Thursday, December 22, 2016

Polri dan Tanggung Jawab Sweeping

Pernyataan Kapolri agar bawahannya tidak membiarkan kelompok manapun melakukan sweeping adalah satu oase di tengah kecenderungun bawahannya mengikuti kehendak kelompok-kelompok tertentu. Apa yang dilakukan Kapolri sekaligus menghadirkan kembali peran negara dalam kondisi masyarakat Indonesia yang kini mulai menggunakan hukum rimba. "Siapa yang kuat dia yang berkuasa."

Dalam kehidupan bernegara, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengatur agar semua orang merasa nyaman hidup dalam negara tersebut. Tak peduli seberapa kuatnya atau berapa banyak anggotanya, semuanya harus tunduk pada pemerintah. Pemerintah itu sendiri tak pernah boleh bertindak sewenang-wenang. Untuk itu ada aturan atau hukum yang menjadi patokan tindakan pemerintah.

Pemerintah mesti taat pada aturan atau hukum yang berlaku. Atas dasar hukum itulah, pemerintah melalui aparat-aparatnya bertindak untuk tujuan hidup bersama. Selain itu, negara hanya bertindak dalam level hidup bersama dan bukan terhadap kehidupan privat setiap warganya. Negara tak berhak untuk mengatur kehidupan privat setiap orang.

Namun, kehidupan privat pun tak lepas dari kehidupan bersama. Urusan privat bisa jadi beririsan dengan urusan publik dalam hidup bernegara. Karena itu, setiap orang bebas melakukan apa pun dalam negara demokrasi namun kebebasannya itu dibatasi oleh kebebasan dan hak orang lain. Ketika kehidupan privat beririsan dengan kehidupan publik maka negara wajib mengaturnya dengan batasan yang jelas. Untuk itu negara mesti menciptakan aturan untuk mengatur batasan itu.

Setiap pribadi misalnya bebas menyanyi sekeras-kerasnya, namun ketika suara nyanyiannya itu mengganggu kenyamanan hidup orang lain maka negara mesti mengaturnya. Namun negara tak pernah boleh melarang orang untuk bernyanyi. Yang negara atur adalah agar orang tersebut bernyanyi tanpa menggangu pihak lain.

Baca juga: Saya kristen Tak Pakai Onamen Natal
Dua Tindakan Berbeda Polisi

Demikian pun setiap orang bebas untuk berdoa dimana pun ia ingin berdoa. Namun ketika ia melakukan doa di tengah jalan maka negara wajib turun tangan untuk mengaturnya karena menggangu pihak lain yang menggunakan jalan.

Orang pun bebas untuk menggunakan pakaian apa pun jenisnya. Bahkan untuk tidak berpakaian pun, itu adalah hak. Namun ketika ia mencuri pakaian orang maka negara wajib mengaturnya. Intinya negara baru boleh turun tangan ketika ada indikasi pihak tertentu melanggar hak pihak lain.

Terkait dengan itu, soal pilihan berpakaian misalnya negara tak pernah boleh mengintervensi. Setiap orang bebas memilih jenis pakaiannya. Namun negara harus intervensi ketika ada pihak lain yang melakukan pelecehan seksual. Sekali lagi, cara berpakaian itu hak setiap orang, tetapi tindakan pelecehan terhadap orang lain mesti dihukum tak peduli alasan pelecehannya adalah karena jenis pakaian yang dikenakan korban (ini alasan yang tak masuk akal).

Agama atau adat sesungguhnya bisa berperan dalam kehidupan privat manusia. Akan tetapi peranan agama atau adat terbatas pada kelompok agama atau bagian dari masyarakat adat tersebut. Selain itu, perannya pun bukanlah peran memaksa tetapi hanya berperan mendorong atau memberi nasihat. Agama tak boleh memaksa karena yang memiliki kewenangan memaksa atau menggunakan kekerasan (tentu dengan pengecualian) hanyalah negara.

Karena itu, jika ada orang yang melanggar aturan agamanya, maka para pemuka agama pun tak pernah boleh melakukan kekerasan padanya. Misalnya, jika seorang umat Katolik makan daging pada hari Jumat Agung dimana saat itu menjadi saat berpuasa bagi umat Katolik, maka para pemuka agama tak boleh menghukumnya dengan kekerasan. Sampai pada titik ini pun negara tak pernah boleh intervensi. Namun ketika ada kekerasan dalamnya, negara bisa bertindak.

Jika terhadap umatnya sendiri, agama-agama tak pernah boleh memaksa apalagi dengan kekerasan demikian pula terhadap orang dari agama lain atau yang tak beragama.

Tugas mengatur kehidupan bersama adalah tugas negara. Kelompok manapun tak pernah boleh mengatur negara. Untuk itu aparat negara pun tak pernah boleh mau diintervensi oleh kelompok tertentu. Negara adalah rumah bersama dengan pemerintah sebagai pengaturnya. Namun jika negara mulai diatur kelompok tertentu, maka sesungguhnya negara sedang menuju kepada kegagalannya sebagai sebuah negara. Karena itu sikap kapolri menjadi penting.

Sikap kapolri ini pun sekaligus menjadi jaminan bagi kelompok minoritas di Indonesia bahwa negara ini masih mungkin untuk didiami oleh semua orang. Kini kita hanya perlu mendukung sikap Polri dan menanti ketegasan polisi dalam mengahadapi kelompok intoleran yang melakukan kekerasan. Jika tidak ada tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan, maka sikap polisi pun hanya akan menjadi gertak sambal sehingga kelompok intoleran kembali melakukan aksi yang sama. Indonesia butuh bukti adanya hukuman bagi kelompok pelaku kekerasan berbasiskan SARA untuk menjadi pegangan bahwa ini benar negara Bhineka Tunggal Ika dengan dasar Pancasila.

Pemaksaan kehendak satu kelompok dengan basis agama adalah bentuk pelecehan terhadap dasar negara, Pancasila. Maka pembiaran terhadapnya hanya membuatnya berkembang dan semakin besar. Yang jelas, yang bertugas adalah pemerintah sehingga masyarakat pun tidak kembali pada hakim jalanan. Namun jika negara tak tegas, bukan tidak mungkin akan muncul banyak hakim jalanan dari berbagai kelompok berbeda tergantung posisinya dalam suatu wilayah apakah sebagai mayoritas atau minoritas.

Wednesday, December 21, 2016

Saya Kristen Tak Gunakan Ornamen Natal

Saya Kristen dan tak dapat diragukan lagi saya percaya kepada Kristus Yesus yang peringatan kelahirannya semakin dekat. Saya pun merayakan hari natal itu. Namun saya tak gunakan ornamen natal.

Apa karena itu iman saya diragukan???

Sabar dulu. Saya beriman secara kritis dan saya kritis dalam beriman. Maka saya tak mau dipengaruhi untuk berbuat sesuatu yang sulit diterima akal sehat namun juga sulit dipahami sebagai bentuk perwujudan iman meski hal itu datang dari pemuka agama.

Sederhana saja, pemuka agama, seberapa tinggi pangkat atau jabatannya dalam agama, atau seberapa agung namanya, dia tetaplah manusia. Dia tetap manusia yang tak bisa tidak pasti pernah bersalah. Entah seberapa sering ia berdoa, membaca kitab suci atau berbuat sesuai ajaran agamanya, ia tetap manusia. Yang jelas, seberapa banyak doa atau seberapa sering ia membaca kitab suci, tak akan mengubahnya menjadi malaikat. Ia tetap manusia dan pasti bisa bersalah.

Sebagai manusia, kita semua pun selalu hidup dalam konteks tertentu yang pasti tak pernah sama. Kita juga sadar bahwa konteks-konteks hidup kita itu bukanlah surga yang penuh kedamaian dan keadilan dll. Tapi kita hidup dalam dunia yang juga lebih menjadi neraka daripada surga untuk kita hidup.

Terhadap konteks hidup seperti itu pun, kita selalu berupaya menyesuaikan diri untuk bertahan hidup. Dalam penyesuaian diri itu, tak jarang kita pun berbuat salah. Karena kita bisa bersalah dalam menaggapi kondisi di sekitar kita, maka apa pun bentuk tanggapan kita atau hasil karya kita pun bisa salah.

Demikianlah dapat kita lihat dalam Kitab Suci. Karena kondisi saat itu sangat patriarki maka tulisan-tulisan dalam Kitab Suci pun bernuansa patriarkis. Dalam konteks saat ditulis, hal itu bisa diterima namun apakah kita saat ini bisa menggunakan kitab suci yang ditulis dengan nuansa patriarkis itu? Tentu saja bisa namun harus dengan penafsiran baru dan kesadaran akan konteksnya.

Bayangkan, dalam kitab yang suci sekalipun, kita bisa menemukan ayat-ayat yang seolah-olah menganjurkan kita untuk melakukan perang misalnya. Kitab yang menjadi rujukan saja terdapat ayat yang menurut pemahaman kita saat ini adalah sesuatu yang kurang baik. Kalau demikian, kita yang menafsirkannya saat ini pun bisa saja jadi berbeda.

Dalam setiap penafsiran pun pasti ada berbagai hal yang turut berpengaruh terhadap sang penafsir saat dia menafsirkan ayat kitab suci tersebut termasuk kepentingan di balik penafsiran itu. Selalu ada kepentingan yang turut mempengaruhi sang penafsir. Pertanyaan yang mesti selalu kita ajukan adalah mengapa ayat ini digunakan? Mengapa menafsirnya seperti itu bukan seperti ini? Untuk apa/siapa dia menafsirkan ayat itu? Atau mengapa kita harus mengikuti penafsiran seperti itu?

Jika kita kembali ke soal ornamen natal maka ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalkan saja, mengapa ada Santa Claus? Bagaimana sejarahnya santa Claus? Atau bagaimana sejarah munculnya pohon natal sementara dalam kisah kelahiran Yesus, tidak ada kisah tentang pentingnya pohon tertentu. Lalu kenapa kini umat Kristiani senang menggunakan topi santa, atau senamg membeli pohon natal dll?

Tentu ada sejarah panjang di balik perayaan dan kemeriahan natal saat ini. Dipengaruhi oleh berbagai budaya pada berbagai tempat dan beragam waktulah maka kita saat ini pun merayakan natal dengan beragam ornamen seperti itu. Apakah itu semua penting??

Saya teringat saat masih kecil. Saat kecil ada semacam kerinduan agar natal segera tiba. Saat itu yang dirindukan bukanlah soal kelahiran Yesus tetapi agar dibelikan baju baru yang selalu disebit sebagai "baju Natal". Akibat selalu dibicarakan tentang baju natal, maka setiap menjelang natal semacam ada keharusan dalam umat Kristiani agar membeli baju natal.

Jika diperhatikan, sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang menjadi ciri bahwa baju itu dinamakan baju natal. Namun karena sudah terinternalisasi maka umat kristiani pun tetap menyebutnya sebagai baju natal. Lalu natal berikutnya akan ada lagi baju natal baru. Meski yang lama masih sangat bagus, keinginan untuk mebeli baju natal baru pun tetap tinggi.

Lalu apakah karena ada orang yang tak ingin beli baju natal maka ia bukan orang kristen??? Atau apakah kalau orang tidak memasang pohon natal beserta kandang natal yang dihiasi bintang dan lampu kelap kelip, orang tersebut bukanlah atau diragukan sebagai orang Kristen??

Atau sebaliknya, apakah orang yang memasang lampu kelap kelip adalah orang Kristen? Atau apakah orang yang membeli baju baru saat menjelang natal adalah orang Kristen?

Maka bagi saya, kita saat ini masih melihat sesuatu hanya secara artifisial. Karena menggunakan benda2 artifisial maka orang secara sederhana mengidentifikasi orang tersebut.  Akibatnya kita terus bertengkar soal barang2 artifisial yang untuk saya tidak ada pengaruhnya terhadap iman seseorang. Kalau pun orang itu terpengaruh imannya karena barang2 artifisial, maka sesungguhnya orang itu kurang kuat dalam beriman.

Namun saat kita asik mempersoalkan ornamen-ornamen keagamaan tersebut, secara tak sadar kita sedang mempromosikan barang-barang tersebut secara gratis. Lalu kita lupa bahwa yang mendapat keuntungan dari wacana, perdebatan hingga mempersoalkan atribut-atribut tersebut adalah kapitalis. Maka saat ini, ada yang tersiksa hatinya karena tak mampu beli baju natal atau bergaya dengan ornamen natal, ada juga yang tersiksa karena terganggu dengan ornamen agama lain, namun ada kapitalis yang tertawa.

Yang Pasti saya Kristen meski saya tak pakai ornamen natal. Saya pun tetap merayakan natal tanpa kekurangan nilai sedikit pun karena dalam rumahku tak ada lampu natal yang memakan pulsa listrik untuk menerangi pohon natal.

Monday, December 19, 2016

FRI West Papua dan Permohonan Maaf

Hari ini 19 Desember 2016, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) bersujud di hadapan orang-orang Papua di Jakarta untuk memohon maaf atas kejahatannegara dan bangsa Indonesia terhadap bangsa Papua. Sebelumnya, pada kesempatan malam panggung budaya, FRI West Papua pun bersujud dan mencium kaki orang Papua untuk memohon maaf. Ini adalah suatu tindakan luar biasa dari sekelompok orang Indonesia terhadap bangsa Papua.

Bersujud memohon maaf adalah tindakan yang sulit bagi orang yang arogan dan memiliki semangat eksploitatif dan menjajah. Namun, sekelompok orang Indonesia tersebut berani berlutut mencium kaki orang Papua untuk memohon maaf. Tindakan ini bahkan belum dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bahkan sekadar mengungkapkan penyesalannya pun belum.

Permohonan maaf mengandaikan adanya pengakuan. Hanya dengan mengakui kesalahan yang telah dilakukanlah orang pun bisa memohon maaf. Tanpa adanya pengakuan, permohonan maaf adalah suatu keanehan dan retorika hampa. Tanpa permohonan maaf, pengakuan itu adalah kepalsuan. Permohonan maaf selalu berarti memohon maaf atas sesuatu kesalahan yang telah dilakukan.

Apa yang dilakukan FRI West Papua karena itu adalah sesuatu yang luar biasa. Luar biasa karena FRI West Papua berani mengakui pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh Negara dan Bangsa Indonesia terhadap Bangsa Papua. Ini menunjukkan bukan saja kesadaran yang muncul karena jiwa yang bebas tetapi juga kerendahan hati untuk mengakui kesalahan. Negara sendiri bahkan berkali-kali menyangkal kejahatan yang dilakukan negara di Papua. Kita masih ingat Nara Marsita menyangkal adanya pelanggaran HAM terhadap Rakyat Papua dalam sidang umum PBB.

Permohonan maaf pun bukan hanya retorika sesaat, permohonan maaf selalu memiliki konsekuensi. Konsekuensinya adalah berubah. Pengakuan akan kesalahan dan permohonan maaf atasnya berarti juga adanya kesediaan untuk berubah dan memperbaiki apa yang salah tersebut. FRI West Papua pun melakukan hal yang luar biasa. FRI West Papua bukan hanya mengakui kesalahan yang dilakukan dan meminta maaf tetapi juga bertekad berjuang memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Untuk itu FRI WP berikhtiar untuk berjuang memulihkan kesalah yang telah dilakukan nenek moyang bangsa Indonesia terhadap bangsa Papua.

Sejarah Papua yang dimanipulasi, pelanggaran HAM, pencaplokan sumber daya alam dan kriminalisasi rakyat Papua sangat disadari oleh FRI WP. Mereka mengakui pelanggaran itu telah dilakukan oleh negara dan bangsa Indonesia terhadap bangsa Papua. Karena itu FRi WP berikhtiar untuk bersolider dan berjuang bersama bangsa Papua untuk membebaskan diri dari penjajahan.

Tentu saja, sebagai mereka yang bersolider dengan Bangsa Papua dan bergabung dalam FRI WP bukanlah orang yang melakukan pelanggaran atau kesalahan terhadap bangsa Papua. Atau paling kurang mereka sebagai rakyat Indonesia tidak bertindak secara langsung atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara Indonesia terhadap bangsa Papua. Karena itu, permohonan maaf sesungguhnya harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dan permintaan maaf itu mesti didasari pengakuan atas kejahatan yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan ikhtiar untuk memulihkan kekacauan/kerusakan yang telah disebabkannya.

Sebagai negara hukum, konsekuensi atas pengakuan adalah menghukum para pelaku kejahatan. Itu berarti juga mengusut tuntas semua pelanggaran yang telah dibuat. Selain itu, para korban harus dipulihkan dan direhabilitasi. Ikhtiar ini pun berarti juga meluruskan sejarah yang telah dimanipulasi. Dan pihak yang meminta maaf mesti sadar bahwa permohonan maafnya adalah tanpa syarat. Artinya pengakuan, permohonan maaf dan penyelesaian pelanggaran HAM misalnya tidak pernah boleh mensyaratkan dihapuskannya keinginan rakyat Papua untuk memerdekakan diri. Selain karena keberadaan Papua dalam Negara Indonesia adalah satu persoalan tersendiri yang dilakukan oleh negara Indonesia, pelaku kejahatan pun tidak berhak untuk menentukan jalan apa yang mesti dipilih bangsa Papua.

Meski negara dalam hal ini pemerintah Indonesia belum juga memohon maaf kepada masyarakat Papua, permohonan maaf yang dilakukan oleh FRI WP patut diapresiasi dan mesti diikuti oleh masyarakat Indonesia yang lainnya. Meski yang melakukan pelanggaran terhadap bangsa Papua adalah pemerintah dan aparatnya, namun sebagai satu bangsa yang merdeka dan hidup berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, seluruh masyarakat Indonesia berkewajiban untuk memohon maaf atas pelanggaran yang dilakukan negara. Hal ini didasari oleh adanya bunyi UUD 1945 "bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan". Sementara itu, selama lebih dari 50 tahun bangsa Papua dijajah dan menjadi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara Indonesia namun bangsa Indonesia tidak banyak yang melakukan protes terhadap tindakan negara tersebut. Masyarakat Indonesia lebih sering membiarkan bahkan mengamini tindakan negara terhadap bangsa Papua sebagai sebuah kebenaran. Hal ini juga turut disebabkan oleh represi yang dialami sendiri oleh masyarakat Indonesia dan informasi yang juga keliru yang diterima akibat informasi yang telah dimanipulasi negara.

Kini informasi sudah sangat mudah diperoleh. Masyarakat pun bisa membandingkan informasi yang diterimanya dari negara dengan sumber lainnya. Atas dasar itu, sudah seharusnya masyarakat Indonesia menyadari kesalahan negara dan sekaligus sikap diam yang membiarkan bangsa Papua menjadi korban. Untuk itu masyarakat Indonesia pun mesti mengakui, memohon maaf, serta bersolidaritas dengan bangsa Papua untuk pembebasannya dari penjajahan.


Sunday, December 18, 2016

Dua tindakan berbeda Polisi

Media sosial hari ini diramaikan oleh dua aksi yang mendapat tanggapan berbeda dari pihak aparat.

Pada beberapa titik di pulau Jawa, FPI melakukan razia penggunaan atribut natal. Razia ini didasarkan pada Fatwa MUI nomor 56/2016. Dikatakan bahwa razia tersebut sebagai bentuk sosialisasi fatwa.

Dalam peristiwa sosialisasi di Surabaya itu, FPI datang berombongan dengan sejumlah massa. Sementara itu, pihak kepolisian pun hadir di situ. Memfasilitasi  FPI sehingga bisa bertemu dengan pemilik usaha dan mengawal agar tak ada gesekan.

Berita lainnya adalah tentang anggota Komite Nasional Papua Barat wilayah Nabire yang ditangkap saat membawa surat pemberitahuan aksi damai ke kantor Polisi. Penangkapan lainnya adalah terhadap anggota KNPB dan tokoh adat di Wamena karena hendak mengadakan doa bersama memperingati peristiwa Trikora 19 Desember serta mendukung ULMWP di MSG.

19 Desember adalah hari Tri Komando Rakyat (Trikora) yang menjadi awal sejarah kelam bangsa Papua. Tiga komando rakyat itu dibacakan oleh Soekarno di Jogjakarta pada 19 Desember 1961 dengan bunyi
Pertama, gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan belanda.
Kedua, Kibarkan sang Merah Putih di  Papua Barat, tanah air Indonesia.
Ketika, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Soekarno kemudian membentuk komando Mandala dengan Mayjen Soeharto sebagai panglima Komando. Ada tiga tahap yang dilakukan kemudian yaitu infiltrasi, eksploitasi dan konsolodasi.

Dalam tahap infiltrasi, indonesia memasukan pasukannya secara rahasia di wilayah Papua. Pasukan Indonesia menyusup ke berbagai tempat penting sebelum melakukan aksi eksploitasi.

Selanjutnya eksploitasi dilakukan dengan menyerang pusat-pusat kekuatan Belanda dan Papua. Setelahnya dilakukan upaya konsolidasi untuk menegakkan kekuasaan Indonesia di Papua.

Bertepatan dengan peringatan hari Trikora itulah, bangsa Papua di berbagai tempat hendak melakukan aksi damai. Namun, diskriminasi selalu dialami oleh masyarakat Papua. Jika FPI bebas melakukan aksinya bahkan aparat kepolisian memfasilitasinya dengan baik, bangsa Papua harus melewati berbagai penangkapan bahkan penyiksaan untuk setiap aksinya.

Apa yang dilakukan pihak kepolisian agak aneh. FPI sedang memperjuangkan Fatwa MUI yang jelas-jelas merupakan satu dari sekin banyak organisasi di Indonesia. Artinya, polisi memfasilitasi aturan atau ketetapan yang dibuat oleh satu kelompok saja. Selain itu, yang bertugas menjaga keamanan adalah polisi. Jadi ketika FPI diberi ruang untuk melakukan aksi yang disebut sosialisasi itu maka sesungguhnya pihak kepolisian sedang membiarkan FPI yang mengatur arah dan tujuan hidup bernegara. Pancasila sebagai dasar negara diabaikan. Indonesia berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan keyakinan atau fatwa satu kelompok tertentu. Karena itu yang mengaturnya haruslah pemerintah bukan kelompok tertentu.

Namun sikap berbeda dilakukan terhadap bangsa Papua. Jika terhadap FPI, pihak kepolisian menjalankan tugas sebagai pengaman dan menghargai kebebasan berekspresi, tidak demikian dengan Papua. Sejak menyampaikan surat pemberitahuannya, orang Papua sudah ditangkap. Padahal orang Papua sedang berjalan sesuai dengan Pancasila dan UU yang mengatur kehidupan di Indonesia.

Hari ini kita akan mendengar berapa banyak orang yang ditangkap semuanya tergantung apakah kepolisian ingin menegakkan UU di Indonesia ini atau hanya memperhatikan siapa yang melakukan aksinya.

Baca juga artikel lain ini

Dua Hari Triple Lima, Persipura Bintang Tercerah

Persipura, Sang Jenderal Sepak Bola, sore tadi mengunci gelar kelima. Ini sekaligus melengkapi angka lima dalam sepak bola dalam dua hari. Sehari sebelumnya, Indonesia harus takluk dari Thailand dalam partai final. Kekalahan ini menjadikan Indonesia meraih lima "bintang juara dua" dalam sepak bola Asia Tenggara. Kekalahan Indonesia pun sekaligus menambah bintang terang menjadi Lima untuk Thailand. Dua hari tripple Lima, Indonesia lima kali Juara Dua, Thailand Lima Kali Juara Satu, dan Persipura Lima Bintang di Indonesia.

Untuk mencapai lima gelar juara dua, Tim Nasional Indonesia berjuang susah payah untuk lolos fase grup. Pada babak Semifinal pun, Indonesia melaluinya secara dramatis. Hingga pada partai Puncak, Tim Garuda menang dramatis di kandang namun gugur di hadapan pendukung Thailand. Lima Bintang emas gagal diraih Indonesia, hanya bintang yang seringkali tak dianggaplah yang akhirnya didapat. Namun perjuangan itu patut dihargai apalagi Indonesia pun tak dianggap sejak babak grup. Partai puncak adalah tanda perjuangan sekaligus alasan keheranan Tim Nasional lainnya.

Thailand adalah Tim yang tampil meyakinkan sejak awal bahkan disebut-sebut sebagai kandidat juara sejak sebelum pertarungan dimulai. Lima Bintangnya adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Bintang kelima ini sekaligus melampaui Singapura yang menjadi Jenderal Sepak Bola Asia Tenggara sebelum disamakan Thailand 2014 lalu.

Yang fenomenal adalah Persipura. Menjadi Tuan Rumah dalam partai pembukaan TSC, Persipura justeru ditahan imbang oleh Persija di hadapan masyarakat kecil Papua dan Presiden Indonesia yang datang dari Jakarta. Selanjutnya Persipura merangkak perlahan dari papan bawah klasemen hingga bertahan lama pada papan tengah klasemen. Persipura yang pantang menyerah akhirnya lama berada pada urutan Tiga klasemen hingga partai-partai terakhir berada di Puncak klasemen. Dalam perjuangan pantang menyerah itu, Persipura harus digoncang oleh pergantian pelatih.

Selain itu, upaya anak-anak Mutiara Hitam pun menjadi berat karena striker andalannya harus meninggalkan teman-temannya di lapangan hijau dan para pendukung untuk memimpin Pasukan Garuda dalam Piala AFF. Tentu bukan hanya Persipura yang merelakan pemainnya untuk membela Tim Nasional. Namun Boas, adalah kapten Mutiara Hitam yang sangat berpengaruh pada permainan Tim.

Fenomenal juga karena pada pertandingan terakhir hari ini, Mandala menjadi merah oleh supporter Persipura. Meski sejak awal hujan mulai turun, para penonton tak mundur. Banyak penonton tak mendapat tempat dalam stadion namun tak rela melewatkan aksi Manu Wanggai di lapangan dengan terpaksa menyaksikannya dari gedung-gedung atau tempat tinggi di sekitar stadion. Persipura adalah kebanggaan masyarakat Papua dan contoh lain spirit perjuangan tanpa menyerah bangsa Papua.

Pada salah satu Spanduk di Stadiun Mandala tertulis "Persipura adalah Harkat dan Martabat Orang Papua". Tulisan ini sangat menonjol di antara banyak spanduk lainnya. Semua orang yang hadir di lapangan kebanggaan Persipura dan masyarakat Papua pasti dengan mudah membacanya. Dan Tulisan ini pun sangat bermakna bagi Persipura dan masyarakat Papua.

Kenapa Persipura dipandang sebagai harkat dan martabat orang Papua?

Jika dipandang dari realitas harian, orang Papua adalah orang-orang kalah atau lebih tepatnya dikalahkan. Sejarah Papua adalah sejarah dimana orang Papua tidak dianggap, menjadi korban yang dilupakan, tanahnya dirampas, manusianya dibunuh, kekayaannya dirampok, manusianya dikriminalisasi, didiskriminasi, disingkirkan dan dipandang tak bernilai dan tak ada bahkan di atas tanahnya sendiri.

Sejarah Papua pun terjadi dan ditulis seturut kehendak pihak lain. Ribuan orang Papua dibunuh untuk dirampas kekayaannya, namun hanya sang pahlawan yang membunuh orang Papua dan merampas kekayaannyalah yang akan dikenang sebagai pahlawan. Sejarah Papua adalah sejarah kematian orang Papua sekaligus sejarah kelahiran pahlawan yang membunuhnya.

2016 ini, lebih dari 4000 orang Papua ditangkap karena ingin bersuara. Bertahun tahun ribuan orang Papua dibunuh karena memperjuangkan harkat dan martabatnya. Semakin hari justeru harkat dan martabat orang Papua semakin diinjak-injak. Setiap hari daftar kekalahan orang Papua semakin panjang. Semuanya karena kekalahan itu terjadi dalam pertarungan yang tidak fair.

Namun, di tengah barisan kekalahan itu orang Papua tak pernah mengalah. Orang Papua memiliki spirit tak terkalahkan. Semangat juang yang pantang mundur meski nyawa adalah taruhannya. Terbukti, ribuan orang ditangkap, banyak yang disiksa, masuk penjara bahkan ada yang mati dibunuh, semangat perjuangan tak jua luntur. Satu orang ditangkap ribuan orang bangkit berjuang. Satu orang dibunuh jutaan orang mengacungkan tangan kiri, Lawan! Penangkapan, jeruji dingin, pentungan, gas air mata hingga timah panas tak mampu meredam perjuangan, setiap hari akan semakin banyak yang bangkit melawan.

Persipura adalah contoh lain spirit perjuangan bangsa Papua. Lima Bintang pun membuktikan spirit perjuangan itu. Namun dalam sepak bola, bangsa Papua bersaing dalam kondisi yang fair. Dalam sepak bola, semua tim memiliki peluang untuk menang tergantung bagaimana tim itu bekerjasama dalam tim dengan strategi dan teknik bermain dalam aturan yang sama. Sepak bola bisa jadi adalah satu-satunya pertarungan yang fair yang memungkinkan setiap tim untuk juara. Dan Persipura membuktikan kemampuan dan semangat meraih juaranya.

Dalam sepak bola, orang Papua bertarung tanpa takut pentungan atau timah panas. Hal berbeda dalam sejarah hidup bangsa Papua. Pertarungan dalam sejarah hidupnya penuh ketakutan dan ancaman. Sejarahnya ditentukan pihak lain. Untuk memilih sejarahnya, orang Papua diarahkan oleh moncong senjata. Dalam kondisi yang tak fair, orang Papua akhirnya selalu kalah. Namun tidak berarti spirit perjuangannya luntur. Sebaliknya apa yang dipandang sebagai kekalahan adalah kelahiran spirit baru. Meski masih dalam kondisi yang tak fair, perjuangan hidup bangsa Papua tetap tak luntur.

Karena itu, Persipura bukan hanya tentang para pemain sepak bola tetapi Persipura adalah Orang Papua. Ia adalah kebanggaan sekaligus spirit. Persipura juga adalah sejarah yang mengingatkan orang Papua bahwa hidup itu harus terus diperjuangkan meski tantangan pasti menghadang. Harkat dan Martabat juga harus diperjuangkan. Kemenangan pun mungkin tercapai dalam hidup. Persatuan dan kerjasama dalam perjuangan adalah keharusan untuk mencapai kemenangan. Maka Persipura adalah simbol bagi orang Papua.

Persipura bukan lagi Jenderal, persipura melampaui Jenderal, ia Jenderal Besar. Persipura adalah Bintang Lima, Bintang yang paling bersinar dalam kegelapan hidup bangsa Papua. Persipura adalah lambang perjuangan, spirit yang tak terkalahkan. Persipura adalah Bintang Fajar, Bintang kemenangan.

Selamat buat Persipura dan masyarakat Papua, terus berjuang dengan spirit pantang menyerah demi mencapai cita-cita. 

Saturday, December 17, 2016

Sang Kapten

Boas Salosa putra asal Papua beberapa tahun menjadi kapten kebanggaan tim sepak bola nasional Indonesia. Boasmenjadi pemimpin Tim Nasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Malam ini Boas kembali memimpin pasukan Garuda untuk mencapai puncak kejuaraan sepak bola se-Asia Tenggara.

Sementara itu, Pasukan Mutiara Hitam sebagai tempat Boas meniti karirnya sebagai Pesepak Bola andalan Indonesia di lini depan pasukan Garuda, akan berjuang mengunci gelar di Lapangan Mandala. Boas pun terpaksa meninggalkan teman-temannya di Persipura demi nama besar Indonesia.

Di tengah euforia sepak bola itu, Indonesia sedang bergulat dengan keberagaman yang dijadikan masalah. Keberagaman adalah fakta yang tak bisa dibantah, dalam satu agama pun pasti selalu ada keberagaman. Keberagaman ini disebabkan oleh identitas setiap orang yang tak pernah tunggal. Namun keberagaman itu justeru jadi persoalan yang kini menggerogoti kehidupan berbangsa di Indonesia.

Persoalan hidup bernegara yang paling hangat saat ini adalah soal Ahok. Dituduh melakukan penistaan agama, kini Ahok harus berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum dalam ruang pengadilan. Ahok menjadi tersangka karena Ahok berbicara tentang pemimpin dengan menyinggung ayat Alquran. Ahok mengatakan itu dalam konteks banyaknya orang yang menggunakan ayat-ayat suci agama-agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Kafir mengkafirkan terjadi untuk mempengaruhi masyarakat agar tak memilih pemimpin dari golongan yang sama. Isu primordial diangkat dan digunakan sebagai senjata untuk mengalahkan lawan politik. Selain itu, banyak orang lain pun menjadi korban dalam hidup berbangsa di Indonesia karena adanya pengkotak-kotakan identitas primordial.

Lain dalam kehidupan berbangsa, lain pula dalam lapangan sepak bola. Dalam lapangan sepak bola, semua orang setara dan sang penguasa lapanganlah yang mengatur semuanya. Semua orang diberikan hak yang sama dalam lapangan dan wajib menaati peraturan yang sama pula. Dalam lapangan tak ada pengecualian, yang bermain kasar akan diadili wasit tak pandang warna kulit, jenis rambut, asal suku atau agama. Semuanya sama.

Dalam kesetaraan itulah, Boas Salosa menjadi pemimpin untuk tim Garuda. Boas, orang Papua yang sering didiskriminasi dalam kehidupan berbang di Indonesia, menjadi pemimpin karena kapasitasnya. Kemampuannya memimpinlah yang menjadikannya dihargai oleh para pemain lainnya. Ia memimpin rekan-rekannya untuk satu tujuan yang sama, menggapai kemenangan. Identitas Boas sebagai orang Papua, Kristen, berkuli hitam atau berambut kriting bukanlah kriteria yang diperhatikan dalam, tetapi kapasitasnyalah yang dilihat. Boas mampu memimpin tim karenanya ia menjadi kapten. Dan untuk mencapai kemenangan, kebersamaan menjadi hal penting. Semua pemain tak peduli apa identitas primordialnya harus bersatu berjuang memenangkan pertandingan.

Dalam kepemimpinan Boas, Tim Garuda kini mencapai pertandingan penentuan. Dalam perjuangan itu, seluruh masyarakat Indonesia larut mendukung Tim kebanggaannya. Setiap orang mendukung dengan berbagai cara. Semua doa pun menyatu entah melalui jalur yang mana. Tujuannya pun satu; agar Tim Garuda menang. Demi Boas dkk, semua perpecahan melebur dalam harapan yang sama. Dan Sang Kapten pun menunjukkan bahwa ia memimpin tanpa diskriminasi. Ia merangkul seluruh pemain agar mencapai tujuan yang sama. Kebersamaan itu pun menyatukan doa semua orang Indonesia. Sayangnya suara miring masih terdengar; kapten Tim Garuda adalah kafir.

Kini di partai puncak Boas akan kembali mengenakan ban Kapten untuk meraih juara. Semua doa pun akan mulai dinaikkan; semoga Garuda berjaya. Namun, kita mesti berdoa juga agar setelah Garuda bertanding kita kembali ke kehidupan berbangsa dengan kesadaran bahwa dasar negara kita adalah Pancasila bukan agama tertentu. Apa pun hasil partai puncak ini, mari kita musnahkan kata kafir dan hidup dengan prinsip dasar negara dan aturan yang sama. Yang salah dihukum tanpa kecuali. Kebebasan pun untuk semua warga termasuk warga Papua.

Jika masih ada diskriminasi, pengkafiran, atau kekerasan terhadap kelompok lain, mari kita belajar dari kepemimpinan Boas Salossa. Hukum untuk semua, keadilan untuk semua, kesejahteraan untuk semua, kebebasan untuk semua, kemerdekaan untuk semua.

Hormat Sang Kapten!!!!

Friday, December 16, 2016

AHY dan Tindakan Nyata

Saat banyak orang ramai membicarakan ketidakhadiran Agus dalam debat publik yang diadakan oleh Kompas TV baru-baru, Calon Gubernur DKI nomor urut 1 itu ternyata sibuk bertemu masyarakat. Agus memang tak ingin mengikuti debat yang diadakan TV, ia lebih memilih ada bersama masyarakat dan mendengarkan keluhan masyarakat lalu membuat janji kepada masyarakat jika terpilih jadi gubernur.

Kalau selama ini, pasangan nomor urut 2 yang selalu menekankan hasil kerja nyata mereka, kini seperti sedang terjadi perubahan. Ahok - Djarot bersama Anis - Sandi sibuk berdebat di TV, Agus -Sylvi menunjukkan bahwa mereka kerja nyata. Mereka menghindari wacana yang tidak resmi dan memilih bekerja.

Tentu kerja saat ini adalah kerja menjaring aspirasi, persoalan masyarakat dan intinya menjaring dukungan masyarakat. Karena itu Agus-Sylvi menunjukan bahwa untuk kerja jangan setengah-setengah, jangan pernah mau dihalangi wacana yang "tak penting". Sejak awal hingga akhir haruslah sebuah kerja nyata.

Selain soal debat, wacana soal larangan berbusana non muslim bagi umat muslim pun ditunjukkan Agus sekeluarga dengan cara yang lain. Jika media ramai- ramai memberitakan dugaan bahwa keluarga Cikeas berada di balik Front Pembela Islam, Agus melawannya bukan dengan kata-kata tapi dengan tindakan atau kerja nyata.

Saat ini FPI lagi rajin merazia tempat-tempat usaha agar karyawan muslim tak menggunakan pakaian bernuansa natal. Tanpa banyak komentar, Agus malah menunjukkan bahwa menggunakan pakaian bernuansa natal harusnya tak perlu dipersoalkan. Dalam foto instagram istrinya Annisa, Agus berfoto bersama istri dan anaknya. Anaknya menggunakan pakaian bernuansa Natal. Dengan foto itu, Agus seolah-olah ingin mengatakan "jangan bicara banyak mari kita bertindak nyata, pakaian tidak akan mempengaruhi imanmu".

Lihatlah, meski dituduh berada di belakang FPI yang katanya sangat memperjuangkan nilai-nilai islami - dengan cara yang kadang dianggap bertentangan - Agus sekeluarga pun tidak taat pada kehendak FPI. Jika FPI mewajibkan perempuan menggunakan hijab, Annisa hampir tak pernah kelihatan menggunakan hijab. Ini cara melawan yang elegan tanpa banyak bicara. Kalau di sini seolah-olah ingin dikatakan bahwa "Cara berpakaianmu tak menunjukkan imanmu".

Hal ini juga menjadi perlawanan terhadap desas desus yang beredar kalau keluarga Cikeas dekat dengan FPI. Agus menunjukkan bahwa kalau Cikeas ada di belakang FPI, buktinya keluarga Agus "melawan" apa yang diperjuangkan FPI.
Atau apakah karena FPI yang tak berani menegur Agus dan keluarganya????



(Foto, instagram @annisapohan

Peraturan Menteri Super Power

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengeluarkan Peraturan Menteri yang Super Power. Peraturan yang Super power itu adalah Peraturan Mendagri Nomor 74 Tahun 2016 yang mengatur ketentuan pelaksana tugas (plt) kepala daerah yang menggantikan posisi sementara petahana ketika mengikuti pilkada serentak 2017.

Peraturan Menteri ini sangat besar kekuatannya bahkan melampaui UUD 1945 dan UU tentang Keuangan Daerah. Jika dalam UUD 1945 dan UU tentang Keuangan Daerah menetapkan bahwa yang berhak menandatangani urusan Paripurna APBD hanyalah gubernur, dalam peraturan Menteri, Sang pelaksana tugas Gubernur diperbolehkan menandatangani APBD.

Jelas keduanya bertentangan untuk itu Prinsip Hukum harus diperhatikan. Lex Superior Derogat Legi Inferior artinya hukum yang lebih rendah tak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Ini adalah prinsip hierarki hukum.

Dalam kasus terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No 74 Tahun 2016 ini, prinsip hukum menjadi sangat penting. UUD 1945 adalah hukum yang lebih tinggi dibandingkan UU lainnya dan jauh lebih tinggi dibandingkan peraturan Menteri. Maka sebagaimana prinsip hukum tersebut, maka Peraturan Menteri tersebut sesungguhnya sudah gugur dengan sendirinya karena bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

Nyatanya menteri dalam negeri yang juga biasa berperan dalam menilai suatu produk hukum dari pemerintah daerah - entahkah sesuai dengan dasar negara dan UUD 1945 atau UU lainnya atau justru bertentangan - justeru mengeluarkan Peraturan yang jelas bertentangan. Kini Peraturan itu telah berjalan dan kita semua hanya bisa menantikan keputusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi yang diajukan Ahok. Namun uji materi itu masih dalam proses sementara peraturan menteri sudah digunakan. Artinya pertentangan hukum yang lebih rendah dari yang lebih tinggi itu sedang terjadi saat ini.

Harusnya Menteri Dalam Negeri sadar dan taat bahwa produk hukum yang dihasilkannya tak pernah boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Sayangnya hal ini tidak terjadi. Produk hukum yang lebih rendah posisinya bahkan mengalahkan peraturan yang jauh lebih tinggi. Ini hanya terjadi karena Peraturan Menteri tersebut sangat berkuasa atau karena orangnya yang merasa diri sangat berkuasa.

Thursday, December 15, 2016

Penyelesaian Pelanggaran HAM dan Botaknya Kepercayaan

Peringatan Hari HAM,10 Desember 2016 yang baru saja berlalu dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Di Papua sendiri pun terjadi di berbagai tempat dengan beragam cara. Yang sangat fenomenal terjadi di Wamena, ibu kota kabupaten Jayawijaya.

Fenomenal karena peringatan Hari HAM di salah satu kota di Pegunungan Tengah Papua ini dihadiri oleh ribuan masyarakat dalam Demonstrasi. Jumlah massa oleh beberapa media disebutkan lebih dari enam ribu orang. Demonstrasi di depan Kantor DPRD ini sangat luar biasa bukan hanya dari jumlah massa yang tidak biasa, tetapi juga soal cara Komite Nasional Papua Barat merangkul massa yang begitu banyak.

Jika aparat baik Polri maupun TNI memandang KNPB sebagai kelompok terlarang dan berbahaya, ribuan massa justeru melihat KNPB sebagai wadah dan sahabat perjuangan. Alhasil, massa bukannya membenci KNPB tetapi bergabung dalam aksi KNPB dan taat pada aturan yang dibuat agar kondisi aman.

Fenomenal juga karena KNPB mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat sekaligus menjadi petunjuk bagi pemerintah bahwa yang berjuang di Papua bukanlah segelintir orang sebagaimana sering dikatakan selama ini. Yang berteriak tentang pelanggaran HAM bukan hanya KNPB atau korban dan keluarganya. Yang berteriak merdeka bukan hanya KNPB atau ULMWP, tapi masyarakat Papua. ULMWP atau KNPB hanyalah wadah pergerakan di Papua. Dewan Adat Papua pun hanyalah wadah yang rutin berjuang. Tapi masyarakat Papualah yang sesungguhnya sedang berjuang melalui wadah-wadah tersebut.

Menjadi pertanyaan, mengapa enam ribu lebih masyarakat Papua yang ada di Wamena rela berjemur di bawah panas mentari dan mengabaikan perayaan HUT kota Wamena yang diadakan Pemda Jayawijaya pada hari yang sama?

Orasi-orasi selama demo di DPRD kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah Indonesia sudah menipis. Masyarakat Papua tak lagi percaya bahwa pemerintah Indonesia bisa atau berniat menyelesaikan masalah HAM di Papua. Kepercayaan itu telah botak dikikis oleh sebaris janji pemerintah sendiri tanpa ada realisasinya. Rakyat tak lagi percaya bahwa pelanggaran HAM akan diselesaikan sementara sebaris pelanggaran HAM baru tak terhitung setiap tahunnya.

Setelah peristiwa Paniai 8 Desember 2014, Jokowi, Presiden Indonesia berjanji kepada rakyat Papua di hadapan para pemuka agama Papua bahwa kasus itu akan segera diselesaikan. Tapi, setelah dua tahun berlalu, janji itu tak juga terwujud. Jangankan menyelesaikannya, mengakui siapa pelakunya saja belum dilakukan pemerintah. Entah berapa banyak Tim yang sudah turun ke Paniai dan melakukan investigasi, yang pasti belum ada pelaku yang diumumkan.

Kini sudah setahun usia Tim Terpadu Penyelesaian masalah HAM Papua, hal yang sama terjadi. Dari belasan kasus yang ditangani, belum satu pun pelaku yang diumumkan apalagi diadili dan dihukum. Masyarakat pun kian tak percaya. Akankah masalah pelanggaran HAM Papua diselesaikan??

Kini rakyat Papua mengendaki pihak lain yang menangani masalah Papua. "Tidak mungkin pelaku pelanggaran HAM akan menyelesaikan pelanggaran HAM yang dilakukannya sendiri. Maka biarkan pihak lain menyelesaikannya" demikian salah satu bunyi orasi saat demo hari HAM.

Tentu Tim Terpadu bentukan Menkopolhukam akan tetap bekerja meski suara tak setuju terus bergema. Namun, jika Tim tersebut tak segera menyelesaikan pelanggaran HAM maka kepercayaan masyarakat akan semakin botak hingga tak ada lagi yang percaya pada pemerintah negara ini. Jadi yang menentukan kepercayaan masyarakat Papua, bukanlah rakyat Papua sendiri, tapi pemerintah Indonesia. Mari kita menantikan jalan terjal yang diciptakan sendiri oleh negara ini untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.