Sunday, December 20, 2015

Alergi Dengan "Merdeka" (Bagian IV)





Konsekuensi lanjutan dari kondisi seperti itu adalah wilayah Papua akan senantiasa dijaga agar tidak terpisah dari Indonesia sementara manusia Papuanya bisa dibunuh atau dibiarkan mati tanpa perawatan. Demikianlah jika hanya wilayah teritorial saja yang menjadi bagian integral dari Indonesia sementara manusia Papua tidak pernah diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan masyarakat Indonesia di wilayah lain Indonesia. Hal ini semakin nyata dalam ekploitasi terhadap kekayaan alam Papua. Tanpa memperhatikan masyarakat Papua yang sangat dekat dengan alam dan hidup dari alam, alamnya dihancurkan untuk mengeksploitasi kekayaan yang terkandung dalamnya. Akibatnya masyarakat Papua menjadi terasing dari sumber kehidupannya dan tercerabut dari akar budaya dan lingkungan hidupnya sendiri.

Kondisi seperti inilah yang sesungguhnya dinamakan dengan penjajahan itu. Masyarakat Papua dijajah demi pengerukan kekayaan alamnya. Maka ketika orang Papua atau orang yang peduli tentang kondisi masyarakat Papua berteriak merdeka, sesungguhnya tersirat suatu gugatan terhadap negara ini akan tindakan penjajahan yang selama ini dilakukan terhadap orang Papua. Tentu saja ini baru dilihat dari Prinsip "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Jika merujuk pada sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, situasi penjajahan itu menjadi jelas.

Namun, masyarakat Papua yang meneriakan persoalan ketidakadilan sosial seperti itu pun distigma sebagai Seperatis. Padahal masyarakat Papua sedang menuntut haknya sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat Papua itu sendiri.Maka ketika negara menstigma masyarakat Papua karena menyuarakan hak-haknya siapakah yang sesungguhnya Separatis?

Menyuarakan kepada negara tentang persoalan keadilan sosial mengandaikan bahwa pihak yang menyuarakan hal itu adalah bagian dari negara bersangkutan atau paling kurang mengakui bahwa negara bertanggung jawab atas kehidupannya yang layak. Dengan demikian ketika masyarakat Papua menyuarakan persoalan ketidakadilan sosial yang dialaminya berarti masyarakat Papua sedang menuntut tanggung jawab negaranya terhadap kehidupannya yang layak. Namun ketika mereka yang bersuara itu distigma sebagai separatis, maka yang separatis sesungguhnya bukanlah masyarakat itu tetapi aparat negara yang memberi stigma itu. Sebab dalam kehidupan bernegara, masyarakat memiliki hak yang sama dan negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak masyarakatnya. Dengan demikian stigma separatis terhadap masyarakat Papua yang berseru tentang ketidakadilan sosial yang dialaminya adalah tindakan kaum separatis yang memisahkan Papua dalam konteks keadilan sosial dari seluruh masyarakat Indonesia di wilayah lainnya.

Ketika negara dalam diri aparaturnya bertindak secara diskriminatif terhadap orang Papua maka aparat negara itu telah melanggar prinsip hidup dalam negara ini. Dengan demikian aparat negara itu adalah separatis. Separatis di sini hendaklah tidak dilihat hanya sebagai upaya pemisahan wilayah oleh orang yang berada di wilayah tersebut. Pembedaan perlakuan terhadap masyarakat Indonesia di suatu wilayah juga merupakan suatu pemisahan wilayah karena menganggap masyarakat di wilayah tersebut bukan bagian dari masyarakat Indonesia. Yang terjadi di Papua selama bertahun-tahun adalah seperti itu, masyarakat Papua tidak dianggap dan diperlakukan sebagai masyarakat Indonesia tetapi sebagai orang Papua yang bukan merupakan wilayah Indonesia. Dengan demikian kelompok separatis sesungguhnya adalah aparat negara yang melanggar prinsip hidup bernegara di Indonesia dan memperlakukan masyarakat Papua sebagai bukan masyarakat Indonesia. Jika diungkapkan dengan kata-kata lain, yang menginginkan Papua berpisah dari Indonesia bukan hanya orang Papua sendiri yang merasa dijajah tetapi juga aparat negara Indonesia yang memperlakukan Papua sebagai negara lain yang ada di Indonesia.



Saturday, December 19, 2015

Alergi Dengan "Merdeka" (Bagian III)



Ketika orang Papua berbicara tentang Merdeka maka akan ditangkap sebagai separatis. Kata separatis selalu melekat dengan orang Papua bahkan ketika orang Papua tidak berbicara tentang merdeka. Stigma sebagai separatis selalu dilekatkan kepada orang Papua apa pun yang dibicarakan, baik itu soal demokrasi, kebebasan berekspresi pun soal ketiadaan pelayanan kesehatan dan pendidikan di Papua yang memang parah dan sangat memprihatinkan.

Kata separatis menjadi padanan yang tepat dan selalu bersanding dengan isu merdeka. Namun kata merdeka dan separatis memiliki makna yang berbeda meski untuk orang Papua selalu dengan konsekuensi yang sama. Kata Merdeka mengandaikan adanya penjajahan sementara separatisme berarti keinginan untuk memisahkan diri. Merdeka berarti bebas dari kondisi dijajah, sementara separatisme berarti memisahkan sebagian wilayah dari suatu kesatuan. Merdeka dengan demikian mengandung adanya keterpisahan antara sesuatu yang dijajah dengan pihak yang menjajah. Keduanya tidak pernah menjadi satu. Sementara Separatisasi mengandaikan adanya kesatuan yang kemudian ingin dipisahkan.Namun kedua terminologi ini untuk konteks Papua senantiasa mengancam nyawa orang Papua.

Pertanyaan penting yang mesti dijawab oleh negara Indonesia dan aparatnya yang alergi dengan kata Merdeka adalah apakah benar Papua sungguh menjadi bagian dari kesatuan Indonesia? Kalau Papua sungguh menjadi bagian integral dari Kesatuan Negara Indonesia ini maka kata merdeka menjadi tidak relevan dan karena itu para aparat negara tidak perlu alergi dengan kata itu. Namun konsekuensi lanjutnya adalah apa yang telah dilakukan negara ini terhadap Papua sehingga Papua sungguh-sungguh menjadi bagian dari Indonesia bukan hanya sekadar suatu bagian dari wilayah teritorial yang dijaga oleh TNI/Polri?

Untuk melihat kesatuan tersebut, tentu saja mesti berpedoman pada prinsip yang dihidupi di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin mengangkat satu prinsip yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan menggunakan salah satu dari Kelima Sila Pancasila tersebut, kita diajak untuk melihat sejauh mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu terjadi di Papua. Tentu saja masyarakat dari wilayah lain akan katakan bahwa di wilayahnya pun keadilan sosial itu masih sebuah mimpi. Namun jika melihat kondisi Papua, siapa pun akan mengakui bahwa Papua itu tidak termasuk dalam prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu. Dengan Kata lain, Masyarakat Papua itu sesungguhnya tidak pernah diperlakukan sebagai masyarakat Indonesia. Sebab di Papua, ketidakadilan itu tampak jelas. Masyarakat dibiarkan sakit dan mati tanpa adanya petugas kesehatan dan perlengkapan yang memadai, anak anak tidak bisa sekolah karena ketiadaan guru, harga Bensin pun mencapai hingga Rp 200.000.

Dengan kondisi demikian apakah Papua merupakan bagian integral dari Indonesia??? Kalaupun Papua menjadi bagian integral dari Indonesia, maka itu hanyalah wilayah teritorial dan kekayaan alamnya, sementara manusia Papua itu sendiri tidak pernah diperlakukan sebagai bagian dari Indonesia.

Baca Juga Bagian IV

Alergi dengan "Merdeka"??? (Bagian II)



Bentuk-bentuk alergi terhadap kata Merdeka ini sangat tampak di Papua. Masyarakat Papua sejak bergabung dengan Indonesia terus menerus ditangkap dan dibunuh karena kata Merdeka itu. Sementara itu, kekayaan alam Papua yang luar biasa besarnya habis dikeruk untuk kepentingan Negara.Alam Papua pun hancur. Padahal masyarakat Papua sangat dekat dengan alam dan telah melindunginya selama bertahun-tahun.Namun, segala bentuk protes akan berarti menjadi separatis dan dengan itu pantas dibunuh sehingga para pembunuhnya pun menjadi pahlawan.

Namun apakah benar negara ini alergi dengan kata Merdeka?

Ketika musim kampanye atau dalam rangka memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kata merdeka menjadi sangat familiar di telinga dan mulut masyarakat Indonesia.Atau ketika memandang Palestina yang terus berperang melawan Israel, Negara Indonesia ini dengan keras mengutuk Israel dan berteriak untuk kemerdekaan Palestina. Tentu kata Merdeka bukanlah sesuatu yang alergic bagi negara ini.
Namun ketika orang Papua berteriak merdeka maka kata itu serentak berubah menjadi bahaya yang harus dibasmi dengan senjata dan kekerasan.

Dengan demikian, aparat negara ini tidak alergi dengan kata Merdeka tersebut tetapi alergi terhadap orang Papua yang bersikap kritis dan menyerukan kata Merdeka. Maka selama kata Merdeka itu digunakan oleh orang lain untuk konteks lain, aparat Negara ini akan mendukung sepenuhnya, namun jangan sekali-kali digunakan untuk konteks Papua atau disebutkan oleh orang Papua. Maka kemerdekaan itu memang hak segala bangsa kecuali bangsa Papua dan Penjajahan di atas Bumi ini memang harus dihapuskan kecuali penjajahan terhadap bangsa Papua karena kemanusiaan dan keadilan tidak berlaku di Papua dan untuk orang Papua.

Baca juga Bagian III

Alergi Dengan "Merdeka"???? (Bagian I)


Mahasiswa Papua dalam Mobil Tahanan
(Foto: #PapuaItuKita)
Sekali lagi dalam sebulan terakhir mahasiswa asal Papua ditangkap di Jakarta. Kali ini 23 orang mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi mahasiswa Papua (AMP) yang ditangkap. Sebelumnya ada 300-an orang ditangkap. Semua penangkapan itu terkait dengan Papua, entah orang Papua yang ditangkap atau orang-orang yang mengangkat isu Papua. Penangkapan-penangkapan ini terjadi di Ibu Kota Negara Kasatuan Republik Indonesia. Jika kita melihat kejadian serupa di wilayah lain, khususnya di Papua sendiri, angka itu akan membumbung tinggi. Pertanyaannya: ada apa dengan Papua?

Tentu pertanyaan itu ketika diajukan kelihatan bodoh. Sebab penangkapan bahkan penembakan dan pembunuhan orang Papua itu sudah terlalu sering. Demikian pula penutupan akses Papua terhadap dunia luar pun sudah terlalu sering didengar. Isu Papua selalu ditekan dan orang Papua selalu ditangkap dan dibunuh.Semua orang pun tahu hal itu. Alasan tindakan represif negara pun menjadi jelas ketika melihat berbagai penangkapan dan pembunuhan terhadap orang Papua tersebut.

Penangkapan oleh Kepolisian Polda Metro Jaya terhadap 23 orang mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua di Jakarta kali ini semakin memperjelas posisi negara di hadapan orang Papua dan isu Papua. Kalau selama ini, kata "MERDEKA" tidak pernah boleh muncul di Papua jika tak ingin ditangkap dengan pasal Makar, maka kali ini kata yang sama dilarang diucapkan di Jakarta, tempat negara ini senantiasa mendengungkan bahwa "Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu segala penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Namun bunyi pembukaan UUD 1945 tersebut harus segera ditambahkan dengan "terkecuali untuk bangsa Papua". Bagaimana tidak, 23 mahasiswa Papua itu ditangkap karena kata merdeka itu. Aparat kepolisian pun tak tinggal diam dan segera menangkap para mahasiswa yang meneriakan kata Merdeka itu. Polisi ternyata alergi dengan kata Merdeka.

Akan tetapi, jika merenungkan kembali bunyi kalimat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, secara jelas terungkap bahwa Merdeka bukan hanya sebuah kata tetapi mengandung perjuangan. Perjuangan di sini adalah perjuangan untuk menghapus segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini. Maka Merdeka selalu berarti berlawanan dengan penjajahan. Dengan demikian kalau polisi alergi dengan kata Merdeka, sesungguhnya polisi menghendaki penjajahan atau ingin menjajah.

Baca juga Bagian II

Thursday, December 17, 2015

Papa Minta Saham, Papua Minta Apa?

Foto seorang ibu yang sakit dengan kedua anaknya di dalam rumah mereka ini diunggah melalui jejaring sosial facebok milik akun Yan Akobiarek.

Tindakan Setya Novanto, Ketua DPR Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah "Papa Minta Saham" mempertegas sekaligus membuat menjadi benderang proses eksploitasi Papua yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Entah kata apa yang bisa digunakan untuk sikap seperti ini, yang jelas selama bertahun-tahun Papua menjadi ladang penghasilan Indonesia sekaligus para pejabatnya.Namun di balik semua gerakan tambahan yang dilakukan Novanto sebagai Ketua DPR RI, ada suatu kisah panjang yang memilukan bangsa Papua tetapi sering dilupakan bangsa Indonesia. Tentu sangat sulit dikatakan bahwa para pejabat seperti Novanto tidak tahu apa yang terjadi terhadap orang Papua sebagai pemilik kekayaan alam yang diambil Indonesia dan Amerika sejak bertahun-tahun lalu.Semua pejabat itu tahu, tetapi matanya telah tertutup kemilau emas di Bumi Papua.

Sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah sejarah eksploitasi kekayaan alam dan manusia Papua oleh Indonesia. Bagaimana tidak, sebelum Papua diintegrasikan atau dipaksakan untuk menjadi bagian dari Indonesia, Kesepakatan eksploitasi emas oleh Freeport sudah dilakukan. PEPERA baru terjadi tahun 1969 tetapi emasnya sudah menjadi milik Indonesia jauh sebelum PEPERA. Integrasi Papua ke dalam Indonesia ini  adalah upaya mengerukkan kekayaan Papua dan bukan karena Papua benar-benar disadari sebagai bagian dari Indonesia. Menyatakan bahwa Papua adalah bagian inheren dari Indonesia adalah suatu upaya menyembunyikan keinginan untuk mengeruk kekayaan Papua.

Kasus Papa Minta Saham bisa jadi bukanlah peristiwa pertama yang terjadi terhadap kekayaan Papua. Besar kemungkinan kasus seperti ini banyak terjadi, hanya saja tidak terungkap. Jika mengikuti berbagai analisa tentang pembunuhan Kenedy dan lengsernya Soekarno, hal serupa dengan Papa Minta Saham sesungguhnya telah terjadi sebelumnya. Jabatan sebagai Presiden yang diperoleh Soeharto adalah bentuk lain dari Papa Minta Saham.Kalau Novanto disidangkan MKD lalu mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI, Soeharto bahkan menjadi Bapak Pembangunan-termasuk pembangunan perusahan Freeport Indonesia di Papua- dan setelah meninggal diusulkan menjadi pahlawan.

Namun setelah lebih dari setengah abad Indonesia menguasai Papua, dan telah terjadi banyak kejadian Papa Minta Saham yang kebetulan belum terungkap, rakyat Papua dapat apa? Kalau bukan dapat peluru, siksaan, kemelaratan dan kemiskinan, rakyat Papua dapat penghargaan dalam kata-kata manis 'pemilik tanah yang kaya raya'. Saat Papa Novanto minta-minta Saham, ada banyak orang Papua meninggal dunia karena penyakit yang bisa disembuhkan namun tak ada tangan-tangan penyembuh di puskesmas. Saat Papa sibuk minta saham, Papa lupa ada banyak orang Papua yang minta Obat saja susah. Saat Papa-papa minta saham terus minta lobster sampai minta mundur, orang-orang Papua susah minta guru.

Sementara Papa-Papa di Jakarta makin rakus makan kekayaan Papua, Orang Papua dipaksa beli Bensin dengan harga hingga Rp 200.000. Orang-orang di Jakarta hingga Amerika sibuk bersaing dalam gaya dengan emas bergantungan di mana-mana, rakyat Papua masih pusing bagaimana agar sagu dan ubi masih tetap ada untuk anak cucunya.Padahal emas-emas yang mengkilau di leher mereka itu dari alam Papua.Lalu Papa-Papa katakan Papua itu Indonesia dan banyak uang telah dikirim ke Papua. Tapi Papa-Papa itu sengaja tidak tahu bahwa uang yang banyak dikirim ke Papua habis untuk beli Bensin yang berharga Rp 200.000 atau untuk beli Semen seharga Rp 1.500.000 bahkan lebih. Lalu kalau orang Papua protes, dengan mudah dikatakan sebagai separatis.
Baca juga tentang Kelangkaan dan mahalnya harga BBM

Namun siapakah separatis sesungguhnya? Masyarakat Papua yang minta merdeka karena merasa dijajah atau papa-papa yang jual Papua ke Amerika Cs. Atau dengan bunyi Pancasila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" masih pantaskah Papua dilihat sebagai bagian dari Indonesia? Kalau keadilan sosial itu tidak ada di Papua, maka negara Indonesia sesungguhnya tidak pernah menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia, kecuali kekayaannya.Kalau di Jawa masyarakat Indonesia bisa membeli Bensin dengan harga tujuh ribuan Rupiah, sementara di Papua hingga Dua Ratusan Ribu Rupiah, apakah salah jika kita memandang bahwa Pemerintah Indonesia selama ini sedang membentuk negara Papua?

Maka kalau Papa-papa sibuk minta saham untuk terus mengeruk kekayaan orang Papua sambil membiarkan sekaligus membunuh orang Papua, apakah salahnya jika orang Papua minta untuk tidak dijajah atau bebas????


Friday, October 23, 2015

KEMARAU HARAPAN

Kemarau di Wamena meleleh
Hujan tumpah
Bergemuruh membungkam suara sumbing dari ruang karaoke
Jalan Irian Wamena serentak sepi
Lampu pun ikut membisu padam tak bercahaya
Disambut teriakan syukur tanah yang terbelah
Tempat pohon kasuari menggerogoti air yang tersembunyi di baliknya
Nyanyian sunyi penghuni lembah surga ikutan melambung
Tak perlu ribut mencari air lagi
Apalagi mencari pemerintah yang diam melihat rakyatnya mengering
Tak ada harapan di sana
Hanya pada pucuk-pucuk sayur yang tersenyum menyambut hujan.

Monday, October 5, 2015

BBM Subsidi untuk siapa???

BBM Subsidi untuk siapa???


Harga BBM selalu menuai polemik. Kenaikan Rp 100 saja akan menimbulkan protes di berbagai tempat di Indonesia. Namun tidak di Papua. Kalau di tempat lain di Indoensia harga Bensin berkisar antara Rp 6000-7000, di Pegunungan Tengah Papua harga bensin perliter paling murah Rp 23.000. Ini jauh di atas harga di pasar dunia. Bahkan beberapa hari terakhir harga bensin melambung tinggi hingga Rp 100.000/ liter.

Tentu saja ada subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Namun di wamena misalnya, harga bensin seperti tidak disubsidi pemerintah bahkan jauh di atas harga minyak dunia. Para pedagang eceran yang umumnya merupakan pendatang menjelaskan bahwa harga bensin yang mahal itu disebabkan oleh transportasi yang sulit dalam mendistribusikan minyak.

Memang distribusi barang ke pegunungan tengah Papua hanya melalui transportasi udara. Akan tetapi subsidi BBM yang diberikan pemerintah itu bukanlah subsidi untuk konteks Jakarta saja. Artinya, harga subsidi BBM itu adalah harga yang merata di seluruh Indonesia. Maka tentu saja pemerintah menanggung biaya distribusi BBM ke pegunungan tengah Papua. Itu berarti harga di Wamena seharusnya sama dengan harga bensin di Jakarta.

Memang benar bahwa harga itu sama. Di SPBU di Wamena harga bensin sama seperti di Jakarta. Namun, untuk mendapatkan bensin dengan harga subsidi, masyarakat harus memiliki kupon yang bisa diperoleh di Perindakop. Kupon ini dimaksudkan agar BBM yang ada di Wamena tidak dijual ke wilayah lain di pegunungan tengah Papua. Dengan itu diharapkan agar BBM di Wamena selalu tersedia. Langkah ini tentu saja baik.
Akan tetapi, ketersediaan BBM di SPBU di Wamena selalu cepat habis. Sementara itu, di ruko-ruko dan di pinggir jalan BBM selalu tersedia setiap hari dan dijual dengan harga tiga kali lipat dari harga BBM di SPBU.  Kenyataan ini dibiarkan oleh pemerintah dan juga masyarakat selama bertahun-tahun. Baik pemerintah pusat maupun daerah bersikap cuek terhadap hal ini. Akibatnya, mobilisasi manusia dan barang sangat terhambat. Produk-produk masyarakat kecil sulit didistribusikan ke kota. Harga barang melambung tinggi. Masyarakat pun semakin melarat.

Pertanyaannya adalah apakah benar para pedagang eceran sendiri yang mendatangkan BBM ke Wamena? Ataukah, BBM yang dijual di ruko-ruko di Wamena merupakan BBM subsidi yang dibeli di SPBU di Wamena?
Kalau benar bahwa para pedagang itu sendiri yang mendatangkan BBM ke Wamena, maka negara sebenarnya sedang alpa bahkan bersikap diskriminatif terhadap masyarakat di pegunungan tengah Papua. Bagaimana mungkin negara membiarkan para pedagang mendatangkan BBM sendiri sementara di tempat lain negaralah yang mendistribusikan BBM secara memadai. Sunggu menjadi sesuatu yang aneh pula,BBM yang disubsidipemerintah dari uang rakyat kemudian diperdagangkanoleh segelintir orang dengan harga yang sangat mahal hanya karena alasan transportasi yang sulit. Kalau para pedagang itu bisa, kenapa negara yang dibiayai uang rakyat tidak bisa mendatangkan BBM?

 Kalau BBM yang dijual para pedagang itu merupakan BBM yang dibeli di SPBU di Wamena, maka negara pun sebenarnya tidak hadir di sini. Negara tidak hadir karena negara membiarkan para pedagang seenaknya kenaikan harga BBM. Ataukah ada pihak tertentu yang sedang bermain dan mengambil keuntungan besar dari kemelaratan masyarakat dan kealpaan pemerintah?

Jika kemungkinan kedualah yang terjadi, maka berapa banyak keuntungan para pedagang setiap harinya?
Menurut informasi yang saya peroleh, setiap harinya ada paling kurang 70 drum bensin yang didistribusikan dari jayapura ke Wamena. Setiap drum berisi sebanyak 200 liter. Maka sebagai contoh, jika para pedagang membeli di SPBU dengan harga Rp 8.000 dan dijual dengan harga paling murah Rp 23.000, para pedagang mendapat keuntungan sebesar (Rp 23.000*14.000 liter) - (Rp 8.000*14.000 liter) atau sebesar Rp 210.000.000 per hari. Jika angka itu merupakan biaya yang dikeluarkan negara untuk membiayai pendistribusian bensin dari Jayapura ke Wamena setiap harinya (angka pasti biaya transportasi BBM ke Wamena belum diketahui) maka negara merugi setiap hari sebesar Rp 210 juta. Kalikan saja berapa kerugian negara setiap bulan atau tahun. Negara mengalami kerugian sebesar Rp 76.650.000.000. Itu baru perhitungan kasar dengan 70 drum BBM. Bayangkan kalau kenyataannya jauh lebih besar dari itu jumlah yang didistribusikan pemerintah ke Wamena. Belum lagi kalau dihitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memasok BBM ke seluruh kabupaten di Pegunungan Tengah Papua.

Bagaimana hal ini bisa terjadi dan berlangsung selama bertahun-tahun. Hanya pemerintah yang tahu. Namun perlu ada investigasi yang mendalam tentang permainan BBM ini. Jika tidak, negara akan terus merugi dan rakyat Papua terus melarat dan diperlakukan tidak adil oleh negara. Jika itu yang terjadi maka benarlah pernyataan beberapa teman, kalau Indonesia ini hanyalah Jawa sementara yang lain hanyalah pelengkap agar Indonesia bisa disebut sebagai negara kepulauan. Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun hanya bermakna bagi masyarakat di Jawa.

Wednesday, May 6, 2015

BUNGA KECIL DARI GENEVA

Oleh; Leo Kleden
(Kompas, 12 Agustus 2007)


Dengan hati-hati sekali engkau mengambil bunga kecil dari halaman gereja tua
di Geneva dan mengirimnya untukku, dalam suratmu dulu, pada awal musim
semi. Dengan hati-hati sekali aku menanam bunga itu di antara lembar-lembar
Alkitab dan menyiramnya dengan doaku yang sunyi. Saban kali kurasa rindu aku
membuka halaman Firman dan menemukan lagi musim semi di bukit-bukit dan
lembah-lembah, semerbaknya sampai ke relung jiwa.

Sejak kau pergi tanpa berita, hilang lenyap dalam lupa, dengan alamat sebuah
dusta, aku membuka kembali Alkitab, mencari-cari bunga kecil dari halaman
gereja Geneva. Yang kutemukan bau bangkai, keranda rindu, bunga mati. Di
halaman gereja tertimbun sampah musim gugur.

MUSIM GUGUR


Oleh Leo Kleden
(Kompas, 12 Agustus 2007)


Di taman ini
Kutemui puing sebuah mimpi
Ada sisa matahari dan rimis badai, masih
Sepasang kekasih saling mendekap
Melekapkan diri
Dalam berahi
Yang tak pernah abadi
Sebab memang musim berkisar
Seperti cakra langit berkisar
Seperti cinta dan debar dukamu yang nyasar
Hidup hanya sebentar:
Sehembus angin masih menderu
Debur laut yang belum teduh
Di pantai pulau
Diam –
Kudengar kabut
Menyaput rambutmu
Daun jatuh
Rindu alam pun
runtuh.
Kudengar keluh
Suara salju
Menghapus tahun-tahun lampau:
Ke mana perginya daun-daun, sayangku
Ke mana perginya daun-daun?
Di taman ini
Kutemui puing sebuah mimpi
Kita akhirnya mesti pergi
Bayang-bayang sepi –
Tahu nanti
Sepasang kekasih ‘kan kembali
Membakar diri
Dalam pijar matahari.

Wednesday, April 29, 2015

Revolusi Mental Untuk Jokowi (2)

Setelah penghentian sementara dua pimpinan KPK Jokowi mengangkat tiga pimpinan sementara KPK. Banyak pihak menilai bahwa ini merupakan langkah tepat Jokowi untuk mengatasi kriminalisasi KPK. Hal ini semakin diperkuat dengan pembatalan BG sebagai Kapolri meski DPR telah menyatakan bahwa BG lolos uji kelayakan dan kepatuhan sehingga pantas menjadi Kapolri. Akan tetapi kebijakan ini berat sebelah. Pada satu sisi, Jokowi segera menonaktifkan dua pimpinan KPK yang terjerat kasus, pada sisi yang lain Jokowi tidak menonaktifkan BG dari Polri.

Apa yang dilakukan Jokowi sesungguhnya mempertegas fakta yang terjadi bertahun-tahun bahwa Hukum di Indonesia bukan untuk menjamin keadilan tetapi justru untuk mempertegas ketidakadilan. Pihak yang lemah dan yang teguh berjuang membongkar kejahatan begitu mudah dikriminalisasi bahkan dibunuh sementara pihak yang kuat seringkali luput dari jeratan hukum meski jelas kejahatannya bagi banyak orang.

Tentu saja apa yang diduga dilakukan oleh dua pimpinan KPK nonaktif itu patut diselidiki kebenarannya. Jika salah, keduanya pun pantas untuk dihukum. Akan tetapi, yang terjadi sekarang ini bukanlah suatu upaya menegakkan hukum tetapi lebih sebagai sebentuk pembalasan. Apa yang dilakukan kedua pimpinan KPK nonaktif itu bukan baru sekarang diketahui pihak kepolisian. Kasus keduanya baru mencuat setelah KPK menetapkan BG sebagai tersangka. Maka apa yang dialami oleh kedua pimpinan KPK nonaktif itu patut dikatakan sebagai suatu bentuk kriminalisasi.

Sementara, BG yang telah ditetapkan sebagai tersangka tetap dibiarkan berdinas. Hal ini tentu saja sangat aneh bagi masyarakat kecil. Hukum sebagaimana sudah terlalu sering dikatakan bahwa tumpul ke atas dan tajam ke bawah.Pada satu sisi, Jokowi menonaktifkan pimpinan KPK yang terjerat kasus, pada sisi lain Jokowi membiarkan tersangka korupsi terus berkuasa.

Kalau pertimbangan bahwa kedua pimpinan KPK dinonaktifkan agar proses hukum bisa berjalan dengan baik dan juga KPK sendiri tetap bisa bekerja maksimal, maka seharusnya tindakan yang sama diterapkan juga pada BG. Akan tetapi Jokowi justru bertindak sangat berbeda. Padahal, pengaruh BG pada Polri sangat luar biasa. Hal ini bisa dilihat pada proses praperadilan KPK oleh BG. Dalam proses itu, BG ditetapkan sebagai tersangka sebagai seorang pribadi. Tetapi dalam proses praperadilan, KPK berhadapan dengan pihak kepolisian sebagai satu lembaga.

Maka ketika putusan Hakim Sarpin memaksa KPK untuk melimpahkan kasusnya pada pihak kejaksaan dan selanjutnya pihak kejaksaan "menghadiahkan" pihak kepolisian untuk menyelesaikan kasus BG, penyelesaian kasus ini tentu sangat mudah dibaca arahnya. Lain hal jika BG pun dinonaktifkan dari kepolisian. Namun itu tidak dilakukan sang Presiden.

Persoalan paling besar di negara ini justru pada persoalan hukum. Maka untuk membangun negara ini dengan ide revolusi mental, revolusi mental yang paling utama adalah pada aparat penegak hukum. Sebab pada semua negara, revolusi mental sesungguhnya sudah ada dan dilakukan dalam sistem hukum. Dalam sistem penegakan hukum, yang salah dihukum. Dan hukum dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada pihak yang menjadi korban tetapi sekaligus memberi efek jera agar sang terdakwa tidak melakukan kejahatan lagi.

Namun yang terjadi, Jokowi dengan ide revolusi mentalnya justru tidak menyentuh aspek kebobrokan penegakan hukum itu sendiri. Dan ini menjadi peluang semakin hancurnya penegakkan hukum di Indonesia ini. Dan korupsi akan semakin membudaya dengan pembiaran BG berdinas dan membiarkan KPK dihancurkan. 

EMBONG LARIK: THE ART OF CACI, THE ART OF LIFE


Ini foto di Cijantung di Jakarta. Bukan di Manggarai, Flores. Kitorang di Jakarta main caci juga. Dan memang lebih nikmat main caci di tanah rantau. Apalagi di kota Metropolitian. Tapi kalau kitorang yang merantau masih main caci, mestinya di Manggarai, Flores, lebih sering lagi.
Nah, kalau lihat foto ini, mungkin saja timbul pertanyaan soal ekspresi wajah para jagoan ini. Ini pemain yang tangkis nampak serius, konsentrasi, waspada. Sementara pemain yang pegang larik yang hendak melakukan pemukulan, nampak senyum-senyum, santai. Gak salah nih?! Iya gak salah.
Ini salah satu seni dalam permainan caci (the Art of Caci), sama seperti "The Art of War" (Seni Perang)-nya Sun-Tzu. Dalam foto ini pemain yang hendak memukul ini sedang melakukan aksi Seni Embong Larik. Artinya harifiahnya, meninabobokan larik (cambuk). Artinya, sebenarnya bukan meninabobokan larik, tetapi meninabobokan lawannya, pemain yang menangkis. Bikin lawannya itu "temo" (terlena, lengah, tidak waspada), dengan cara bersenandung - menyanyikan lagu Manggarai yang tujuannya memang meninabobokan. Di tengah senandungnya atau kapan saja, dia merasa bahwa pihak lawannya itu terlena, tidak waspada, dia akan melakukan serangan yang mendadak (Sudden Attack). Karena pihak lawannya, harus tetap waspada, awas, tidak terlena, selama dia bersenandung. Embong Larik merupakan bagian dari The Art of Caci. Seni bermain caci.
Embong Larik sebagai The Art of Caci mengandung dua aspek ajaran yang merupakan bagian dari Filosofi Caci. Pertama, manusia Manggarai dalam aktifitas kehidupannya, dalam perjuangannya, tidak lepas dari berkesenian yang merupakan santapan jiwanya. Perjuangan hidup untuk mencapai tujuan tidak selalu dicapai dengan keseriusan yang luar biasa yang bisa bikin putus semua urat, tapi pencapaian tujuan itu bisa juga dilakukan dengan gaya Embong Larik. After all, life itself is a song. Hidup itu sendiri adalah suatu tembang yang kita nyanyikan. Kedua, walaupun demikian, sikap waspada, eling, kesadaran (awareness) harus selalu berada pada puncaknya, karena kita tidak tahu kapan bahaya itu datang, kapan serangan itu menghantam kita. Maka, seperti dalam ajaran Yesus, pelita kesadaran, kewaspadaan itu, pelita berjaga-jaga itu selalu ditempatkan di atas gantang, bukan di bawah gantang. Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan pelita kesadaran dan kewaspadaan dan menempatkannya di bawah gantang.
Begitulah ajaran dalam Seni Embong Larik sebagai bagian dari The Art of Caci yang sebenarnya merupakan Seni Kehidupan (The Art of Life) manusia Manggarai pemilik Budaya Caci itu. Maka, ketika kamu orang main caci atau nonton caci, main atau nontonlah dengan menyalakan pelita kesadaran akan nilai-nilai kultural yang diajarkan dalam Seni Caci itu. Semoga.

Merehabilitasi Yudas dan Petrus

Oleh John Mansford Prior, SVD
Pastor Rutan Negara Maumere

TERLEPAS dari maksud tulisan Inosentius Mansur (Opini 7 April 2015), saya tertarik dengan penilaiannya tentang dua rasul yang berperan dalam Kisah Sengsara Yesus, yakni Yudas Iskariot dan Simon Petrus. Tandas Mansur, Yudas "membohong" ketika mencium gurunya di Taman Getsemani (Mrk 14:45), dan Simon Petrus "membohong" ketika menyangkal Yesus di halaman Mahkamah Agama (Mrk 14:66-72). Hemat saya, penilaiannya terlalu blak-blakan.

Apakah betul Yudas mengkhianati Yesus hanya untuk 30 keping perak saja? Mungkin, tapi belum tentu. Benar, seperti para bendahara pada umumnya Yudas dicurigai malah dicap seorang "pencuri" oleh Penginjil Yohanes (Yoh 12:6). Tetapi sebetulnya, ada tafsiran lain yang cukup meyakinkan.
Yudas dijuluki "Iskariot", artinya "pembawa belati", yaitu dari aliran patriot/nasionalis yang fanatik, seorang simpatisan kaum gerilyawan yang melawan penjajahan militer Roma. Yudas mengikuti Yesus yang mengelilingi Galilea dan Yudea sambil mengumumkan kedatangan Kerajaan Allah. Dan, sama seperti semua murid lain, Yudas menanti berdirinya Kerajaan Daud di Yerusalem. Tidak ada murid yang tepat memahami apa yang dimaksudkan Yesus. Apa lagi menjelang perayaan Paskah Yesus memimpin sebuah pawai palma, sejenis demo damai, ketika memasuki Kota Yerusalem dan rakyat menyambutnya dengan teriakan "Hosana Putra Daud". Rasanya, hanya sesaat lagi dan kerajaan Daud akan Yesus umumkan, lantas Gubernur Pilatus dan tentara Roma diusir, dan umat Allah bisa sekali lagi menikmati kemerdekaannya di bawah kedaulatan Allah.

Jadi, apa sebetulnya tujuan Yudas dengan "mengkhianati" Yesus? Kita pasti ingat sebuah kisah kecil yang menggegerkan kaum nasionalis Indonesia menjelang 17 Agustus 1945. Anak muda Adam Malik bersama Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana, menculik Bung Karno dan Bung Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Mereka bermaksud memaksa Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dan, keesokan harinya proklamasi
dimaklumkan.

Boleh jadi Yudas Iskariot, simpatisan (atau anggota?) kaum nasionalis fanatik punya maksud serupa. Dengan membawa serombongan orang dengan pedang dan pentung ke Taman Getsemani, Yudas hendak memicu proklamasi berdirinya Kerajaan Daud. Sekarang kita menyadari bahwa visinya, sebagaimana visi murid-murid lain, baik laki-laki pun perempuan - memang keliru. Strategi dan taktik Yudas juga meleset dan berakibat tragis. Maka, sesudah menyaksikan bahwa Yesus tidak melawan - para murid sudah siap dengan pedang (Luk 22:38) -tetapi Yesus menyerahkan diri begitu saja, Yudas putus asa, mengembalikan uang pembayarannya itu, dan membunuh diri. Taktik Adam Malik berhasil - visinya sejalan dengan visi dan harapan Sukarno. Taktik Yudas gagal - Yesus punya visi dan strategi lain.

Sebelum Yudas menawar jasanya kepada Dewan Imam mereka sudah mengambil keputusan untuk mengamankan Yesus, keputusan yang mereka ambil sesudah Yesus mengacau-balaukan persiapan persembahan yang sah di alun-alun Bait Allah - dan pada masa yang paling sibuk. Dalam sidang Pengadilan Agama, Yesus dijatuhkan hukuman mati karena murtad, karena menganggap dirinya putra Allah. Dalam sidang Pengadilan Negeri, Yesus dijatuhkan hukum mati karena subversif dengan menerima gelar "raja". Kita dapat membaca di sini bahwa Yesus disalibkan karena gerakannya mengancam hirarki agamanya dan posisi pemerintah penjajah. Yesus menerima dengan tenang akibat dari pewartaannya, panggilannya untuk membebaskan umat manusia; dan Yudas membuka jalan untuk itu.

Dan Simon Petrus? Apakah ia menolak Yesus hanya karena takut ditahan, diadili, dihukum mati? Mungkin saja. Tapi, ada kemungkinan lain. Petrus tidak kenal sosok Yesus yang diborgol, didera, dimahkotai duri, seorang Yesus yang menyerahkan diri begitu saja kepada pemerintah penjajah. Yesus macam itu Petrus tidak kenal. Yesus yang Simon Petrus kenal selama dua-tiga tahun adalah Yesus Sang Penyembuh, Sang Nabi yang membangkitkan orang mati, yang memperganda roti dan ikan, yang meredakan badai, Sang Putra Daud yang memimpin demo memasuki Kota Yerusalem, Sang Putra Allah yang membuka Bait Allah bagi segala bangsa (Mrk 11:17). Simon Petrus mengenal dan mengikuti Sang Rabi dan Guru yang serba kuat nan "jantan", bukan Yesus yang kalah dan nampak serba impoten.
Pada umumnya kita cenderung membaca Injil hanya dari pihak "Yesus" atau dari pihak orang yang percaya. Sebetulnya, tak salah jika kita juga membaca kisah-kisah Injil dari pihak masing-masing pelakon dalam adegan-adegan tertentu. Pernah, misalnya, di pedalaman Flores kami membaca kembali Kisah Sengsara Yesus dari berbagai pihak: sejumlah ibu mengulangi kisahnya dari sisi ibu-ibu Yerusalem, kelompok lain dari sudut pandang tentara Roma (anak-anak kampung, malah ada anak dari ibu-ibu Yerusalem, dus perspektif mereka bertolak belakang), sejumlah umat lain menceritakan pengalaman mereka pada Jumat sore itu sebagai teman-teman penyamun (nasionalis/gerilyawan) yang disalibkan bersama Yesus. Sesudah itu, diadakan diskusi hangat di antara para ibu Yerusalem, anak-anak mereka yang masuk angkatan bersenjata, teman-teman penyamun, dan rasul laki-laki yang tak hadir. Ramai. Yang mengejutkan ialah bahwa kami menjadi sadar bahwa sifat dari masing-masing pelakon hadir pula dalam diri kami.

Jadi, ada untung jika kita tidak begitu saja menilai Yudas Iskariot dan Simon Petrus secara blak-blakan. Dengan membaca kembali Kisah Sengsara dari sudut pandang pelaku yang percaya dan yang tidak percaya, dari sisi simpatisan Yesus pun lawannya, dari perspektif orang yang yakin dan orang yang bingung, murid yang tanggap dan murid yang keliru, kita dapat menemukan dalam diri kita sedikit-sedikit dari sifat seorang Yudas (maksud baik, namun harapan dan taktik salah) dan seorang Petrus (mau ikut orang yang berkuasa, bukan orang yang dikalahkan/ distigmatisasi). Biar kita tidak sampai "merehabilitasikan" Yudas Iskariot, paling kurang kita bisa mulai memahaminya, dan lebih memahami diri kita sendiri. *

Friday, March 6, 2015

Revolusi Mental untuk Jokowi (1)

Sejak awal pemerintahannya, Jokowi berbuat sesuat yang tidak biasa. Proses pemilihan menteri dalam kabinet pimpinannya, Jokowi gunakan cara yang tidak biasa. Ada proses seleksi yang membuat decak kagum banyak orang sekaligus membangkitkan harapan bangsa Indonesia akan pemerintahan yang baik dan pro rakyat. Apa yang Jokowi lakukan menjadi tanda awal dan bentuk nyata upaya revolusi mental yang melekat padanya selama kampanye. Meski ada beberapa menteri dalam kabinetnya diragukan karena jejak masa lalunya, langkah Jokowi ini masih tetap diapresiasi. Namun sesungguhnya sudah ada kecemasan bahwa Jokowi akan tidak banyak berbuat terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat. Pemilihan menteri yang diduga punya sejarah kejahatan terhadap kemanusiaan menggambarkan bagaimana Jokowi di hadapan masalah HAM.
Penolakan Jokowi terhadap permohonan Grasi para narapidana kasus narkoba menjadi gambaran yang jelas tentang sikap jokowi terhadap persoalan HAM. Dengan dalil bahwa ada banyak orang Indonesia yang menjadi korban narkoba, maka Jokowi mendorong dilakukan hukuman mati bagi para narapidana kasus narkoba. Dalam perkara narkoba, Jokowi kelihatan begitu tegas melindungi masyarakatnya dari bahaya narkoba. Akan tetapi dalam banyak hal lain Jokowi bukan saja tidak tegas tetapisangat nyata menjadi semacam apa yang sering lawan politiknya katakan sebagai boneka.
Penunjukkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri meskipun bukan rahasia lagi kalau  Budi Gunawan termasuk orang yang diberi cap merah oleh KPK dalam seleksi menteri karena diduga  terlibat masalah korupsi, merupakan  sinyalemen kuat pengaruh pihak lain terhadap Jokowi. Sebagai mantan ajudan pribadi Megawati maka kegigihan Jokowi mengajukan BG sebagai calon tunggal Kapolri diduga kuat sebagai bentuk intervensi Megawati  yang tidak bisa dielakan Jokowi. Hal ini memperjelas pernyataan lawan politiknya bahwa Jokowi hanyalah tugas partai.
Jokowi semakin kelihatan hanya menjadi boneka ketika KPK sebagai garda terdepan upaya pemberantasan Korupsi dimutilasi habis-habisan. Jokowi tidak bertindak meski KPK dikriminalisasi. Hal ini memang menjadi sesuatu yang sulit bagi Jokowi karena pihak terdepan yang melakukan kriminalisasi terhadap Jokowi adalah orang-orang dari Partainya sendiri, PDI Perjuangan. Kembali lagi ketegasan Jokowi tidak tampak, yang muncul justru pembiaran upaya pelemahan KPK.
Bahwa pejabat yang sedang berurusan dengan hukum mesti dibebastugaskan sementara agar bisa fokus menyelesaikan masalahnya dan terlebih lagi agar tidak menggangu jalannya pemerinahan atau kinerja lembaga tempat orang itu bekerja telah Jokowi lakukan terhadap dua pimpinan KPK yang berhadapan dengan hukum. Akan tetapi Jokowi tidak melakukan hal yang sama pada Budi Gunawan. Meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Jokowi tetap membiarkan proses uji kelayakan di DPR. Jangankan menghentikan sementara BG dari  Polri, menarik kembali pengajuan BG ke DPR sebagai calon Kapolri  pun tidak dilakukan. Kembali lagi Jokowi menjadi Presiden  seperti tanpa wewenang.
Kini, KPK yang sudah lemah semakin diperlemah oleh keputusan Praperadilan yang sarat masalah. Hakim Sarpin memutuskan kemenangan tersangka korupsi hanya karena menilai bahwa kasus BG bukan domain KPK. Hal ini pun sangat bermasalah karena Sarpin menilai bahwa BG tidak termasuk aparat penegak hukum ketika kejadian berlangsung. Padahal anak TK pun tahu bahwa polisi merupakan aparat penegak hukum. Dan sampai saat ini pun anak-anak kecil hanya tahu bahwa yang namanya polisi berarti salah satu aparat penegak hukum. Tapi hakim Sarpin justru mengeluarkan BG dari status BG sebagai seorang Polisi hana karena jabatan BG saat terjadi penyalahgunaan kekuasaan adalah jabatan dalam kepolisian yang tidak berurusan langsung dengan aktivitas polisi sebagai penegak hukum. Akan tetapi, dalam UU kepolisian secara jelas mengatakan bahwa setiap anggota POLRI adalah penegak hukum.
Selain itu, hakim Sarpin yang menilai KPK bertindak melampaui kewenangannya justru dengan cara melampaui kewenangannya sendiri sebagai hakim praperadilan. Penetapan status tersangka yang tidak masuk domain praperadilan diterobos Sarpin. Sarpin hanya melihat KPK melampaui kewenangannya, tetapi tidak menyadari bahwa dirinya sedang melampaui kewenangannya sendiri ketika memutuskan membahas penetapan tersangka dalam sidang praperadilan. Praperadilan yang sesungguhnya bertujuan menegakkan keadilan  menjadi alat menghancurkan keadilan dan hukum di tangan Sarpin. Hal ini bisa melahirkan banyak persoalan hukum kemudian. Untuk jasanya menghancurkan sistem hukum, apa yang telah terjadi patut diingat sebagai suatu Sarpinisme agar ke depan masyarakat tetap berjaga menghadapi penghancuran sistem hukum.
Lalu atas putusan yang Sarpinis seperti itu, Jokowi malah tetap membiarkan BG tetap aktif sebagai anggota Polri. Sementara dua pimpinan KPK dengan segera diberhentikan. Meskipun Praperadilan yang Sarpinis telah membatalkan status tersangka BG, hal ini tidak berarti BG bebas dari dugaan telah melakukan korupsi. Hal ini karena Sarpin menilai penetapan BG sebagai tersangka tidak sah bukan karena tdak ada indikasi korupsi tetapi kaena status tersangka BG diberikan oleh KPK yang dengan pola pikir Sarpinisme menilai bahwa tidak berwewenang menangani kasus BG. Dengan demikian jika ditangani pihak lain maka status tersangka itu sah. Artinya dugaan dilakukan tindak pidana korupsi oleh BG tidak hilang dengan putusan Sarpinis. Maka tanpa memasuki polemik entahkah KPK harus melimpahkan kasus BG ke pihak lain atau tidak, sangkaan korupsi  pada BG mengharuskan BG untuk diberhentikan sementara sebagai anggota Polri hingga kasusnya selesai. Jokowi malah membiarkan hal ini tidak terjadi, justru menjanjikan jabatan lain bagi BG sebagai gani jabatan Kapolri.

Saturday, February 28, 2015

Security Forces in Papua: Security For whom

SECURITY FORCES IN PAPUA: SECURITY FOR WHOM?



Even as the memory of the sadistic murder of four civilians by the Indonesian security forces in Enarotali last December (known as the Bloody Paniai incident) remains raw for Papuans, the police are making plans to increase their presence in Papua, including by building a Brimob (Police Mobile Brigade) command headquarters in Wamena (Jayawijaya Regency). Earlier, the TNI announced plans to establish a new Kodam (regional military command) in Papua. These plans show the Indonesian Government’s true approach in Papua: to focus heavily on security and the military. No matter who is in power, the government continues to use a security approach when trying to resolve the complex web of problems in Papua. Ever since Papua was integrated into Indonesia, the central government has not been concerned with the abuses and killings of the Papuan people perpetrated by the police and army. Human rights abuses continue to take place, but justice is rarely served.
  This security approach has not only led to a number of murders, but has also negated the freedoms of the Papuan People to assemble, express themselves and state their opinions. Any expressions or opinions that differ from those of the government or the security forces are always used as a reason to launch various operations that frequently result in fatalities. Based on this security approach, many Papuans have been killed or arrested under Indonesian Law no. 106 or 110 on assault against the government or on trying to separate the certain area from Indonesia (Makar). Thus, instead of creating peace and security, the presence of the police and army in Papua causes insecurity, fear and trauma.
 This raises a question: who are the security forces there to serve? This question is important because the government and security forces often distort official policies. The motto ‘NKRI (The Unitary State of the Republic of Indonesia) is non-negotiable’ (‘NKRI hargamati’) fires up Indonesians to support the maintenance of Indonesia’s unity. But this concept of NKRIhargamati overlooks the real reason for the establishment of the state. The basis of Indonesia’s existence cannot be solely the need to remain united –there must also be a clear agreement that the government will look after the prosperity and safety of the people under its rule. Given this, it seems very odd when the main security concern becomes Indonesia’s sovereignty rather than the security of the Indonesian people.
One of the main problems is that the police and army understand the concept of NKRI as the need to ensure no areas of Indonesia ever leave the republic. This has resulted in the security forces vindicating the extrajudicial killing and assaults of Papuans as necessary to uphold the unity of Indonesia. It is clear that what is being championed is the unity of NKRI and the physical land inside of it, not the people living in these areas. It is thought that since Papua must remain part of Indonesia, Papuans whose views contrast with those of the government and security apparatus should be killed. It is clear that ‘security’ in Papua means the security of the geographic area of Indonesia and not for the people living in the territory themselves.
In practical terms in Papua, this view means that any hint of conflict or disagreement is seen as an effort to separate Papua from Indonesia. For example, peaceful demonstrations are usually met by well-armed security forces. The sadistic assassinations in Enarotali are clear evidence of how the security apparatus treats Papuans. This is just one of many cases. The security apparatus have an ingrained suspicion of Papuans: that they all want to separate from Indonesia, when in fact a demonstration can be just that, and may be on a completely unrelated matter. This deep-seated lack of trust is what has led to the government wanting to build more and more security bases in Papua.
  The irony here is that the government uses the ‘safety of the local people’ as the reason why security forces are necessary. But for the local people, the government never properly explains who is meant to benefit from the presence of more security. When the government says the increase in security forces is to ensure people’s safety, it is almost unbelievable because the local people themselves reject an increase in security personnel. Perhaps unsurprisingly, this excuse is actually being used currently by the government of Jayawijaya Regency and the police to justify the plan to build a Brimob headquarters in Wamena. The people in Jayawijaya strongly reject this plan because the presence of Brimob headquarters will make the area more insecure and the people will live in fear. The protracted and deep trauma caused by the arbitrary actions of the security forces have made the local people believe that security makes them less secure, not more.
 For the Papuans, what they need nowadays is security focused on the people’s welfare, not state security. The conditions in Papua need more attention from the government, particularly in the areas of education, healthcare, and economic and cultural protection. Many people in Jayawijaya are illiterate because there are very few teachers. So many schools in Jayawijaya, and in Papua in general, have insufficient numbers of teachers. The students in Papua go to school but usually don’t end up having class because there is no teacher.
  Another problem in Papua is that there are many healthcare centers, but a lack of doctors and nurses. The number of Papuans infected by HIV/AIDS is the highest in Indonesia, and there are also problems with other diseases. But there is no significant policy or action from the government to solve such problems. While lots of money has been spent on Special Autonomy programs aimed at encouraging the development of Papuans and public infrastructure in Papua, there are no significant changes. The goal of Special Autonomy is not a bad one – the goal of encouraging Papuans in their development – but in reality this approach actually excludes the Papuans from the development. While many public facilities have been built in Papua, the majority of Papuans do not get to enjoy them. These facilities are enjoyed by migrants from outside Papua. These migrants arrived through the transmigration program from the Indonesian government, or as economic migrants coming to Papua looking for work. The migrants dominate the economic, social, cultural, education and political spheres in Papua. Many Papuans consider that Special Autonomy is a failure. Development in Papua has become a ‘wicked problem’, and it needs a holistic solution.
  On top of all this, the plan to establish new Brimob command headquarters in Wamena is the wrong answer to the complex web of problems in Papua. The Indonesian government has to think deeply about developing Papua. The Papuans do not require additional police or army – they need partnerships and justice in the development of their land

Friday, February 27, 2015

PANTE PEDE Dan EDUCATING UP

    • Persoalan Pante Pede dan Educating 









Tentang sosialisasi oleh Pemerintah Provinsi NTT tentang pembangunan Hotel milik PT. Investama Manggabar, beberapa Koran di NTT baik cetak maupun Online menulis bahwa sosialisasi itu berakhir ricuh. Akan tetapi sesungguhnya ada hal yang menarik yang mesti menjadi pelajaran dari peristiwa sosialisasi tersebut, lebih dari sekadar ricuh. Konteksnya, pada tanggal 17 Januari 2015, Gubernur NTT mengutus beberapa pejabat SKPD yang terkait dengan urusan Pante Pede untuk melakukan sosialisasi pembangunan Hotel di Pante Pede. Sosialisasi ini dibuat menyusul penolakan besar-besaran oleh masyarakat Manggarai Barat. Pemerintah Provinsi kemudian memperluas persoalan, dari sekadar ingin mempihakketigakan penggunaan Pante Pede menjadi persoalan kepemilikan. Pemprov NTT atas dasar persoalan kepemilikan merasa berhak untuk menyerahkan Pante Pede kepada siapa saja untuk dikelolah. Artinya karena Pante Pede adalah milik Pemprov NTT maka Pemprov NTT yang berkuasa penuh atasnya. Sementara masyarakat pada satu sisi tetap menolak adanya privatisasi terhadap Pante Pede. Dasarnya adalah karena Pante Pede merupakan ruang publik yang tersisa bagi masyarakat untuk menikmati indahnya alam kepunyaan masyarakat Manggarai Barat. Sementara orang-orang dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang menikmati alam Manggarai Barat, masyarakat Manggarai Barat hanya menjadi penonton dan tidak bisa menikmati alam indahnya. Dan terkait persoalan kepemilikan, masyarakat Manggarai Barat pun memiliki basis hukum yang seharusnya ditaati oleh Pemprov agar asset seperti Pante Pede diserahkan ke kabupaten Manggarai Barat. Dengan basis argumentasi seperti itu, Pemprov dan masyarakat Manggarai Barat bertemu. Sayangnya utusan Pemprov datang dengan kebiasaan pemerintah yang melihat bahwa apa yang diputuskan pemerintah selalu benar dan masyarakat selalu sebagai pihak yang belum mengerti tentang keputusan pemerintah sehingga butuh penjelasan. Istilah sosialisasi di tengah berbagai penolakan privatisasi Pante Pede cukup menggambarkan kerangka berpikir pemerintah. Maka utusan Gubernur datang dengan harapan bahwa masyarakat Manggarai Barat akan mengerti dan kemudian pembangunan hotel di Pante Pede bisa dimulai. Yang jadi soal adalah, Gubernur dan para utusannya tidak memiliki suatu argumentasi yang bisa meyakinkan masyarakat mengapa Pante Pede harus diserahkan ke PT. Investama Manggabar milik Setya Novanto. Pemprov hanya berkutat pada persoalan kepemilikan dan juga Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat mudah dipatahkan oleh masyarakat. Soal kepemilikan, masyarakat pun memiliki argumentasi hukum yang tidak mampu dijawab oleh pemerintah provinsi selain rasionalisasi bahwa Pemprov tidak menyerahkan Pante Pede kepada Pemda Manggarai Barat karena tidak ada kata “harus” dalam Pasal 13 UU no. 8 tahun 2003. Akan tetapi Pemprov lupa bahwa dalam pasal yang sama tidak ada kata pengecualian yang memperbolehkan Pemprov untuk tidak menyerahkan Pante Pede kepada Pemda Manggara Barat. Pemprov pun hanya melihat keuntungan dari aspek PAD. Selain angka PAD yang dibanggakan Pemprov terlalu kecil, masyarakat membaca persoalan Pante Pede secara lebih luas tidak sebatas PAD. Bagi masyarakat, PAD yang akan diterima Pemprov dari PT. Investama Manggabar sebesar Rp 250.000.000 per tahun atau 20.833.333/bulan atau Rp 685.000/hari terlalu kecil dibandingkan apa yang bisa diperoleh Pemprov, Pemkab dan terutama masyarakat sendiri bila Pante Pede tetap menjadi ruang publik tetapi yang ditata dengan baik. Educating Up Maka apa yang terjadi dalam Sosialisasi Pembangunan Hotel di Pante Pede oleh Pemprov terlalu sempit kalau hanya dilihat aspek ricuhnya. Kericuhan itu disebabkan oleh penjelasan Pemprov yang berbelit-belit dan tidak menjawabi pertanyaan masyarakat. Selebihnya, proses yang terjadi adalah suatu bentuk pendidikan kepada pemerintah oleh masyarakat sipil. Masyarakat memberikan pelajaran kepada pemerintah bahwa masyarakat tidak membutuhkan penjelasan yang berbelit-belit. Yang dibutuhkan adalah suatu jawaban yang sesuai dengan pertanyaan masyarakat. Selain itu, masyarakat sendiri sedang mengingatkan pemerintah bahwa segala hal yang dilakukan oleh pemerintah semestinya ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan investor. Maka dalam sosialisasi tersebut sesungguhnya ada beberapa hal penting yang terjadi. Pertama, pembalikan pandangan bahwa yang perlu dididik hanyalah masyarakat. Proses sosialisasi itu menjadi titik balik dimana pemerintah perlu belajar. Dan masyarakat Manggarai Barat sedang menyadarkan para pemimpinnya bahwa pemerintah sedang terjebak dalam suatu model pembangunan yang membelenggu dan keluar dari tujuan adanya negara. Maka yang terjadi sesungguhnya bukanlah sosialisasi dari pemerintah tetapi sosialisasi masyarakat kepada pemerintah tentang bagaimana harus mengatur kehidupan bersama dalam negara. Di sini masyarakat tidak bisa lagi dipandang sebagai orang lemah dan bodoh yang harus dididik sehingga perlu dibuat sosialisasi tentang keputusan pemerintah. Artinya, penolakan masyarakat terhadap privatisasi Pante Pede bukan karena masyarakat belum mengerti sehingga perlu sosialisasi tetapi karena masyarakat sadar akan masalah yang sedang dihadapinya. Dengan pembalikan pandangan ini sesungguhnya masyarakat Manggarai Barat sedang menggugurkan suatu model pembangunan dari atas ke bawah. Di sini pemerintah tidak bisa dilihat lagi sebagai penyelamat yang datang untuk menolong masyarakat. Kedua, pemerintah seringkali terjebak dalam pembangunan yang membelenggu. Kesadaran masyarakat akan kehilangan ruang publik karena berbagai pembangunan selama ini melahirkan penolakan terhadap pencaplokan ruang publik di Pante Pede. Sementara pemerintah melihat bahwa kesukesan pembangunan hanya diukur dari banyaknya gedung mewah dan PAD yang diperoleh, masyarakat memandangnya secara lebih luas dengan mengukur pembangunan dari seberapa bermanfaatnya bagi masyarakat banyak sebagaimana tujuan didirikannya suatu negara. Pemerintah terjebak dalam tipu daya pembangunan dengan melihat besaran PAD tetapi lupa akan tujuan pembangunan yaitu untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang mengekslusi masyarakat kebanyakan dari hasil pembangunan itu sendiri adalah suatu kegagalan meskipun menghasilkan PAD yang besar. Ketiga, pentingnya kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Dalam konteks pemerintah seringkali terjebak dalam pandangan pembangunan dari atas ke bawah dan terbuai oleh tipu daya pembangunan, maka kontrol masyarakat sangat dibutuhkan. Gerakan masyarakat menolak privatisasi Pante Pede merupakan suatu bentuk kontrol sosial masyarakat terhadap pemerintah yang patut diapresiasi dan diteladani. Kontrol sosial seperti ini sangat penting untuk menyadarkan kembali tujuan adanya negara dan bagaimana para pemimpin harus membangun negara ini. Tanpa kontrol sosial seperti ini, masyarakat akan semakin disingkirkan dari berbagai pembangunan dan akhirnya pembangunan hanya dinikmati segelintir orang kaya dan para pelancong dari negara lain. Pertanyaannya adalah apakah Pemprov tidak menyadari persoalan seperti ini? Tentu saja terlalu naïf untuk mengatakan bahwa pemerintah provinsi tidak menyadari bahaya privatisasi Pante Pede bagi penyingkiran masyarakat dari pembangunan itu. Berbagai protes yang diajukan telah cukup jelas menggambarkan bahaya itu. Namun, kegigihan Gubernur NTT untuk tetap menyerahkan Pante Pede kepada PT. Investama Manggabar menjadi suatu pertanyaan yang mesti dijelaskan sendiri oleh Gubernur. Sementara argumen-argumen yang dipakai Pemprov tidak memadai di hadapan argument masyarakat, Pemprov tetap pada pendiriannya. Maka patut dicurigai kepentingan apa yang ada di balik kegigihan Pemprov untuk mempertahankan rencananya sendiri dengan mengabaikan masyarakat banyak.

Thursday, February 19, 2015

Kisah Seorang Janda -puisi Frans Wetapo

PUISI

KISAH SEORANG JANDA


Di sebuah kampung tinggal seorang janda yang hidupnya pas-pasan
Dari hari ganti minggu bahkan sampai tahunpun melewatinya di-
Gubuk peninggalan sang kekasih suaminya
            Ia berharap kelak sang almarhum kekasihnya kembali namun tak
            Datang kunjung, pagar kayu yang di buatnya juga sudah mulai lapuk
            Air hujan mulai tiris membasahi rumah
Matahari naik perlahan dari ufuk timur, ia memandang orang-orang
Sedang menuju ke kebun ia pun ingin berkebun tetapi sayangnya
Lahan yang bertahun-tahun diolahnya seakan tak sanggup memberi kesuburan
            Ketika musim panen pun telah tiba ia ingin berjualan sayur dari kebunya
            Sesampai di pasar,sayur bawaannya di ambil oleh pemungut CUKAI
            Sayangnya ia pulang dengan tangan hampa seakan ia datang
            Untuk menunjukan hasil kebunnya lalu pergi begitu saja



                                                                        By’ frans wetapo

Friday, January 30, 2015

penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena

    
    Papua selalu dipandang secara pincang oleh pemerintah. berbagai persoalan yang ada di Papua dipandang hanya sebagai masalah keamanan sehingga pendekatan yang diambil juga adalah pendekatan keamanan. Padahal dalam sejarah Papua, pendekatan keamanan justru gagal total bahkan menjadikan Papua tidak aman. Sudah terlalu banyak orang Papua yang dibunuh, ditembak aparat Negara dengan alasan Demi stabilitas negara atau demi NKRI. Di Papua, yang paling penting adalah stabilitas negara dan keutuhan NKRI, sementara manusianya menjadi tidak penting dan karenanya mudah dibunuh. Dan kesan ini semakin mendapat pembenarannya ketika pembunuhan masyarakat Papua hampir selalu tanpa proses hukum. Pembunuhan akhirnya menjadi biasa dan kebal hukum menjadi keistimewaan para aparat negara di Papua.   
       kini saat masyarakat sedang trauma dengan pembunuhan sadis dan biadab di Enarotali, Paniai, pemerintah justru ingin menambah kekuatan aparat di Kab. Jayawijaya dengan membangun Mako Brimob. Di Jayawijaya sendiri sudah ada Polres, ada Kodim, ada Batalion dll. Penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob adalah sesuatu yang harus dipahami sebagai penolakan terhadap pendekatan keamanan di Papua. Info selanjutnya buka di sini.

penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob di Wamena

Papua selalu dipandang secara pincang oleh pemerintah. berbagai persoalan yang ada di Papua dipandang hanya sebagai masalah keamanan sehingga pendekatan yang diambil juga adalah pendekatan keamanan. Padahal dalam sejarah Papua, pendekatan keamanan justru gagal total bahkan menjadikan Papua tidak aman. Sudah terlalu banyak orang Papua yang dibunuh, ditembak aparat Negara dengan alasan Demi stabilitas negara atau demi NKRI. Di Papua, yang paling penting adalah stabilitas negara dan keutuhan NKRI, sementara manusianya menjadi tidak penting dan karenanya mudah dibunuh. Dan kesan ini semakin mendapat pembenarannya ketika pembunuhan masyarakat Papua hampir selalu tanpa proses hukum. Pembunuhan akhirnya menjadi biasa dan kebal hukum menjadi keistimewaan para aparat negara di Papua.   kini saat masyarakat sedang trauma dengan pembunuhan sadis dan biadab di Enarotali, Paniai, pemerintah justru ingin menambah kekuatan aparat di Kab. Jayawijaya dengan membangun Mako Brimob. Di Jayawijaya sendiri sudah ada Polres, ada Kodim, ada Batalion dll. Penolakan terhadap rencana pembangunan Mako Brimob adalah sesuatu yang harus dipahami sebagai penolakan terhadap pendekatan keamanan di Papua. http://tabloidjubi.com/2015/01/29/penolakan-pembangunan-kompi-brimob-di-jayawijaya-terus-berlanjut/

Saturday, January 24, 2015

KAMI HANYA NAMA

kami hidup di tanah kaya
laut indah berpulau-pulau
di dalamnya ada surga
di daratan ada wangi kopi
aromah cengkeh dan vanili di mana-mana
ada padi yang menguning
ada komodo yang mendunia
di mana-mana ada mangan
ternak kami melimpah
tapi tolong jangan tanya
karena semua anugerah itu
kami hanya punya nama

coba liat tanah kami
penuh orang berdasi
ke mana-mana bawa plat merah
buat kami rakyat pejalan kaki senang
"kita punya mobil bagus"
tapi tolong jangan tanya
karena semua itu
kami hanya punya nama.

kekayaan kami katanya milik negara
milik negara untu kepentingan penyelenggara negara
kami cukup dengan bangga
dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat

jangan tanya
mana bupati kami
mana DPRD kami
atau mana Gubernur kami
cukup lihat di istana-istana megah
di Hotel-hotel Mewah
atau di mobil-mobil mahal

tapi tolong jangan tanya
karena semua itu
kami hanya punya nama

kami hanya punya nama
untuk alam yang kaya
keindahan yang memukau
dan untuk pemerintah dan wakil kami yang berlimpah
karena semua itu adalah milik para investor
lalu kami dibuat bangga
ada hotel berbintang-bintang
tanda kemajuan
tapi jangan tanya itu punya siapa




 

suara kemiskinan

Aku adalah Papua, aku adalah Maluku,
Akulah Nusa Tenggara, akulah Sulawesi,
Suara dari kemiskinan, yang tak pernah berujung,
 Semenjak Republik ini berdiri.
Tanah kami tanah kaya, laut kami laut kaya,
Kami tidur diatas emas, berenang diatas minyak,
Tapi bukan kami punya, semua anugerah itu,
Kami cuma berdagang, buah-buah pinang.
Kami tak mau bersalah, pada anak-anak cucu,
Kami tak mau bersalah, pada anak-anak cucu,
Harus ada perubahan, harus ada perubahan,
Harus ada perubahan, harus ada perubahan.

BALE NAGI LARANTUKA - IVAN NESTORMAN

Bale Nagi Larantuka
Ivan Nestorman dalam album Flores, The Cape of Flower
Composed/ arranged/ performed by Ivan Nestorman
--
Ivan Nestorman - Bale Nagi Larantuka
Cari kriang di nagi orang
nae berok tembus lautan
Sampe juga di tana orang
Ile Mandiri dalam ingatan
Sore sore dudo ambe inga,
soba sayang cinta mati
Dolo-dolo selalu aku ingat
dengan kebarek dari Pulau Konga
Sore sore dudo ambe inga
ema sayang, papa sayang
Dolo-dolo selalu aku ingat
dengan rumpu-rampe selalu kurindu
Bale nagi bale nagi, Larantuka the place where I belong
Bale nagi bale nagi, Larantuka selalu menunggu ...

MOGI DEO KEZE WALO - IVAN NESTORMAN

Mogi Deo Keze Walo
 Ivan Nestorman dalam album Flores, The Cape of Flower
 Composed/ arranged/ performed by Ivan Nestorman,
 Remi Aimere, Rin Mogi, Lodovikus
 --
Ivan Nestorman - Mogi Deo Keze Walo
 Gula ana fai ngaza mogi
 adu tangia modhe tau ate ngao mona noa se'a pu'u lau lego
 lovely anafai is Nona Mogi from Nagakeo
 dancing tea eku she is so beautiful
 Oo.. Mogi e
 Mogi e Mogi fu kugu
 Oo.. Mogi e
 Come and dance with me tonite
 Mogi e mogie
 Deo keze walo deo keze walo
 Deo keze walo Nona Mogi e
 

AKU PAPUA

Aku Papua

Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu
Adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu
Adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
Hitam putih keriting lurus
Aku Papua
Hitam putih keriting lurus
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
Hitam putih keriting lurus
Kami Papua
Hitam putih keriting lurus
Kami Papua
Biar nanti langit terbelah
Kami Papua

Monday, January 19, 2015

Rasionalisasi Pemprov NTT Demi Sukses Merampok Pantai Pede

Sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) di Aula Sekda Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) pada 17 Januari 2015 tentang Pembangunan Hotel di Pantai Pede menguak banyak hal.
Namun, hal ini bukan karena jelasnya materi sosialisasi yang disampaikan oleh Pemprov NTT tetapi lebih karena masyarakat Mabar sangat kritis dan mengungkapkan berbagai data sejarah, hukum, sosial dan budaya Pante Pede.
Pemerintah Provinsi bahkan kelihatan tidak siap, baik dari segi data maupun argumentasi yang bisa menjadi landasan teguhnya pendirian mereka untuk menyerahkan Pantai Pede ke PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM).
Tim dari provinsi lebih banyak menjelaskan hal-hal yang tidak dibutuhkan para peserta sosialisasi atau menjawab apa yang tidak ditanyakan para peserta.
Akibatnya, sosialisasi ini gagal total dengan beberapa pertanyaan tak terjawab hingga kini karena kekecewaan masyarakat terhadap penjelasan pihak Pemprov.  Masyarakat pun meminta acara sosialisasi ditutup.
Hanya satu persoalan yang dipertanyakan masyarakat yang coba dijawab oleh Gubernur NTT melalui para utusannya, yaitu tentang bagaimana sampai Pante Pede menjadi aset Pemprov NTT?

bagaimana jawaban pemprov? Klik di sini

Saturday, January 17, 2015

JOKOWI: ANTARA HUKUMAN MATI DAN REVOLUSI MENTAL

Bapak Presiden Jokowi yang baik. Selama bertahun-tahun bapak sibuk melayani rakyat dengan penuh penghargaan atas HAM. Bapak juga ingin mengubah persoalan besar bangsa ini dengan gerakan Revolusi Mental. Revolusi Mental harus terjadi agar kebobrokan yg selama ini terjadi tidak terulang lagi dan lagi. Akan tetapi, setalah bapak memiliki kekuasaan yang besar dan mampu mendorong banyak perubahan, bapak justru salah memanfaatkan kekuasaan itu untuk mendorong penghargaan atas HAM dan terjadinya Revolusi Mental. Dengan menolak permohonan grasi dari para tahanan kasus narkoba yg dijatuhi hukuman mati, bapak telah salah menggunakan kekuasaan dan bapak belum mengalami revolusi mental.
Bapak presiden yang terhormat, para pengedar narkoba memang merusak bangsa, merusak upaya revolusi mental. Tetapi menghukum mati mereka juga merusak bangsa dan bukan jalan revolusi mental. Merusak bangsa karena bapak mengajarkan bahwa orang yg melakukan kesalahan haruslah dibunuh. Memang banyak yg berargumentasi bahwa pengedar narkoba melakukan kesalahan besar sehingga pantas dihukum mati, tetapi pertanyaannya kesalahan besar menurut siapa? Masyarakat akan melihat bahwa apa yg bapak lakukan terhadap para tahanan itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Siapa yg salah dihukum tergantung seberapa besar kesalahannya. Dan setiap orang berbeda dalam menilai besarnya kesalahan. Maka main hakim sendiri hingga membunuh orang yg bersalah jadi mungkin. Apa itu yang Bapak sebut revolusi mental?

Bapak presiden, bapak jangan asal mengikuti orang lain yg berpikir bahwa dengan hukuman mati, akan banyak orang yg bertobat dan tidak terlibat dalam masalah narkoba. Tidak ada bukti bahwa hukuman mati buat orang lain jera. Ini bukan revolusi mental bapak. Dan ini tidak akan mendorong adanya revolusi mental.
Bapak presiden, revolusi mental tidak bisa terjadi dengan membunuh. Dan adalah kontradiksi memperjuangkan HAM dengan membunuh. Kalau bapak tetap menghendaki adanya hukuman mati, apa bedanya bapak dengan para pembunuh, dengan para pengedar narkoba yg merusak bangsa atau para teroris yg membunuh banyak orang.
Ingat bapak Presiden, bapak itu adalah teladan bangsa. Tapi apa yg harus diteladani kalau dalam soal paling dasar saja, hak hidup, bapak tidak beda dengan para penjahat yg menghendaki kematian musuhnya? Bapak mestinya menjadi teladan soal menghargai hak hidup orang lain. Tapi yg bapak buat adalah membiarkan pembunuhan itu menjadi hal yg biasa dan dibenarkan. Jelas ini bukan revolusi mental.
Bapak mengira bahwa dgn hukuman mati banyak orang yg bertobat. Sama sekali tidak bapak. Yg terjadi justru ajaran baru untuk membunuh.  Bapak presiden yg harus diubah itu adalah mental orang agar tidak cari jalan pintas untuk jadi kaya dengan narkoba. Tapi bapak justru mengajarkan jalan pintas baru mencapai revolusi mental dengan membunuh dan mengancam akan membunuh orang yg masih mengedarkan narkoba. Tapi jalan itu tidak akan mencapai revolusi mental.


Bapak presiden, banyak rakyat bapak yg terancam hukuman mati dibanyak negara. Pasti bapak akan berjuang untuk mereka itu. Tetapi apa yg mendasari perjuangan bapak kalau di dalam negara sendiri di mana bapak satu-satunya yg berkuasa untuk menyelamatkan orang yg dijatuhi hukuman mati tetapi bapak justru menyetujui hukuman mati. Kalau alasan bapak bahwa yg dihukum mati itu orang yg berbuat kesalahan besar merusak bangsa, maka di negara lain di mana banyak rakyat bapak terancam hukuman mati pun alasannya sama, karena melakukan kesalahan besar. Penentuan besar kecilnya kesalahan yg dijatuhi hukuman mati tidak sama untuk setiap orang. Jadi tidak harus kasus narkoba.  bapak berjuang untuk menyelamatkan rakyat bapak di negara orang, tetapi membunuh orang lain di negara sendiri. Bapak pikirkan lagi sebelum bapak tidak bisa mengembalikan mereka yg bapak setujui untuk dibunuh. Ingat bapak ini bukan revolusi mental dan adalah bohong memperjuangkan HAM dengan Melanggar HAM.

Friday, January 16, 2015

PANTAI PEDE: MELAMPAUI PERSOALAN KEPEMILIKAN

PANTAI PEDE:
MELAMPAUI PERSOALAN KEPEMILIKAN
Ence Geong*
Bekerja pada Sunspirit

 Persoalan Pantai Pede di Manggarai Barat yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini cenderung mengerucut pada persoalan entahkah Pantai Pede adalah milik Pemerintah Provinsi NTT ataukah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Pada satu sisi, Pemprov NTT mengklaim bahwa secara hukum Pantai Pede merupakan asset Pemprov NTT. Sementara pada sisi yang lain, masyarakat Manggarai Barat mengklaim bahwa pantai ini adalah milik Pemerintah dan Masyarakat Manggarai Barat karena sesuai dengan Pasal 13 huruf b UU No 8 Tahun 2003 Tentang Pembentukkan Kabupaten Manggarai Barat dan Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri No 42 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutan Piutang Pada Daerah Yang Baru Dibentuk. Dalam Keputusan menteri Dalam Negeri No 42 ini bahkan dijelaskan bahwa penyerahan segala asset kepada Daerah Pemekeran Baru dilakukan paling lambat satu tahun setelah peresmian Wilayah Baru itu.
 Diskursus tentang status hukum kepemilikan Pantai Pede ini tentu saja penting agar pihak yang secara hukum merupakan pemilik Pantai Pede secara bertanggung jawab mengelola Pantai Pede. Hal ini semakin urgen karena pantai Pede berada di wilayah destinasi Pariwisata. Tanpa pengelolaan yang baik, Pantai Pede akan terbengkalai bahkan menjadi momok yang menghancurkan pariwisata Labuan Bajo. Kenyataan selama ini, Pantai Pede dibiarkan tak terurus. Pemerintah Provinsi yang mengklaim sebagai pemilik sah Pantai Pede (sesuai dengan tiga sertifikat tanah yang ada di Pantai Pede) tak peduli dengan keberadaan pantai ini. Sementara Pemda Kab. Manggarai Barat yang dengan basis hukum berbeda menghendaki Pantai ini menjadi milik Manggarai Barat pun tidak berbuat apa-apa terhadap Pantai ini. Akhirnya Pantai Pede yang menjadi tempat kecil - yang tersisa dari pencaplokan para investor- bagi masyarakat Manggarai Barat menikmati keindahan alam dengan biaya yang murah justru dipenuhi sampah. Hal ini tentu saja merusak pariwisata Manggarai Barat itu sendiri.  Dalam kondisi tanpa perhatian pemerintah baik kabupaten maupun provinsi ini, dalam masyarakat Manggarai Barat mulai lahir kelompok-kelompok yang peduli dengan kebersihan Pantai ini. Bagi masyarakat Manggarai Barat, siapa pun pemiliknya, entah itu Pemprov NTT atau Pemkab Manggara Barat, Pantai Pede merupakan milik rakyat yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
 Apa yang dibuat masyarakat itu sangat berbeda dengan tingkah Gubernur dan Bupati yang saling klaim kepemilikan atas tanah itu tanpa ada tindakan yang diambil untuk melayani masyarakat sebagai pemilik yang terutama. Pemprov NTT dan Pemkab Mabar sibuk mencari dasar hukum yang bisa memperkuat klaim kepemilikan atas tanah itu. Akan tetapi substansi yang mendasari adanya pembagian peran dalam mengelola asset masyarakat yang dipercayakan kepada pemerintah diabaikan sama sekali. Masyarakat sebagai pemilik utama Pantai Pede dan yang harus dilayani oleh pemerintah dengan pengelolaan Pantai Pede secara baik demi masyarakat itu sendiri tidak diperhatikan oleh pemerintah. Fokus Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat adalah pada siapa yang secara hukum berhak atas tanah tersebut sehingga bisa mendapat keuntungan pribadi (tetapi berjuang atas nama PAD) dalam transaksi dengan para investor. Menjadi jelas bahwa masyarakat tidak masuk dalam pikiran pemerintah saat membicarakan kepemilikan pantai Pede.
Melampaui Persoalan Kepemilikan
 Pertanyaan yang muncul adalah apakah polemik Pantai Pede berhenti pada persoalan kepemilikan atau harus melangkah lebih jauh melampaui pola pikir pemerintah dan  menemukan masalah dan menawarkan alternative atas masalah Pantai Pede ini? Pertanyaan ini menjadi penting agar substansi persoalan tidak hilang ditelan persoalan klaim kepemilikan oleh para pengelolah tanah ini. Selain itu, berkutatnya para pengelolah provinsi NTT dan Kabupaten Manggarai Barat pada persoalan kepemilikan adalah suatu pintu masuk yang baik untuk membongkar kebobrokan sistem pemerintahan, mekanisme kontrol DPR dan juga patut dicurigai adanya deal-deal dengan pihak ketiga.
 Pertama, Pantai Pede dibagi atas tiga bagian dengan sertifikat masing-masing atas nama Pemprov NTT. Dua sertifikat Hak Pakai No 10 dan 11 dikeluarkan tahun 1989 dan satunya, No 1 dikeluarkan tahun 1994. Akan tetapi kemudian terdapat keanehan. Pada 19 April 1999 baru dilakukan serah terima tanah dengan sertifikat Hak Pakai no 10 dan 11 oleh Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya RI kepada Pemerintah Provinsi NTT (Berita acara serah terima/hibah Barang nomor PL.302/I/2/PSB-99). Sementara 5 tahun sebelumnya (5 April 1994) Pemerintah Provinsi telah menyerahkan kedua tanah itu kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai (Berita Acara nomor P.519/1.1/IV/1994). Dengan demikian maka posisi Pantai Pede sesungguhnya bermasalah sejak awal.
 Kedua, jika dipandang dari sudut pandang UU no. 8 tahun 2003 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri no 42 tahun 2001 maka Pemerintah Provinsi NTT atau Pemkab Manggarai wajib menyerahkan segala asset yang ada di wilayah Kabupaten baru Manggarai Barat paling lambat setahun setelah diresmikan sebagai kabupaten otonomi baru. Akan tetapi hal ini tidak terjadi. Bisa jadi persoalan kepemilikan awal di atas menjadi hambatan. Akan tetapi alasan tersebut gugur dengan sendirinya ketika pemerintah Provinsi justru membuat MoU dengan Investor untuk mengelola Pantai Pede.
 Bagi saya, masalah Pantai Pede ini melahirkan kecurigaan bahwa banyak asset di daerah Pemekaran Baru di NTT ini yang sesungguhnya bermasalah. Pantai Pede hanyalah satu masalah yang muncul ke permukaan karena merupakan tempat strategis dan bisa menjadi ATM bagi penguasa. Tetapi yang terutama, Pantai Pede muncul karena masyarakat Manggarai Barat memberontak karena terancam kehilangan ruang publik berbiaya murah. Maka jika ditelusuri asset-aset di wilayah pemekaran baru, saya yakin ada banyak asset yang sampai sekarang masih teregistrasi sebagai milik Pemprov NTT. Dengan demikian, Gubernur NTT sesungguhnya telah melanggar UU. Hal ini sekaligus menggambarkan bobroknya pemerintahan di NTT ini sekaligus lemahnya mekanisme kontrol wakil rakyat terhadap pemerintah.
 Dengan melihat persoalan ini, kita mesti melampaui perdebatan Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat. Persoalan Pantai Pede ini mesti dibawa kembali ke persoalan yang lebih substansial tentang asset ini baik asset negara, pemprov maupun Pemkab dan asas manfaatnya bagi masyarakat. Hal ini sangat penting agar para pemegang kekuasaan tahu bahwa apa yang disebut sebagai asset negara, Pemprov atau Pemkab bukanlah dalam arti kepemilikan para penguasa itu sehingga seenaknya dikelola tanpa mempertimbangkan masyarakatnya.
 Dalam konteks ini, para penguasa harus sadar benar bahwa segala asset yang teregistrasi sebagai asset pemprov atau pemkab dan ada dalam lingkup Pemprov maupun Pemkab merupakan asset masyarakat yang dipercayakan pengelolaannya kepada pemerintah baik Pemprov maupun Pemkab untuk tujuan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, masyarakat sebagai pemilik utama atas asset – asset pemerintah mesti didengarkan aspirasinya.
 Karena itu, entahkan Pantai Pede teregistrasi sebagai asset Pemprov atau pun Pemkab, peruntukkannya haruslah bagi masyarakat. Maka untuk mengetahui bagaimana Pantai Pede seharusnya dimanfaatkan adalah dengan menggali aspirasi masyarakat dan belajar dari pemanfaatan asset negara lainnya. Untuk itu pemerintah tidak pernah boleh mendahului kehendak rakyat dengan membuat MoU dengan pihak investor (Aparat Penegak Hukum atau KPK mesti menyelidiki hal ini). Penolakan privatisasi Pantai Pede oleh banyak kelompok masyarakat di Manggarai Barat secara jelas menggambarkan bahwa pemerintah Provinsi belum atau bahkan tidak mau menggali aspirasi masyarakat. Dan penolakan itu juga sekaligus menunjukkan apa yang dikehendaki masyarakat dengan Pantai Pede.
 Selain itu, penolakan masyarakat pun secara jelas menggambarkan bahwa model pengelolaan asset negara dengan melibatkan kaum kapitalis tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat banyak. Untuk konteks Manggarai Barat, masyarakat sudah benar-benar kehilangan ruang publik yang bisa dinikmati dengan biaya murah. Berjejernya hotel dan restoran di pesisir Pantai Labuan Bajo menghilangkan ruang publik bagi masyarakat umum. Dan keindahan alam Labuan Bajo akhirnya hanya dinikmati oleh orang-orang kaya dan wisatawan asing. Masyarakat umum akhirnya hanya menjadi pemilik nama sebagai tempat destinasi pariwisata dunia, tetapi keindahannya tidak bisa dinikmatinya sendiri.
 Maka melampuai persoalan kepemilikan, masyarakat dan pemerintah harus fokus pada bagaimana pemanfaatan Pantai Pede sebagai ruang publik yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Manggarai Barat. Yang jelas privatisasi ditolak karena tidak menguntungkan masyarakat dengan alasan PAD sekalipun karena keuntungan yang diperoleh masyarakat kalau Pantai Pede dikelolah untuk ruang publik jauh lebih besar dan tidak dapat dihitung dengan uang. Jika tidak maka masyarakat Manggarai Barat hanya menjadi pemilik nama kota pariwisata tetapi tidak bisa menikmatinya.