Monday, February 17, 2014

Menggugat Fungsi Kontrol DPRD Ngada

Diambil dari hlm Opini Flores Pos 13 Februari 2014

Flori Geong

            Pernyataan Wakil DPRD Ngada, Paulus Nong Watu dalam Harian Umum Flores Pos beberapa waktu lalu cukup mengejutkan. DPRD Ngada menantang Divisi Perempuan TRUK-F untuk menempu jalur hukum atas laporan yang disampaikan TRUK-F kepada DPRD Ngada tentang dugaan tindakan immoral Bupati Ngada. Alasan DPRD Ngada tidak bersikap atas laporan tersebut dan sebaliknya menantang TRUK-F adalah karena kasus ini dinilai sebagai delik aduan. DPRD Ngada pun siap mendukung TRUK-F kalau menempu jalur hukum.
            Pertanyaannya, apakah DPR hanya menerima laporan masyarakat yang masuk dalam bentuk delik umum? Dan apakah DPR hanya menjadi eksekutor untuk melanjutkan putusan hukum di pengadilan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya melihat kembali esensi laporan TRUK-F kepada DPRD Ngada dan apa yang diharapkan dari DPRD sebagai lembaga politis yang disediakan negara demokratis.
TRUK-F Bersuara
            Kasus ini telah mencuat sekitar dua tahun lalu. Akan tetapi, TRUK-F yang mendampingi korban dan beberapa kali dihubungi Bupati cukup lama juga menutup rapat hal ini. Tentu saja ada alasan mengapa TRUK-F cukup lama tidak bersuara. Salah satu alasan, sebagaimana terungkap dalam pernyataannya kemudian, korban meminta perlindungan dan pendampingan TRUK-F untuk memulihkan kondisi psikisnya yang sangat terpukul.
            Masa tenang ini kemudian berubah drastic setelah Bupati dalam berbagai kesempatan menyatakan kepada masyarakat tentang kebohongan infromasi ini. Hal ini semakin riuh  ketika salah satu klarifikasinya di hadapan masyarakat tersebar dalam bentuk video, termasuk di Youtube.
            Pernyataan MS ini kemudian memaksa TRUK-F untuk membuka suara. Setelah selama ini diam sambil mendampingi korban, TRUK-F merasa bahwa keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Kebenaran mesti diungkapkan dan kebohongan harus dihentikan. Pengungkapan kebenaran ini juga merupakan tanggung jawab moral TRUK-F terhadap masyarakat yang telah mempercayakan kekuasaannya kepada Bupati. Suara TRUK-F ini dinyatakan secara terbuka melalu media sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya pembohongan publik. Dalam hal ini, korban bukan hanya MNS tetapi juga masyarakat yang terus dibohongi.
            Kemudian muncullah berbagai persoalan termasuk aksi-aksi perlawanan terhadap PMKRI yang juga mempertanyakan kebenaran masalah ini. Sementara bupati sendiri tetap menyangkal namun tanpa menyebut TRUK-F secara langsung dan juga tidak melaporkan TRUK-F atas tuduhan pencemaran nama baik. Bupati beralasan bahwa ia tidak mau repot menanggapi hal ini karena lebih memilih mengurus masyarakat.
Alasan ini seringkali ditanggapi dengan penuh haru dan bangga oleh masyarakat. Akan tetapi tanpa menyelesaikan masalah ini, energi bupati yang katanya demi masyarakat, justru lebih banyak dikuras bupati sendiri dengan melakukan berbagai klarifikasi pada berbagai kesempatan.
Langkah Politis
            Surat TRUK-F untuk DPRD Ngada adalah suatu langkah politis yang ditempuh untuk menjernikan persoalan ini. Tentunya muncul pertanyaan: mengapa TRUK-F tidak melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum tetapi justru dilaporkan kepada DPRD Ngada yang bukan lembaga hukum tetapi lembaga politis.
            Surat TRUK-F untuk DPRD Ngada kiranya jelas bahwa ada beberapa alasan yang menjadi landasan sikap TRUK-F melaporkan masalah ini kepada DPRD Ngada. Selain karena korban belum bersedia memproses kasus ini secara hukum, sikap ini juga diambil karena klarifikasi bupati dalam berbagai kesempatan yang bertolak belakang dengan pengakuan korban. Selain itu, posisi sebagai bupati adalah posisi politis. Kekuasaannya adalah kekuasaan politis yang dipercayakan masyarakat kepadanya. Dan untuk menjami bahwa kekuasaan yang dipercayakan masyarakat itu digunakan untuk kepentingan masyarakat, maka ada lembaga politis yang bertugas mengontrolnya. DPRD Ngada adalah lembaga politis yang dipercayakan masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan itu. Dengan fungsi kontrolnya, DPRD Ngada memang mesti mengontrol penyelenggaraan kekuasaan oleh bupati. Salah satu bentuknya adalah mendengar laporan masyarakat dan meminta pertanggungjawaban bupati. Untuk itu, DPRD pun harus peka terhadap berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat, termasuk yang tersebar dalam media massa.
            Terhadap laporan yang masuk atau tersebar dalam berbagai media termasuk kenyataan yang ditemukan oleh para anggota DPR di lapangan, DPRD memang harus selektif. Dalam proses seleksi ini, mesti ada kriteria  yang digunakan. Hemat saya, dalam mengontrol kekuasaan, kriteria yang digunakan adalah apakah sesuatu terjadi atau suatu kenyataan ada karena penyelewengan kekuasaan atau tidak. Karena itu, DPRD seharusnya menanggapi persoalan yang berhubungan dengan penyelewengan kekuasaan tidak peduli itu adalah delik aduan atau bukan. Dasarnya adalah bahwa kekuasaan itu dipercayakan kepada bupati bukan untuk kepentingan pribadi, entah kekayaan atau kesenangan pribadi lainnya tetapi demi kepentingan masyarakat yang mempercayakan kekuasaan itu.
            Maka yang harus diteliti dari laporan TRUK-F adalah, apakah dugaan tindakan immoral yang dilakukan bupati itu adalah suatu bentuk penyelewengan kekuasaan atau bukan?

Penyelewengan Kekuasaan
            Masalah ini melibatkan seorang pejabat publik dengan korban adalah bawahannya. Relasi antara atasan dan bawahan adalah relasi kuasa. Dalam relasi kuasa, hubungan seksual antara atasan dan bawahan yang terjadi selalu merupakan hubungan yang timpang karena tidak setara. Maka hubungan seksual antara bupati dan bawahannya tidak bisa dilihat sebagai suatu hubungan suka-sama suka tetapi sebagai hubungan yang timpang. Dengan itu maka termasuk dalam kekerasan.
            Dan relasi kuasa yang terbentuk hanya mungkin karena bupati memiliki kekuasaan yang dipercayakan masyarakat kepadanya. Karena itu, hubungan seksual antara atasan dan bawahan sudah merupakan suatu bentuk penyelewengan kekuasaan yang dipercayakan kepada sang bupati. Di sini, bupati sedang menggunakan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya untuk kesenangan pribadi dan bukan untuk kepentingan masyarakat.
            Menjadi jelas bahwa hubungan seksual antara atasan (bupati) dan bawahannya adalah hubungan timpang dan sebagai sebuah bentuk penyelewengan kekuasaan. Terhadap dugaan penyelewengan kekuasaan itu, DPRD sebagai lembaga politis pengontrol kekuasaan sudah seharusnya memanggil Bupati untuk mengklarifikasi masalah tersebut dengan memperlihatkan bukti-bukti yang diserahkan TRUK-F. Dalam hal ini, DPRD tidak pernah boleh memandang dirinya sebagai algojo yang hanya menindaklanjuti keputusan pengadilan. Sebagai lembaga politis dengan fungsi kontrol yang diembannya, DPRD mesti meminta pertanggungjawaban bupati atas laporan TRUK-F itu.
            Karena itu, tantangan DPRD Ngada atas TRUK-F untuk melaporkan kasus ini ke pihak berwajib memang adalah hal yang wajar, tetapi dengan itu tidak berarti DPRD Ngada tidak bersikap dengan memanggil Bupati untuk meminta klarifikasinya. DPRD tidak bisa hanya menantang TRUK-F dan menanti proses hukum berlajalan lalu menjadi algojo atas putusan pengadilan. DPRD mesti mengambil sikap, tetapi bukan sebagai instansi penegak hukum tetapi sebagai instansi politis yang bertugas mengontrol kekuasaan. Sikap inilah yang belum diperlihatkan DPRD Ngada, dan dengan itu, harus dirongrong, digugat agar setidaknya wakil rakyat yang terhormat ini bisa membuka mata dan dengan serius menjalankan peran politisnya secara militan.                       


Friday, January 17, 2014

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak tahun 2013: Data Divisi Perempuan TRUK-F


Telah menjadi tradisi setiap awal tahun, Divisi Perempuan TRUK-F selalu mengeluarkan Catatan Akhir Tahun (Catau) data Kekerasan terhadap perempuan, anak dan kasus perdagangan orang atau trafficking yang terjadi di tahun 2013 dan kegiatan preventif yang dijalankan. Catatan Akhir Tahun (Catahu) merupakan bentuk tanggung jawab kepada publik dan mendorong pemerintah serta publik untuk mencegah dan memberikan perlindungan kepada korban kekerasan. Data yang dipublikasikan merupakan data pengaduan langsung dari korban dan keluarganya yang melaporkan kasusnya ke Div. Perempuan TRUK-F.
Divisi Perempuan TRUK-F merupakan salah satu lembaga layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang telah bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sikka sejak Tahun 2003. Dan tahun 2013 telah menandatangani MOU No 3/PH/HK/ 2013 dengan Pemerintah Kab Sikka. Pelayanan tersebut meliputi: penanganan pengaduan, rehabilitasi sosial dan pemulangan dan reintegrasi sosial yang merupakan amanat undang-undang perlindungan anak dan perempuan korban kekerasan. 
Data kasus kekerasan (kekerasan terhadap perempuan, anak dan kasus perdangan orang ) yang didokumentasikan Divisi Perempuan tahun 2013, sebagai serikut.
Jumlah korban kekerasan terhadap anak, perempuan dan trafficking : 104 korban dengan rincian:

1. Korban anak : 55 orang
2. Korban perempuan dewasa : 42 orang
3. Korban perdangan orang : 7 orang

1. Kasus Kekerasan Terhadap Anak 

Kekerasan psikis Kekerasan Fisik Kekerasan seksual Kekerasan ekonomi /penelantaran Jumlah kasus
42 20 15 31 104
Catatan: 1 korban dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan
- Anak korban KDRT : 43 orang atau 78,19%
- Anak yang mengalami kekerasan di mana pelakunya di luar keluarga adalah 12 orang korban atau 21,81%.
- Anak korban kekerasan seksual : 15 orang atau 7,27 %.
- 13 korban atau 86,7% yang memutuskan kasusnya diproses hukum, 2 korban atau 13,3% korban dan keluarga tidak bersedia kasusnya diproses hukum alasannya pelaku masih memiliki relasi keluarga dengan korban.
- Jumlah anak yang hamil akibat perkosaan : 4 orang atau 26,7% 
- 2 korban atau 3,63 % adalah korban disabilitas
- Data kasus 2013 menunjukan korban kekerasan seksual terjadi pada usia 5 tahun sampai dengan 17 tahun.
- 93,4 % pelaku kekerasan seksual korban kenal.

2 Kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa 
Kekerasan psikis Kekerasan
Fisik Kekerasan seksual Kekerasan eko/ 
Penelantaran Ingkar janji menikah (IJM)
Jumlah kasus
34 21 16 20 6 97

Catatan: 1 korban dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan
- Istri yang menjadi korban KDRT : 28 orang atau 66,66 %, sisianya 33,33% atau 14 korban adalah perempuan dewasa yang mengalami kekerasan di luar perkawinan.
- Perempuan dewasa yang mengalami kekerasan seksual berjumlah 16 orang atau 38,09%, 7 orang atau 43,75 % adalah istri yang mengalami kekerasan seksual dalam perkawinan (medical read). 9 orang atau 56,25 % perempuan dewasa mengalami kekerasan seksual di luar perkawinan 
- Para istri yang memutuskan kasusnya diproses secara hukum hanya 4 orang atau 14,28% dari 28 istri yang mengalami KDRT. 85, 72 %. Para istri masih cenderung memilih menyelesaikan kasusnya secara kekeluargaan dengan berbagai alasan seperti; anak, pernikahan katolik, tidak memiliki penghasilan tetap, belis, dan malu kalau cerai.
- Perempuan dewasa di luar istri yang memutuskan kasusnya di selesaikan secara hukum berjumlah 10 orang atau 71,42% dari 14 orang korban.
- Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dewasa yang telah di sidangkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap berjumlah 15 kasus.
• Putusan Pengadilan berkisar dari 4 tahun – 9 tahun.
• Kasus KDRT berkisar dari 1 tahun – 1 tahun 6 bulan
• Kasus penganiayaan berkisar dari 6 bulan tahanan – 1, 5 bulan
• Kasus tipiring 8 bulan percobaan. 
- Ada 5 daerah asal korban yang terbanyak mengakses layanan pengaduan pada Div. Perempuan TRUK-F; Alok, Alok Timur, Kewapante, Alok Barat dan Paga.
- Tingkat pendidikan pelaku bervariasi mulai dari SD – S1
- Profesi pelaku kekerasan bervariasi mulai dari buruh, nelayan, sopir, ojek, guru, anggota TNI, PNS, pengawai swasta, wiraswasta, kepalah desa.

 3. Kasus Perdagangan Orang (Traffciking)
- Dari 7 korban perdagangan orang (4 korban anak dan 3 korban perempuan dewasa)
- 6 orang perempuan dan anak yang direkrut secara ilegal kemudian dipekerjaan di pub untuk tujuan seksual
- 1 korban dijual oleh suami sendiri dengan modus, janji korban akan di nikahi.
- Ke- 7 korban berasal dari luar Flores ( Manado, Makasar dan Kefamenanu)
- Dari 7 korban trafficking hanya 4 orang (57,14%) yang kasusnya di proses secara hukum di daerah asal korban. Kasus tersebut terungkap dan dapat diproses hukum atas laporan polisi dari orang tua korban.
- 2 korban perempuan dewasa telah dikembalikan ke daerah asal
- dan 1 korban perempuan dewasa memutuskan layanan dari Div. Perempuan TRUK-F.

- Div.Perempuan TRUK-F sebagai lembaga layanan memiliki fasilitas Rumah Aman atau Shelter.
Data korban yang mengakses layanan shelter selama tahun 2013 sebagai berikut;
• Korban bayi : 6 orang
• Korban anak : 19 orang
• Korban perempuan dewasa : 9 orang
Jumlah 34 orang
- Data korban yang mendapat pelayanan rehabilitasi kesehatan berupa: rawat nginap, pengobatan, pemeriksaan, imunisasi ibu hamil dan bayi: 14 orang
- Data korban yang mendapat bantuan dana pemberdayaan ekonomi: 18 orang 

Rincian Data Kasus Kekerasan Seksual berdasarkan 15 jenis kekerasan seksual 
Perkosaan 24
Pelecehan seksual 2
Eksploitasi sexsual 1
Kawin paksa 2
Incest 1
Pemaksaan aborsi 1
Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual 7
Total 38 kasus