Wednesday, May 22, 2013

Menulis Untuk Apa?

Menulis Untuk Apa?

Oleh Florianus Geong (Mahasiswa STFK Ledalero, Kru KMK Ledalero)

MEMBACA tulisan Hengki Ola Sura (HOS) berjudul ‘Merindukan Profesor Menulis’ dalam kolom opini Harian Pos Kupang 4 Juni lalu, seorang teman berkomentar “NTT memiliki banyak dosen dengan gelar akademik doktor, bahkan banyak yang telah dikukuhkan sebagai profesor. Akan tetapi hampir tidak ada kontribusi ‘orang-orang terdidik itu’ dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat NTT.”

Hemat saya, opini HOS dan juga komentar teman saya atasnya merupakan suatu bentuk keprihatinan atas gejala pemisahan dunia akademik atau bahkan pelarian sivitas akademika dari karut-marut kondisi masyarakat. Gejala ini tampak jelas dalam minimnya perhatian dunia akademik terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal ini jelas tidak bermaksud untuk menegasikan peran dunia akademik dalam melahirkan manusia-manusia terdidik yang kemudian mengabdi masyarakat.
Peran dunia akademik dalam menghasilkan manusia-manusia yang mengabdi masyarakat tidak dapat disangkal, akan tetapi kehadiran dunia akademik tidak hanya untuk menghasilkan manusia-manusia yang akan bekerja dalam masyarakat. Dunia pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam masyarakat yang selalu diharapkan menelurkan ide-ide cemerlang dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Judul opini HOS ‘Merindukan Profesor Menulis’ mengandung kontradiksi in se, sebab menulis, menghasilkan karya tulis/buku/opini, merupakan conditio sine qua non atau syarat yang mesti dipenuhi, selain syarat lain tentunya, agar seseorang (umumnya seorang doktor) dikukuhkan menjadi profesor.
Kriteria yang digunakan untuk mengukuhkan seorang doktor menjadi profesor dilihat dari pencapaian jumlah kredit yang diperolehnya dari berbagai tulisan ilmiah. Itu berarti seorang doktor tidak mungkin menjadi profesor jika tidak menulis. Atau dengan kata lain, seorang profesor merupakan seorang yang mesti sudah menulis atau menghasilkan tulisan ilmiah dan memenuhi jumlah kredit yang ditetapkan negara.

Karena itu tidak salah bila dalam tanggapannya terhadap opini HOS tersebut, Guru Besar Fapet Undana, Yusuf Leonard Henuk, menunjukkan bahwa dirinya sebagai seorang profesor merupakan seorang penulis.
Dalam opininya berjudul ‘YLH: ‘Profesor Penulis Dari Undana’ (Pos Kupang, 17/6/2011) Profesor Yusuf Leonard Henuk (YLH) memaparkan sejumlah tulisannya yang menunjukkan bahwa sebagai profesor ia telah dan hampir pasti terus menulis. Atau mengutip kata-kata YLH sendiri “sudah tidak dapat diragukan bahwa YLH tepat sekali memperkenalkan diri sebagai ‘profesor penulis dari Undana’, karena telah menerbitkan :
(1) karya ilmiah di jurnal ilmiah nasional non-akreditasi, nasional akreditasi dan internasional: 80 buah; (2) Tulisan-tulisan di koran: 62 buah; (3) Buku ber-ISBN: 11 buah, termasuk buku: ‘Pedoman Penulisan artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah’ (ISBN: 979-97845-7); dan (4) Edit buku penulis lain ber-ISBN: 4 buah, termasuk buku: ‘Basic Study Skills Untuk Dosen dan Mahasiswa’ (ISBN: 979-97845-6-5).”
Menara Gading PT
Terlepas dari kontradiksi in se yang terdapat dalam judul tulisannya, HOS dalam keseluruhan tulisannya menunjukkan suatu kerinduan akan ide-ide guru besar di NTT dalam bentuk tulisan dalam media massa lokal. Kerinduan ini jelas bukanlah suatu penyangkalan bahwa guru besar atau profesor-profesor di NTT menulis tetapi merupakan suatu bentuk kerinduan masyarakat NTT akan kehadiran kaum terdidik dalam diskursus pada media massa lokal demi membangun NTT.

Kerinduan ini bertolak dari paling kurang satu alasan mendasar, yaitu ke-profesional-an dari para guru besar dalam bidang-bidang ilmu yang digelutinya. Gelar profesor selalu merujuk pada keahlian atau keprofesionalan seseorang pada bidang tertentu. Spesialisasi keahlian setiap orang yang dikukuhkan sebagai profesor menggambarkan suatu keprofesionalannya (walaupun selalu dapat dibantah, keprofesionalan tidak selalu berbanding lurus dengan pencapaian gelar profesor) dalam bidang tersebut.
Karena itu, keikutsertaan para profesor dalam diskusi di ruang publik (di sini saya batasi ruang publik hanya pada tempat yang dengan mudah dapat dijangkau sebagian besar masyarakat yaitu koran) dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat banyak sehingga turut membangun masyarakat dan daerah kita ini.

Keterlibatan para guru besar di NTT dalam diskusi di media massa lokal memang dapat dikategorikan sangat minim. HOS menyadari keadaan itu dan berharap ‘Guru besar atau profesor di NTT sudah sepatutnya turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya.’
Sebab masyarakat banyak yang hanya mampu menjangkau media massa seperti koran mengharapkan ide-ide cemerlang para profesor yang profesional dalam bidangnya, lahir dari ulasan tajam dan mendalam atas persoalan yang dihadapi masyarakat.
Harapan agar para guru besar turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku juga merupakan satu harapan yang ditujukan pada keseluruhan sivitas akademika.
Sebab bukan satu rahasia lagi bahwa sivitas akademika pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di NTT tergolong lemah dalam mengonfrontasikan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dengan persoalan masyarakat sehingga menelurkan ide dan pemikiran yang mampu mendorong masyarakat keluar dari kubangan persoalannya itu. Perguruan tinggi akhirnya menjadi tanpa keterlibatan sosial yang berarti. Kuliah hanyalah sarana yang diperlukan untuk memperoleh ijazah sementara peran sosialnya tenggelam dalam upaya meraih gelar.
Peran sosial perguruan tinggi hanya tampak dalam jumlah wisudawannya yang siap bekerja dalam masyarakat atau dalam kegiatan kampus seperti kuliah kerja nyata yang seharusnya melahirkan kesadaran dalam diri segenap sivitas akademika akan pentingnya partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Menulis untuk Apa?
HOS menggugah segenap sivitas akademika, khususnya para guru besar pada semua perguruan tinggi di NTT, agar meninggalkan menara gading ke-perguruan-tinggi-an. Akan tetapi hal ini tidak ditanggapi YLH secara penuh. YLH hanya menanggapi tulisan HOS dengan membuktikan ketidakvalidan judul opini HOS. Artinya YLH hanya menanggapi opini HOS dengan menjelaskan bahwa kerinduan HOS akan profesor menulis tidak mendasar sebab profesor memang menulis.
Tanggapan ini tidak memadai karena yang dipersoalkan HOS adalah lemahnya keterlibatan para profesor dalam mengatasi karut marut kehidupan masyarakat. Dengan inti persoalan yang dikemukakan HOS itu, maka HOS tidak bermaksud mengatakan bahwa profesor di NTT tidak menulis. Akan tetapi dalam tulisannya, YLH justru membuat suatu pembuktian dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh profesor penulis. Dengan ini, YLH tidak mengupas persoalan yang diangkat HOS secara memadai.

‘Merindukan Profesor Menulis’ merupakan suatu judul yang menunjukkan inti persoalan yang mau diangkat HOS, yaitu lemahnya partisipasi sivitas akademika dan lebih khusus lagi para guru besar di NTT dalam mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat.
Atau dengan kata lain, HOS mau menunjukkan bahwa idealnya perguruan tinggi memiliki fungsi sosial, akan tetapi dalam konteks NTT sivitas akademikanya lebih betah berdiam dalam menara gading ilmu pengetahuannya daripada mengonfrontasikan ilmunya dengan persoalan masyarakat. Karena itu, ‘Merindukan Profesor Menulis’ merupakan suatu harapan agar segenap sivitas akademika khususnya profesor di NTT mulai terjun dalam pergulatan dengan persoalan masyarakat.
‘Merindukan Profesor Menulis’ tidak menunjukkan bahwa profesor di NTT tidak menulis karena itu masyarakat NTT mengharapkan profesor menulis tetapi gambaran kerinduan masyarakat NTT akan peran sosial profesor dengan mendiskusikan dan menemukan jalan keluar bagi persoalan masyarakat.
Bagaimana para profesor mewujudkan peran sosialnya? HOS mendambakan agar keahlian para profesor dalam bidang kajiannya dapat ditularkan kepada masyarakat banyak dan bukan hanya dalam ruang kuliah.
HOS mendambakan agar para profesor dengan keahliannya turut terlibat menggeluti persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Telaahan kritis dan mendalam dari sang profesor merupakan satu masukan berharga bagi masyarakat dalam mengatasi persoalannya. Karena itu para profesor diharapkan untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat dengan meneliti persoalan yang dihadapi masyarakat dan menawarkan jalan keluar yang bisa diambil.
Dan HOS melihat keaktifan profesor dalam menulis di koran dengan analisa yang tajam atas persoalan yang dihadapi masyarakat merupakan jalan yang mesti dipilih. Koran sebagai media keterlibatan profesor dalam persoalan masyarakat ini dianjurkan HOS karena alasan sederhana dan praktis yaitu karena koran merupakan media yang paling mudah dijangkau masyarakat kebanyakan dibanding jurnal-jurnal ilmiah yang lebih sering dimanfaatkan para profesor.
Dengannya HOS mengharapkan ide-ide cemerlang para profesor bisa dijangkau oleh masyarakat luas sehingga mempunyai efek bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi keterlibatan profesor dalam menuangkan idenya melalui koran tidak berarti meniadakan keaktifannya menulis buku atau dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Jelaslah bahwa yang ingin ditekankan HOS adalah nilai guna praktis dari keprofesionalan para profesor di NTT. Sebagai tanggapan atas kerinduan HOS akan manfaat praktis keahlian para profesor bagi masyarakat, YLH justru berbicara tentang model tulisan atau media apa yang ‘pantas’ bagi seorang profesor.
YLH justru memaparkan bagaimana ‘meminjam kata-kata YLH- ‘kami (baca: para profesor) merasa lebih bergengsi menulis di jurnal ilmiah internasional untuk dikenal sesama pakar serumpun ilmu sejagat dan khusus di Indonesia dihargai bobot kredit: 40 (empat puluh) karya ilmiah ketimbang - menulis di koran yang hanya memiliki kredit 1 per opini’. Pertanyaannya: apa yang menjadi tujuan kita menulis?
Demi gengsi, kredit atau untuk menyampaikan ide atau pendapat kita kepada orang lain agar dimengerti dan membawa manfaat bagi kehidupan bersama?
YLH dan kontradiksi in se
YLH mengutip UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 2) bahwa Profesor memiliki kewajiban khusus untuk menulis buku dan karya ilmiah untuk mencerahkan masyarakat” untuk menentang HOS yang melihat bahwa ‘andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisan pada media massa’.
Hemat saya, bunyi UU tentang tugas profesor tidak meniadakan peran profesor dalam mencerahkan masyarakat melalui media massa.
YLH menulis bahwa pernyataan HOS tentang andil profesor dalam mencerahkan masyarakat melalui media massa tidak sesuai dengan UU tersebut. Dengan ini YLH membenarkan tesisnya pada paragraf sebelumnya tentang motivasi menulis yang berkisar pada gengsi dan kredit poin yang diperoleh. Atau dengan kata lain, YLH sebagai seorang profesor merasa tidak perlu menulis di koran, yang baginya hanya merupakan tugas mahasiswa, karena kurang bergengsi dan hanya akan mendapatkan kredit 1 per opini.

YLH juga menulis bahwa harapan HOS agar profesor menulis di media massa tidak sesuai dengan UU tugas profesor. Namun, apakah seorang profesor yang menulis di koran dinilai sebagai sesuatu yang salah bila menulis di koran tidak termasuk dalam tugas profesor sebagaimana tertuang dalam UU?
Jika salah dan karena itu profesor tidak boleh menulis di koran, maka pantaslah bila dalam tulisannya YLH ingin menunjukkan bahwa profesor tidak pantas menulis di koran karena sekali lagi, menulis di koran merupakan tugas mahasiswa, kurang bergengsi, memiliki kredit yang kecil dan tidak sesuai dengan UU. Namun ketika YLH menunjukkan ketidakpantasan seorang profesor menulis di koran melalui opininya di koran bukankah itu suatu kontradiksi?

Tulisan ini merupakan tanggapan untuk artikel Prof. Yusuf Leonard Henuk berjudul YLH: PROFESOR PENULIS DARI UNDANA. 
Dimuat di Pos Kupang edisi Rabu, 22 Juni 2011. http://kupang.tribunnews.com/read/artikel/64997/menulis-untuk-apa

No comments: