Monday, September 30, 2013

PUB: Pembeda yang Berbeda

Sebagaimana telah saya paparkan sebelumnya, perdagangan orang di Flores sangatlah mencemaskan. Khusus untuk Maumere, statistik korban perdagangan orang yang ditangani Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores cenderung meningkat setiap tahunnya. Dan yang paling mencemaskan adalah tindak pidana perdagangan orang yang melibatkan PUB-PUB di Maumere.

Sebelumnya saya sendiri hanya mendengarkan saja hal-hal itu dengan sedikit keheranan di kepala saya. Setahu saya, PUB adalah tempat untuk rekreasi, tempat yang memiliki izinan keramaian untuk karaoke dan juga sebagai tempat yang memiliki izinan untuk minuman beralkohol. Artinya, di tengah masyarakat NTT yang suka berpesta dengan musik-musik yang keras hingga melupakan kebutuhan orang lain akan ketenangan, kehadiran PUB adalah suatu kritikan.

PUB menjadi sebuah kritikan bagi masyarakat karena untuk suatu keramaian seperti pesta haruslah mendapatkan izinan. PUB sebagai tempat yang mendapat izinan keramaian diwajibkan untuk memenuhi peraturan yang ditetapkan agar suara bising tidak menggangu masyarakat sekitar. PUB-PUB diwajibkan untuk dibangun dengan pagar tembok tinggi dan memiliki peredam suara. Selain itu, PUB-PUB juga beroperasi dengan batas waktu tertentu, hingga pukul 00.00 waktu setempat.

Demikian pula sebagai tempat resmi untuk minuman beralkohol, kehadiran PUB menjadi pembeda dalam masyarakat yang sering minum minuman beralkhol di sembarang tempat hingga tidak jarang menimbulkan kekacauan karena mabuk. Bukan berita lagi kalau banyak keributan dan perkelahian bahkan hingga menyebabkan orang lain mati dipicu oleh mabuk minuman beralkohol. Ada banyak kecelakaan lalu lintas juga disebabkan oleh minuman beralkohol.

Dalam kondisi seperti ini, kehadiran PUB adalah suatu pembeda dalam masyarakat. Kehadiran PUB mengingatkan kita bahwa ada banyak orang yang membutuhkan ketenangan dan karena itu seharusnya ada izinan sebelum melakukan aktivitas yang menimbulkan keramaian. Artinya, pesta dengan musik keras tidak asal dibuat tanpa mempertimbangkan pihak lain yang membutuhkan ketenangan. Selain itu, PUB juga mengingatkan kita bahwa minuman beralkohol bisa menimbulkan masalah jika diminum pada sembarangan tempat. Selain itu, PUB mengingatkan kita akan usia orang yang boleh minum minuman beralkohol.

Akan tetapi, sisi positif PUB akhirnya sirna karena kebanyakan PUB tidak menjalankan aktivitas sesuai izinan. Kenyataan ada banyak PUB yang didirikan tanpa memenuhi persyaratan yang ditentukan. Ada PUB yang beroperasi tanpa batas waktu yang jelas bahkan sepanjang malam. Selain itu, bangunan PUB yang tidak dilengkapi dengan peredam suara menyebabkan masyarakat sekitar terganggu oleh kebisingan suara musik dari PUB.

Tentang hal ini saya teringat akan kesaksian beberapa siswa SMP Frater Maumere dalam kesempatan sosialisasi dari Panitia RAN HAM kabupaten Sikka. Sebelum memaparkan bahan sosialisasi tentang trafficking, saya bertanya kepada para siswa peserta sosialisasi: "Apakah ada yang tinggal di sekitar PUB?" Dengan spontan, beberapa siswa mengangkat tangan dan langsung mengeluh "Kami susah tidur karena musik dari PUB selalu menggangu kami. Selain itu, kami juga sulit untuk belajar dengan baik".

Akhirnya, PUB yang adalah pembeda dalam masyarakat kita, kini berbeda dari seharusnya. PUB berbeda karena beroperasi tidak sesuai dengan izinannya.

Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Harus ada mekanisme kontrol yang memadai agar PUB-PUB tidak keluar rel dan akhirnya menimbulkan masalah baru. Kontrol menjadi sangat penting dalam menyehatkan PUB-PUB yang ada. Tanpa kontrol, persoalan seperti perdagangan orang sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya akan terus terjadi. Dan korban perdagangan orang pun akan semakin berjatuhan. Sebagaimana kesaksian korban perdagangan orang di PUB-PUB, ada banyak masalah yang dihadapi para gadis yang bekerja di PUB. (tentang kesaksian korban di PUB akan saya paparkan dalam tulisan lain).

Sunday, September 29, 2013

Perdagangan Orang, masalah serius di Flores

Sindikat perdagangan orang atau human trafficking terus melahirkan banyak korban. Lahirnya UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sepertinya belum mampu mengatasi masalah ini. Setiap tahunnya ada banyak orang yang menjadi korban. Data kasus perdangangan orang yang ditangani Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores saja menunjukkan angka yang sangat mengkawatirkan.
tentu saja data ini tidak menunjukkan keadaan yang sesungguhnya. Jumlah korban perdagangan orang  tentu jauh lebih banyak dari apa yang ditangani oleh TRUK-F. Dan yang sangat rentan menjadi korban adalah perempuan dan anak.


Bukan rahasia lagi kalau banyak perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan orang dieksploitasi secara seksual. Dan untuk wilayah Kabupaten Sikka, eksploitasi seksual pada perempuan dan anak menjadi satu isu yang sangat mencemaskan.Persoalan perdagangan orang di Sikka kini melibatkan PUB-PUB di kota Maumere. Next



Anak-Anak di PUB

Lanjutan tentang Perdagangan Orang
Geliat perdagangan orang dan eksploitasi seksual di Sikka saat ini erat kaitannya dengan PUB-PUB yang ada di Maumere. Jika kita menyusuri pantai utara kota Maumere, kita akan melihat belasan PUB berjejer. Meski harus tetap diakui bahwa PUB-PUB itu memiliki nilai positif sebagai tempat yang mengakomodasi keingingan masyarakat akan rekreasi (tempat sah untuk berkaraoke dan minum-minuman beralkohol), eksploitasi terhadap perempuan dan anak di PUB-PUB tersebut adalah persoalan serius yang patut segera ditanggapi.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Divisi Perempuan TRUK-F telah menangani belasan anak korban perdagangan orang yang dipekerjakan di PUB-PUB di Maumere.


Sekali lagi, tentu saja data ini adalah puncak gunung es yang bisa kita ketahui karena korban meminta bantuan TRUK-F. Ada banyak korban yang tidak kita ketahui. Tentang hal ini, saya teringat akan suatu kejadian pada akhir Juni 2013 lalu. Saat itu, Divisi Perempuan TRUK-F sedang menangani tiga orang anak (15 dan 16 tahun) yang dijemput Polisi pada Polres Sikka dari salah satu PUB di Maumere. Ketiga anak ini dijemput polisi atas laporan keluarga mereka di Makasar.

Ketiga anak tersebut masih sekolah di salah satu SMA di Makasar. Ketiganya direkrut dengan janji akan bekerja di sebuah restoran selama sebulan di Denpasar. Dengan iming-iming gaji yang tinggi, ketiga anak ini pun setuju dan mengikuti sang calo. Ternyata mereka dibawa ke Maumere dan dipekerjakan di sebuah PUB di Maumere. Selama di PUB mereka bersama belasan gadis lainnya dieksploitasi hingga ketiganya tidak tahan dan segera menginformasikan kepada keluarganya di Makasar. Tepat dua minggu mereka bekerja di PUB tersebut, polisi menjemput ketiganya.

Divisi Perempuan TRUK-F yang memiliki shelter satu-satunya di Maumere akhirnya menjadi tempat penampungan sementara bagi ketiga anak ini sambil menunggu jadwal pemulangan. Karena ini masih ada beberapa orang anak yang ada di PUB tersebut, pihak kepolisian langsung kembali ke PUB tersebut. Di sana pihak PUB berjanji akan segera memulangkan anak-anak di bawah umur. Benarlah, dua hari kemudian, 7 orang anak di bawah umur dikirim pulang via kapal laut.




 Kenyataan seperti ini memperjelas bahwa tindak pidana perdagangan orang di Sikka yang melibatkan PUB-PUB sangatlah tinggi.  Akan tetapi, selama beberapa tahun ini, kebanyakan korban dari PUB hanya dipulangkan tanpa proses hukum. Padahal UU No 21 Tahun 2007 memiliki banyak terobosan yang memudahkan proses hukum kasus trafficking. Hal ini menjadi persoalan karena pihak kepolisian masih "belum terbiasa" dengan UU yang baru itu dan masih menggunakan KUHAP. Akibatnya untuk pembuktian menjadi sulit. Kalau menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), hanya dibutuhkan dua alat bukti sedangkan dalam KUHAP harus lima alat bukti agar suatu kasus bisa diproses lebih lanjut.

Selain itu, korban masih belum berani untuk memproses kasusnya. Hal ini disebabkan adanya rasa malu karena sudah bekerja di tempat-tempat seperti itu. Bagi korban, kalau informasi bahwa mereka pernah bekerja di PUB tersebar maka masyarakat akan selalu memandang mereka sebagai perempuan "tidak baik". Hal ini membuat mereka tidak berani untuk memproses kasus yang dialaminya.

Thursday, September 26, 2013

Perempuan bukan Pelayan

suatu siang yang biasa, panas mentari terasa luar biasa membakar kesejukan yang kunikmati sejak pagi ini. Mengisi kegalauan siang itu, kuambil Pos Kupang dan menemukan berita tentang perebutan kursi Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.

Bagi saya, dunia politik di Indonesia sudah melorot hingga ke titik nadir. Karenanya, harapan lahirnya suatu semangat baru dengan sistem politik baru pun selalu memenuhi angan-anganku. Dan harapan itu saya tumpahkan pada lembaga pendidikan. Terlepas dari berbagai persoalan besar yang dihadapi dunia pendidikan kita, harapan akan munculnya perubahan dari  dunia pendidikan tetap tak tergantikan. Harapan ini tentu bukan tanpa alasan. Dunia pendidikan bagiku adalah tempat ilmu dipikirkan sebagai ilmu, ilmu dikonfrontasikan dengan kenyataan, ilmu diaplikasikan dalam kenyataan, dan kenyataan dipikirkan sebagai ilmu. Dengan demikian dunia pendidikan bisa meningkatkan ilmu pengetahuan setiap saat, tetapi juga dapat mendorong lahirnya dunia kehidupan yang lebih dari waktu ke waktu.

Atas dasar pandangan seperti ini, ketika cahaya dari korang Pos Kupang edisi 22 itu dipantulkan dan mengenai retina mata saya, tanganku yang biasanya tidak tenang kalau sedang membaca koran dipaksa untuk membatu. Terasa aliran darah begitu deras menuju kepalaku, memberikan suatu semangat tersendiri untuk melahap informasi itu.

Sayang semangat itu akhirnya membakar amarah di dada hingga aliran darah berdesir deras memenuhi dada.

Mungkin saya salah terlalu mengidolakan dunia pendidikan meski tahu bahwa dunia pendidikan sedang bermasalah dan bahkan lebih buruk dari politik di republik ini. Saya kadang berpikir, mungkin saya termasuk dalam golongan yang ingin merengkuh gelar dalam dunia pendidikan agar bisa mendapatkan pekerjaan. Ya dunia pekerjaan di Indonesia ini lebih mementingkan gelar dari pada keahlian, seolah-olah gelar yang tinggi selalu berjalan lurus dengan keahliannya.

Kembali ke dadaku yang sesak oleh amarah dan keheranan, sebagai seorang relawan yang sering berbicara dan memperjuangkan kesetaraan gender, membaca tanggapan seorang calon rektor Undana yang melihat bahwa perempuan itu tidak cocok menduduki jabatan penting karena akan lebih banyak mengurus rumah, anak dan suami, pikiran saya seperti tertabrak pada sebuah gunung pertanyaan.

Seakan tak percaya, mata saya kembali memelototi kalimat tersebut:

"....Sulit karena apabila pembantu rektor perempuan atau dari gender, maka akan sibuk dengan urusan lain seperti mengurus rumah, anak bahwakn suami sehingga nanti banyak minta izin dan pulan." demikian tangapan profesor YLH, salah satu calon rektor Undana sebagaimana ditulis Pos Kupang.

Kali ini, kepalaku terasa bermahkotakan beribu bintang, aku pusing karena kebingungan.
Di zaman dengan perjuangan kesetaraan gender yang sangat bergelora ini, cukup heran juga masih ada orang-orang dalam dunia pendidikan yang berpikiran bias gender.

Ingatan saya terbawa pada kisah-kisah masa lampau dalam masyarakat NTT ini. Dalam sebagian besar budaya NTT, perempuan tidak punya tempat dalam urusan pengambil kebijakan. Hidup perempuan lebih banyak berada di dapur dan berbagai pekerjaan domestik lainnya. Ini bukan karena perempuan tidak berkualitas, tetapi tidak diberikan posisi dalam pengambilan kebijakan hanya karena terlahir sebagai perempuan. Perempuan akhirnya hanya dilihat sebagai pembantu atau pelayan.

Kalau sekarang ada kebijakan affirmative action di Indonesia dengan kuota minimal 30 % perempuan dalam partai politik dan caleg di setiap daerah pemilihan, ini adalah suatu langkah baru yang harus selalu dikontrol. Sebab kebijakan affirmative action yang merupakan suatu bentuk intervensi positif agar perempuan mendapat peluang yang lebih besar justru bisa menjadi lahan baru memperalat perempuan sebagai pelayan. Ya kalau kuota 30% tersebut tidak dikontrol, maka pemenuhan kuota 30% tersebut seringkali hanya untuk memenuhi UU. Artinya perempuan diperalat untuk memenuhi ketentuan UU. Banyak perempuan direkrut seadanya saja, tanpa suatu kaderisasi, yang penting memenuhi ketentuan UU dan dengan demikian kepentingan penguasa politik selama ini tetap terjaga.

Kembali ke dunia pendidikan. Masalah ketidaksetaraan gender sudah menjadi masalah mondial dan bahan kajian dunia pendidikan. Pertanyaannya apakah dunia pendidikan di Indonesia dan NTT khususnya bisa lebih dalam lagi mengkaji persoalan gender ini sehingga bisa melahirkan suasana baru bagi masyarakat NTT??? Harapan besar tentunya berada di pundak para pegiat pendidikan agar budaya yang selama ini sering menyebabkan lahirnya kekerasan terhadap perempuan karena berbasiskan pandangan yang bias gender bisa diubah dengan budaya yang lebih menghargai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Friday, September 20, 2013

Keturunan Pendiri Taj Mahal hidup dalam kemiskinan

Walter Benjamin pernah katakan kalau sejarah itu adalah tentang para pemenang. Pertanyaannya adalah siapakah pemenang itu? apakah mereka yang bisa meninggalkan jejak untuk dikenang sebagai sejarah? lalu jejak seperti apa yang bisa dikenang? 
kisah kemiskinan yang melekat dalam hidup keturunan pendiri Taj Mahal di India ini bisa menjadi pintu masuk ke dalam refleksi itu. 
Sejarah memang adalah tentang para pemenang yang bisa membuat orang mengenang. Tetapi sejarah bukan saja sesuatu yang sudah lampau tetapi juga apa yang ada sekarang ini yang diwariskan dari masa lampau. kalau keluarga pendiri Taj Mahal ini hidup miskin, itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang kalah dan yang dikalahkan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan keindahan Taj Mahal untuk keagungan  dirinya tanpa memperhatikan bagaimana bangunan indah itu ada. Mereka kalah karena dilupakan. 
Ini sudah menjadi kebiasaan dalam dunia ini. Banyak orang yang sukses dan berbangga atas kesuksesannya tetapi melupakan bahwa kesuksesannya adalah buah karya sekian banyak orang dalam hidupnya. Atau kita yang hidup saat ini bisa menikmati berbagai jenis obat-obatan yang sangat membantu menyembuhkan berbagai jenis penyakit seringkali melupakan sekian banyak orang yang menjadi korban dari percobaan obat-obatan itu pada awal digunakan untuk manusia. 
Lupa memang penyakit yang semakin mengorbankan para korban. Terangkatnya berita kemiskinan keluarga pendiri Taj Mahal ini kiranya menjadi obat lupa yang bisa mengingatkan kita akan korban yang telah berjasa bagi kita saat ini. Kalau pemerintah India berupaya untuk mengobati penyakit lupa dengan membantu keluarga pendiri Taj Mahal karena ada berita tentangnya, diharapkan pemerintah Indonesia pun bisa peduli dengan banyaknya korban yang berjatuhan di Indonesia ini karena keserakahan pihak-pihak tertentu. Mungkin berita tentang kemiskinan masyarakat Indonesia bisa menggerakkan pemerintah untuk peduli terhadap masyarakatnya yang telah membiayai hidup para pejabat itu sendiri.

 Kita semua tentu mengetahui bangunan megah di India yang bernama Taj Mahal. Monumen cinta yang luar biasa tersebut dibangun oleh Mughal Shāh Jahān dari kekaisaran Mughal demi mengenang sang istri. Namun siapa sangka keturunan dari kekaisaran Mughal yang begitu tersohor dan terkenal dengan berbagai peninggalannya itu kini harus berjuang hidup dalam kemiskinan di India. Ia hanya mengandalkan uang pensiun yang tidak seberapa untuk menghidupi keluarganya.

Sultana Begum, 60 tahun, merupakan istri Pangeran Mirza Bedar Bukht yang merupakan cicit dari Bahadur Shah Zafar sang kaisar terakhir kekaisaran Mughal. Sejak kematian sang suami pada 1980, Sultana harus rela menjalani kehidupannya dalam kemiskinan. Tempat tinggalnya bukanlah sebuah istana nan megah melainkan sebuah gubuk kecil berkamar dua yang ada di daerah Howrah, sebuah kawasan kumuh di Kolkata (dulu dikenal dengan nama Kalkuta).
Untuk memasak, Sultana harus rela berbagi dapur bersama dengan tetangganya yang lain. Untuk mencuci pun ia harus menggunakan fasilitas keran air umum. Ia menggatungkan hidupnya dari uang pensiun yang hanya berjumlah 6.000 rupee, atau sekitar Rp 1 juta, per bulan. Uang sebesar itu harus dia gunakan untuk mencukupi biaya kehidupannya dan mendukung biaya kehidupan keenam anaknya. "Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kami semua bisa bertahan hidup," kata Sultana seperti dilansir Daily Mail.

Saat ini Sultana hanya tinggal dengan seorang anaknya yang belum menikah, Madhu Begum."Putri-putri saya yang lain dan suami mereka adalah orang-orang miskin. Mereka hanya bisa menanggung diri sendiri sehingga tidak bisa membantu kami," ujarnya. Melihat kehidupan Sultana yang memperihatinkan, banyak aktivis di India yang mendesak pemerintah untuk turun tangan memberikan bantuan, apalagi kerajaan Mughal yang merupakan leluhur suami Sultana harus hancur karena melawan penjajahan Inggris terhadap India.

Pemerintah India sendiri pada akhirnya memberikan pekerjaan pada salah satu cucu Sultana, Roshan Ara. Roshan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan yaitu sebesar 15.000 rupee, sekitar Rp 2,7 juta. Hanya saja sebagian besar keturunan Sultana buta huruf sehingga tidak memenuhi syarat untuk bekerja.

Lirik Lagu Tears In Heaven – Eric Clapton


Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
I must be strong, and carry on
Cause I know I don’t belong
Here in heaven
Would you hold my hand
If I saw you in heaven
Would you help me stand
If I saw you in heaven
I’ll find my way, through night and day
Cause I know I just can’t stay
Here in heaven
Time can bring you down
Time can bend your knee
Time can break your heart
Have you begging please
Begging please
(instrumental)
Beyond the door
There’s peace I’m sure
And I know there’ll be no more…
Tears in heaven
Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
I must be strong, and carry on
Cause I know I don’t belong
Here in heaven
Cause I know I don’t belong
Here in heaven


video

Monday, September 16, 2013

Amazing Grace, F Xavier Ledalero and Yenny Kabupung

this song, is one of the 10 songs of F. Xavier Ledalero Group in the Album called O Amang. F Xavier Ledalero group dedicated this album to those who died in the tragedy of Cape Sada Watu Manu after attending an ordination mass of a new priest in Palue Island.

F. Xavier Group is a part of Seminary of Ledalero. And Ledalero is the biggest one of the seminary all around the world. Every year, there are about more that 200 young men who study there as the candidate of priest. On 2012, Ledalero celebrate the 75th anniversary. see the documentary film on the 75th anniversary of Ledalero

Sunday, September 15, 2013

Flores, a beautiful island

Flores is a paradise. You will find many beautiful thing there and you will meet with the very meek and humble people. how to be there?

Sunday, September 8, 2013

Wairhubing Beach




WAIRHUBING BEACH
Eco cottages & resto
Jl Nai Roa  Km 3 Telp : +62 082340052933
Maumere – flores - NTT


Located on the seaside only 3 km from Maumere town and 5 minutes from the airport, a  pleasant place for relax, swimming and sun bamboo chair, coral reef on the front. its beautiful, sunrise and sunset, a single cottages with sea view,sunrise and sunset , with a beautiful garden, under the coconut trees, restaurant open air dinner while look a lots stars with moon light.
  See details here.
From Maumere, you can go to another place in Flores easy. You can go to Manggarai with a very unique form of rise field named Spider Webs Fields
You also can go to see Komodo (Varanus Comodensis) or here
o