Wednesday, May 22, 2013

HAKIM PERDAMAIAN ADAT VS KASUS PELECAHAN SEKSUAL
Ence Geong
Staf Divisi Perempuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F)
(Flores Pos 26 April 2013, hlm. 12)
            Awal Maret lalu, dugaan adanya pelecehan seksual oleh seorang ketua RT di pinggiran kota Maumere, Kabupaten Sikka merebak ke permukaan. Gonjang-ganjing terkait pelecehan seksual oleh ketua RT tersebut menyebar begitu cepat, hingga pada pagi Sabtu 9 Maret lalu, informasi itu sampai ke Div. Perempuan TRUK-F. TRUK-F langsung saja menuju ke daerah tersebut dan menemui beberapa orang yang kemudian diketahui sebagai saksi yang mendengarkan kejadian tersebut secara langsung dari korban setelah kejadian.
            Berdasarkan observasi tersebut, diketahui bahwa hidup sang korban sangatlah memprihatinkan. Sang korban merupakan keponakan kandung dari pelaku tersebut. Dan kejadian ini bukan hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Lebih menyedihkan lagi karena kejadian serupa pernah dialami korban sehingga pelakunya, ayah kandungnya sendiri mendekam di penjara. Ibunya telah meninggal, sementara bapaknya dipenjara. Usia korban berkisar antara 13-16 tahun.
 Setelah mendapatkan cukup banyak informasi yang menguatkan adanya dugaan pelecehan seksual tersebut, TRUK-F yang bukan merupakan merupakan bagian dari institusi pemerintahan berupaya menanyakan persoalan tersebut kepada Kepolisian di kecamatan tersebut.  Pihak kepolisian setempat pun, meskipun terhalang oleh berbagai kesibukan mengawal kampanye Pilkada Sikka dan Pilgub NTT, bergerak cepat mencari tahu kebenaran informasi. Informasi yang didapat pihak kepolisian pun menguatkan dugaan tersebut. Akan tetapi, pihak kepolisian mengatakan bahwa mereka tidak bisa langsung mengambil tindakan karena belum ada laporan dari korban atau keluarga.
            Menyadari bahwa TRUK-F bukanlah Negara yang memiliki kewenangan untuk melindungi warganya jika tidak ada permintaan dari korban untuk dilindungi, pada Jumat 15 Maret TRUK-F bertemu dengan Camat di wilayah tersebut. Sang Camat dengan penuh antusias mendengarkan informasi tersebut sekaligus bersemangat untuk menyelesaikan kasus itu sesegera mungkin. Bagi sang Camat, tindakan yang dilakukan aparatnya (ketua RT) tersebut merupakan suatu kejahatan yang menjadi perhatian dan tanggung jawabnya. TRUK-F sendiri telah menyampaikan kesediaan untuk mendampingi korban yang tentu saja mengalami trauma. Harapan TRUK-F sang camat sebagai institusi Negara yang bertanggung jawab melindungi rakyatnya dapat memfasilitasi pemindahan korban dari tempat kejadian ke Shelter milik TRUK-F agar mendapat pendampingan psikis. Sang camat berjanji akan menelpon TRUK-F paling lambat dalam dua hari ke depan.
            Sayangnya, masalah ini tenggelam dalam gema pilkada dan pilgub, dan sang Camat entah karena sibuk atau lupa, tidak pernah menginformasikan kembali hal ini kepada TRUK-F. Maka pada 31 Maret lalu, TRUK-F berkoordinasi dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kab. Sikka kembali ke kecamatan tersebut. Di kantor camat, bapak camat sedang tidak ada di tempat, dan kami hanya bisa bertemu Sekertaris Camat (Sekcam). Sekcam kemudian sibuk menelpon bapak Camat sendiri dan kemudian kepala desa setempat. Via telpon, sang camat meminta TRUK-F dan BPPKB untuk membiarkan proses ini diselesaikan secara adat dan pihak kecamatan akan tetap mengawasi hal ini. Sementara dari kepala desa, diketahui  bahwa ternyata masalah ini telah diselesaikan secara adat oleh hakim perdamaian adat di desa setempat. Hakim perdamaian adat memutuskan agar sang korban harus diungsikan (baca: diusir) dari desa setempat sedangkan sang pelaku dibiarkan untuk tetap tinggal di tempatnya karena memiliki tanggungan untuk istri dan anak. Dan sang kepala desa sendiri tidak tahu di mana keberadaan korban tersebut sekarang.
Dalam proses adat, pelaku dan korban dihadapkan pada para penatua adat desa dan juga para tokoh masyarakat setempat. Di hadapan mereka semua, pelaku dan korban diselidiki sebelum dijatuhi putusan. Ini sangat disayangkan, karena korban yang sudah menjadi korban mesti menahan malu di hadapan banyak orang. Dalam putusan adat, sang pelaku tidak dikenai sanksi material karena seturut para hakim perdamaian desa jika diberikan sanksi material maka yang akan menerimanya adalah pihak pelaku sendiri, karena korban adalah keluarga dekat pelaku. Dan salah satu butir dalam Perdes di desa setempat berbunyi: Ali Abo Papan Kewe yang artinya barang siapa besok atau lusa menggembar-gemborkan lagi masalah ini, maka dia akan berhadapan lagi dengan Lembaga Adat Desa dan sanksinya adalah Riwa Likat yang artinya didenda dengan cara membayar ke kelayak ramai.
Viktimisasi Korban
Menghadirkan korban di hadapan para pemuka adat dan tokoh masyarakat sungguh mengabaikan kondisi psikologis korban. Hal ini sangat berbeda dengan proses di pengadilan umum, dimana untuk kasus pelecehan seksual anak diadakan sidang secara tertutup. Pengadilan terbuka seperti di atas tentu saja menambah beban psikologis anak. Ia yang sudah menjadi korban harus menahan malu di hadapan banyak orang. Hal ini bertentangan dengan Bab III Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”
Selain itu, putusan para hakim perdamaian desa di atas sungguh jauh dari rasa keadilan. Pelaku hanya perlu menanggung biaya konsumsi dalam upacara adat tersebut dan menahan malu berjalan keliling kampung sambil berteriak agar semua masyarakat jangan mengikuti apa yang telah dilakukannya dan bahwa dia telah bertobat. Selain itu, dalam proses tobo toak (sebagai lambang pemusnahan segala hal buruk yang telah dilakukan pelaku) pelaku pun hanya perlu membiarkan tanaman-tanaman di depan rumahnya ditebang dan dalam proses Demu Retu, pelaku hanya perlu merelakan beberapa potong pakaiannya dibakar bersama pakaian korban dan semua tanaman yang telah ditebang. Itu saja.
Sedangkan korban, setelah menjadi korban tindakan bejat pelaku, korban mesti menjadi korban secara psikis karena mesti menahan malu di hadapan masyarakat yang menyaksikan putusan adat itu. Selain itu, korban mesti kehilangan pakaiannya untuk dibakar bersama pakaian pelaku. Dan akhirnya korban “diusir” (dipindahkan) dari lingkungannya. Pertanyaannya; mengapa harus korban yang “diusir” dari lingkungan hidupnya selama ini?
            Kita tentu saja bisa melihat bahwa pemindahan korban sebagai sebuah jalan keluar agar korban tidak diintimidasi pelaku pada waktu yang akan datang. Selain itu, pemindahan korban bisa dipandang sebagai cara untuk mengurangi rasa malu korban di hadapan masyarakat yang telah mengetahui persoalannya. Ingatlah bahwa persoalan seperti ini masih dianggap tabu oleh masyarakat dan dilihat sebagai sebuah peristiwa memalukan bahkan bila kita berada pada posisi sebagai korban. Karena itu, dalam pandangan masyarakat, korban tentu saja malu atau harus malu seolah-olah korban turut bersalah atas kejadian tersebut sehingga korban harus merasa malu. Bagi masyarakat kita, orang yang menjadi korban dipandang sebelah mata sebagai orang yang memiliki kekurangan sehingga patut merasa malu. Untuk itu, korban mesti dipindahkan ke tempat lain yang belum mengetahui persoalannya itu. Ini bisa dilihat sebagai sebentuk penyelamatan atas korban untuk mengurangi rasa malunya sehingga ia bisa bersosialisasi dengan masyarakat.
            Akan tetapi ‘menyelamatkan’ korban keluar dari lingkungan yang mengetahui “kekurangannya” tidak bisa memenuhi rasa keadilan. Orang sudah menjadi korban malah diusir dari lingkungannya dengan dalih sebagai upaya penyelamatan. Sementara pelaku diperbolehkan tetap tinggal di lingkungannya tanpa sanksi yang lebih berat selain rasa malu. Ini menjadi problematis karena proses dan putusan pengadilan adat tidak memberi keuntungan kepada sang korban malah berkasihani dengan sang pelaku. Bagi saya ini adalah sebuah bentuk viktimisasi korban yang sungguh menyedihkan. Korban yang telah menderita, kini harus dikorbankan lagi dan lagi.
            Selain itu, putusan adat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup korban pada waktu mendatang. Hakim perdamaian adat hanya memutuskan bahwa korban harus diungsikan, tetapi lupa memikirkan bagaimana tanggung jawab pelaku atas kehidupan selanjutnya. Tanpa ada denda material, korban tidak mendapat ganti rugi yang bisa sedikit memenuhi rasa keadilan. Sekali lagi korban akhirnya dikorbankan kembali.
           
Hakim Perdamaian Adat VS Kasus Pelecehan seksual
            Kasus ini hendaknya menjadi pintu masuk untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada korban. Dan dalam konteks ini, penulis ingin mempertanyakan kebijakan di desa yang memperbolehkan hakim Perdamaian Adat di desa untuk menyelesaikan semua kasus yang ada termasuk pelecehan seksual terhadap anak. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mempersalahkan para hakim perdamaian adat, tetapi untuk melihat bagaimana seharusnya menangani kasus-kasus dalam masyarakat. Keberadaan hakim perdamaian adat tentu saja sangat penting dan dapat membantu menyelesaikan berbagai kasus yang ada dalam masyarakat. Namun, pertanyaannya kasus-kasus apa yang boleh ditangani hakim perdamaian adat?
            Peraturan Desa (Perdes) di desa setempat yang mengukuhkan peranan lembaga adat dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat tidak secara rinci membeberkan jenis kasus yang boleh ditangani hakim perdamaian desa. Akan tetapi hal ini tidak membenarkan bahwa semua kasus bisa diselesaikan pada tingkat pengadilan adat. Hakim perdamaian adat di desa yang disahkan dalam perdes berperan sebagai lembaga perdamaian. Dengan kata lain, hakim perdamaian adat berfungsi menangani masalah secara non litigasi. Itu berarti, penyelesaian secara adat tidak menghilangkan unsur pidananya. Dalam kasus ini, larangan untuk mengangkat kasus ini pada waktu yang akan datang akan disanksi berarti menutup persoalan ini sekaligus meniadakan unsur pidananya.
            Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengatur tentang hierarki perundangundangan di Indonesia. Dan hierarki ini diatur berdasarkan prinsip Lex superior derogat legi inferiori yang berarti peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Berdasarkan prinsip ini, tata cara pengadilan di desa tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Maka dalam proses penyelesaian adat yang menghadirkan korban anak secara terbuka di hadapan publik mesti gugur karena bertentangan dengan Bab III Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan ini menjadi jelas bahwa tidak semua kasus boleh diselesaikan di tingkat desa. Karena itu, agar kejadian ini tidak muncul lagi pada waktu yang akan datang, perdes-perdes di desa mesti secara jelas menunjukkan jenis kasus yang boleh ditangani oleh hakim perdamaian adat di desa.

No comments: