Friday, March 6, 2015

Revolusi Mental untuk Jokowi (1)

Sejak awal pemerintahannya, Jokowi berbuat sesuat yang tidak biasa. Proses pemilihan menteri dalam kabinet pimpinannya, Jokowi gunakan cara yang tidak biasa. Ada proses seleksi yang membuat decak kagum banyak orang sekaligus membangkitkan harapan bangsa Indonesia akan pemerintahan yang baik dan pro rakyat. Apa yang Jokowi lakukan menjadi tanda awal dan bentuk nyata upaya revolusi mental yang melekat padanya selama kampanye. Meski ada beberapa menteri dalam kabinetnya diragukan karena jejak masa lalunya, langkah Jokowi ini masih tetap diapresiasi. Namun sesungguhnya sudah ada kecemasan bahwa Jokowi akan tidak banyak berbuat terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat. Pemilihan menteri yang diduga punya sejarah kejahatan terhadap kemanusiaan menggambarkan bagaimana Jokowi di hadapan masalah HAM.
Penolakan Jokowi terhadap permohonan Grasi para narapidana kasus narkoba menjadi gambaran yang jelas tentang sikap jokowi terhadap persoalan HAM. Dengan dalil bahwa ada banyak orang Indonesia yang menjadi korban narkoba, maka Jokowi mendorong dilakukan hukuman mati bagi para narapidana kasus narkoba. Dalam perkara narkoba, Jokowi kelihatan begitu tegas melindungi masyarakatnya dari bahaya narkoba. Akan tetapi dalam banyak hal lain Jokowi bukan saja tidak tegas tetapisangat nyata menjadi semacam apa yang sering lawan politiknya katakan sebagai boneka.
Penunjukkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri meskipun bukan rahasia lagi kalau  Budi Gunawan termasuk orang yang diberi cap merah oleh KPK dalam seleksi menteri karena diduga  terlibat masalah korupsi, merupakan  sinyalemen kuat pengaruh pihak lain terhadap Jokowi. Sebagai mantan ajudan pribadi Megawati maka kegigihan Jokowi mengajukan BG sebagai calon tunggal Kapolri diduga kuat sebagai bentuk intervensi Megawati  yang tidak bisa dielakan Jokowi. Hal ini memperjelas pernyataan lawan politiknya bahwa Jokowi hanyalah tugas partai.
Jokowi semakin kelihatan hanya menjadi boneka ketika KPK sebagai garda terdepan upaya pemberantasan Korupsi dimutilasi habis-habisan. Jokowi tidak bertindak meski KPK dikriminalisasi. Hal ini memang menjadi sesuatu yang sulit bagi Jokowi karena pihak terdepan yang melakukan kriminalisasi terhadap Jokowi adalah orang-orang dari Partainya sendiri, PDI Perjuangan. Kembali lagi ketegasan Jokowi tidak tampak, yang muncul justru pembiaran upaya pelemahan KPK.
Bahwa pejabat yang sedang berurusan dengan hukum mesti dibebastugaskan sementara agar bisa fokus menyelesaikan masalahnya dan terlebih lagi agar tidak menggangu jalannya pemerinahan atau kinerja lembaga tempat orang itu bekerja telah Jokowi lakukan terhadap dua pimpinan KPK yang berhadapan dengan hukum. Akan tetapi Jokowi tidak melakukan hal yang sama pada Budi Gunawan. Meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Jokowi tetap membiarkan proses uji kelayakan di DPR. Jangankan menghentikan sementara BG dari  Polri, menarik kembali pengajuan BG ke DPR sebagai calon Kapolri  pun tidak dilakukan. Kembali lagi Jokowi menjadi Presiden  seperti tanpa wewenang.
Kini, KPK yang sudah lemah semakin diperlemah oleh keputusan Praperadilan yang sarat masalah. Hakim Sarpin memutuskan kemenangan tersangka korupsi hanya karena menilai bahwa kasus BG bukan domain KPK. Hal ini pun sangat bermasalah karena Sarpin menilai bahwa BG tidak termasuk aparat penegak hukum ketika kejadian berlangsung. Padahal anak TK pun tahu bahwa polisi merupakan aparat penegak hukum. Dan sampai saat ini pun anak-anak kecil hanya tahu bahwa yang namanya polisi berarti salah satu aparat penegak hukum. Tapi hakim Sarpin justru mengeluarkan BG dari status BG sebagai seorang Polisi hana karena jabatan BG saat terjadi penyalahgunaan kekuasaan adalah jabatan dalam kepolisian yang tidak berurusan langsung dengan aktivitas polisi sebagai penegak hukum. Akan tetapi, dalam UU kepolisian secara jelas mengatakan bahwa setiap anggota POLRI adalah penegak hukum.
Selain itu, hakim Sarpin yang menilai KPK bertindak melampaui kewenangannya justru dengan cara melampaui kewenangannya sendiri sebagai hakim praperadilan. Penetapan status tersangka yang tidak masuk domain praperadilan diterobos Sarpin. Sarpin hanya melihat KPK melampaui kewenangannya, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya sedang melampaui kewenangannya sendiri ketika memutuskan membahas penetapan tersangka dalam sidang praperadilan. Praperadilan yang sesungguhnya bertujuan menegakkan keadilan  menjadi alat menghancurkan keadilan dan hukum di tangan Sarpin. Hal ini bisa melahirkan banyak persoalan hukum kemudian. Untuk jasanya menghancurkan sistem hukum, apa yang telah terjadi patut diingat sebagai suatu Sarpinisme agar ke depan masyarakat tetap berjaga menghadapi penghancuran sistem hukum.
Lalu atas putusan yang Sarpinis seperti itu, Jokowi malah tetap membiarkan BG tetap aktif sebagai anggota Polri. Sementara dua pimpinan KPK dengan segera diberhentikan. Meskipun Praperadilan yang Sarpinis telah membatalkan status tersangka BG, hal ini tidak berarti BG bebas dari dugaan telah melakukan korupsi. Hal ini karena Sarpin menilai penetapan BG sebagai tersangka tidak sah bukan karena tdak ada indikasi korupsi tetapi kaena status tersangka BG diberikan oleh KPK yang dengan pola pikir Sarpinisme menilai bahwa tidak berwewenang menangani kasus BG. Dengan demikian jika ditangani pihak lain maka status tersangka itu sah. Artinya dugaan dilakukan tindak pidana korupsi oleh BG tidak hilang dengan putusan Sarpinis. Maka tanpa memasuki polemik entahkah KPK harus melimpahkan kasus BG ke pihak lain atau tidak, sangkaan korupsi  pada BG mengharuskan BG untuk diberhentikan sementara sebagai anggota Polri hingga kasusnya selesai. Jokowi malah membiarkan hal ini tidak terjadi, justru menjanjikan jabatan lain bagi BG sebagai gani jabatan Kapolri.