi kepemimpinan dari pusat hingga kabupaten justeru menjadi ajang
pengorbanan kembali rakyat kelas bawah tersebut. Sistem demokrasi yang
'mengagungkan' rakyat sebagai pemegang kekuasaan justeru digunakan untuk
merendahkan martabat rakyat itu sendiri. Pilpres, Pilgub, Pilkada
hingga Pileg sarat dengan berbagai bentuk viktimisasi korban. Masyarakat
kecil yang dianggap lemah dan tidak memiliki daya kritis, yang adalah
korban dari sistem yang tidak adil, diperalat, dimobilisasi, dikibuli
dan direndahkan dalam berbagai kampanye politik. Mereka yang telah
menjadi korban dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme kini
dikorbankan dan diperalat demi mencapai kekuasaan. Hal ini malah sudah
sangat banal. Seakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
identitas demokrasi di negeri ini. Kampanye dirangkai sedemikian rupa
sehingga bisa memperdaya masyarakat yang kurang memiliki daya kritis,
guna mendulang dukungan sebanyak-banyaknya. Sementara kebenaran isi
kampanye bisa jadi dinomorsekiankan. Sekali lagi, masyarakat kelas bawah
dikorbankan demi kekuasaan.
Selain itu, money politics menjadi senjata lain yang terus mengorbankan
masyarakat kelas bawah. Penguasaan politik oleh uang (para pengusaha)
menjadikan politik kita timpang dan cenderung membela kepentingan mereka
yang memiliki modal. Pembelian suara rakyat dalam berbagai pemilihan
juga menjadi bentuk lain dari money politic yang sangat merendahkan
martabat masyarakat. Uang mereduksi manusia menjadi budak yang tidak
mampu menentukan pilihannya sendiri. Akibat lanjutnya dapat ditemukan
setelah pemilu usai, para pemodal (sumber modal dalam kampanye) menjadi
pengendali kekuasaan sehingga berbagai kebijakan yang diambil pemerintah
lebih berpihak pada kepentingan mereka sementara kesejahteraan
masyarakat dilupakan. Kembali rakyat dikorbankan.
Bentuk viktimisasi korban di atas merupakan sedikit dari banyaknya
tindakan serupa yang terjadi dalam kerangka memperebutkan kekuasaan dan
kelihatan lebih halus dari yang terjadi sejak 30 September 1965
tersebut, namun akibat yang ditimbulkannya tidak kalah buruknya dengan
peristiwa G 30 S PKI tersebut. Bentuk viktimisasi korban di atas menjadi
alasan mengapa banyak masyarakat lemah tetap miskin, sementara yang
kaya semakin kaya. Walaupun rakyat tidak dibunuh secara kejam seperti
sejak G30S PKI, namun banyak rakyat kita yang dibunuh secara perlahan
karena diperas oleh sistem dan pemerintahan yang tidak adil.
Itu hanyalah sedikit dari sekian banyak bentuk viktimisasi yang dialami
rakyat. Sejak kemerdekaan Indonesia ini, masyarakat lemah selalu
dikorbankan dalam setiap pergantian kekuasaan. Namun, itu tidak berarti
bahwa kita tidak bisa keluar dari persoalan seperti ini. Kita selalu
berharap agar dalam berbagai pergolakan merebut tampuk pemerintahan di
negara kita ini, rakyat tidak lagi dikorbankan.
Hal ini hanya bisa terwujud bila kita bisa membuka diri terhadap suatu
kenyataan perbedaan. Keterbukaan terhadap kenyataan berbeda memungkinkan
kita untuk saling menghargai dan melihat bahwa setiap orang penting dan
sederajat. Dengan pandangan seperti itu diharapkan tidak ada lagi upaya
menjadikan orang lain sebagai korban demi mencapai tujuan (kekuasaan).
Karena itu, kita membutuhkan suatu bentuk demokratisasi pada tataran
hati nurani sehingga dalam setiap pergantian kekuasaan kita selalu
menghargai perbedaan. Dengan demikian setiap orang tidak menjadikan
orang lain sebagai korban demi pencapaian tujuannya. Disposisi batin
seperti ini sangat penting bagi kita di zaman dengan tendensi kuat ke
arah homogenitas ini. Dengan itu, kita diharapkan bisa menghidupkan
demokrasi di negara ini secara lebih nyata. sehingga tidak ada lagi
rakyat yang dikorbankan atau dikorbankan berkali-kali lagi. *
FLorianus Geong
Krew KMK Ledalero, Maumere
No comments:
Post a Comment