HAKIM PERDAMAIAN ADAT VS KASUS
PELECAHAN SEKSUAL
Ence Geong
Staf Divisi Perempuan Tim Relawan untuk Kemanusiaan
Flores (TRUK-F)
(Flores Pos 26 April 2013, hlm. 12)
(Flores Pos 26 April 2013, hlm. 12)
Awal
Maret lalu, dugaan adanya pelecehan seksual oleh seorang ketua RT di pinggiran
kota Maumere, Kabupaten Sikka merebak ke permukaan. Gonjang-ganjing terkait pelecehan
seksual oleh ketua RT tersebut menyebar begitu cepat, hingga pada pagi Sabtu 9
Maret lalu, informasi itu sampai ke Div. Perempuan TRUK-F. TRUK-F langsung saja
menuju ke daerah tersebut dan menemui beberapa orang yang kemudian diketahui
sebagai saksi yang mendengarkan kejadian tersebut secara langsung dari korban
setelah kejadian.
Berdasarkan
observasi tersebut, diketahui bahwa hidup sang korban sangatlah memprihatinkan.
Sang korban merupakan keponakan kandung dari pelaku tersebut. Dan kejadian ini
bukan hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Lebih menyedihkan lagi karena
kejadian serupa pernah dialami korban sehingga pelakunya, ayah kandungnya
sendiri mendekam di penjara. Ibunya telah meninggal, sementara bapaknya
dipenjara. Usia korban berkisar antara 13-16 tahun.
Setelah mendapatkan cukup banyak informasi
yang menguatkan adanya dugaan pelecehan seksual tersebut, TRUK-F yang bukan
merupakan merupakan bagian dari institusi pemerintahan berupaya menanyakan
persoalan tersebut kepada Kepolisian di kecamatan tersebut. Pihak kepolisian setempat pun, meskipun
terhalang oleh berbagai kesibukan mengawal kampanye Pilkada Sikka dan Pilgub
NTT, bergerak cepat mencari tahu kebenaran informasi. Informasi yang didapat
pihak kepolisian pun menguatkan dugaan tersebut. Akan tetapi, pihak kepolisian
mengatakan bahwa mereka tidak bisa langsung mengambil tindakan karena belum ada
laporan dari korban atau keluarga.
Menyadari
bahwa TRUK-F bukanlah Negara yang memiliki kewenangan untuk melindungi warganya
jika tidak ada permintaan dari korban untuk dilindungi, pada Jumat 15 Maret
TRUK-F bertemu dengan Camat di wilayah tersebut. Sang Camat dengan penuh
antusias mendengarkan informasi tersebut sekaligus bersemangat untuk
menyelesaikan kasus itu sesegera mungkin. Bagi sang Camat, tindakan yang
dilakukan aparatnya (ketua RT) tersebut merupakan suatu kejahatan yang menjadi
perhatian dan tanggung jawabnya. TRUK-F sendiri telah menyampaikan kesediaan
untuk mendampingi korban yang tentu saja mengalami trauma. Harapan TRUK-F sang
camat sebagai institusi Negara yang bertanggung jawab melindungi rakyatnya
dapat memfasilitasi pemindahan korban dari tempat kejadian ke Shelter milik
TRUK-F agar mendapat pendampingan psikis. Sang camat berjanji akan menelpon
TRUK-F paling lambat dalam dua hari ke depan.
Sayangnya,
masalah ini tenggelam dalam gema pilkada dan pilgub, dan sang Camat entah
karena sibuk atau lupa, tidak pernah menginformasikan kembali hal ini kepada
TRUK-F. Maka pada 31 Maret lalu, TRUK-F berkoordinasi dengan Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana Kab. Sikka kembali ke kecamatan tersebut. Di
kantor camat, bapak camat sedang tidak ada di tempat, dan kami hanya bisa
bertemu Sekertaris Camat (Sekcam). Sekcam kemudian sibuk menelpon bapak Camat
sendiri dan kemudian kepala desa setempat. Via telpon, sang camat meminta
TRUK-F dan BPPKB untuk membiarkan proses ini diselesaikan secara adat dan pihak
kecamatan akan tetap mengawasi hal ini. Sementara dari kepala desa,
diketahui bahwa ternyata masalah ini
telah diselesaikan secara adat oleh hakim perdamaian adat di desa setempat.
Hakim perdamaian adat memutuskan agar sang korban harus diungsikan (baca: diusir)
dari desa setempat sedangkan sang pelaku dibiarkan untuk tetap tinggal di
tempatnya karena memiliki tanggungan untuk istri dan anak. Dan sang kepala desa
sendiri tidak tahu di mana keberadaan korban tersebut sekarang.
Dalam proses adat,
pelaku dan korban dihadapkan pada para penatua adat desa dan juga para tokoh
masyarakat setempat. Di hadapan mereka semua, pelaku dan korban diselidiki
sebelum dijatuhi putusan. Ini sangat disayangkan, karena korban yang sudah
menjadi korban mesti menahan malu di hadapan banyak orang. Dalam putusan adat,
sang pelaku tidak dikenai sanksi material karena seturut para hakim perdamaian
desa jika diberikan sanksi material maka yang akan menerimanya adalah pihak
pelaku sendiri, karena korban adalah keluarga dekat pelaku. Dan salah satu
butir dalam Perdes di desa setempat berbunyi: Ali Abo Papan Kewe yang artinya barang siapa besok atau lusa
menggembar-gemborkan lagi masalah ini, maka dia akan berhadapan lagi dengan
Lembaga Adat Desa dan sanksinya adalah Riwa
Likat yang artinya didenda dengan cara membayar ke kelayak ramai.
Viktimisasi
Korban
Menghadirkan korban di
hadapan para pemuka adat dan tokoh masyarakat sungguh mengabaikan kondisi
psikologis korban. Hal ini sangat berbeda dengan proses di pengadilan umum,
dimana untuk kasus pelecehan seksual anak diadakan sidang secara tertutup.
Pengadilan terbuka seperti di atas tentu saja menambah beban psikologis anak.
Ia yang sudah menjadi korban harus menahan malu di hadapan banyak orang. Hal
ini bertentangan dengan Bab III Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang No 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan.”
Selain itu, putusan
para hakim perdamaian desa di atas sungguh jauh dari rasa keadilan. Pelaku
hanya perlu menanggung biaya konsumsi dalam upacara adat tersebut dan menahan
malu berjalan keliling kampung sambil berteriak agar semua masyarakat jangan
mengikuti apa yang telah dilakukannya dan bahwa dia telah bertobat. Selain itu,
dalam proses tobo toak (sebagai
lambang pemusnahan segala hal buruk yang telah dilakukan pelaku) pelaku pun
hanya perlu membiarkan tanaman-tanaman di depan rumahnya ditebang dan dalam
proses Demu Retu, pelaku hanya perlu
merelakan beberapa potong pakaiannya dibakar bersama pakaian korban dan semua
tanaman yang telah ditebang. Itu saja.
Sedangkan korban,
setelah menjadi korban tindakan bejat pelaku, korban mesti menjadi korban
secara psikis karena mesti menahan malu di hadapan masyarakat yang menyaksikan
putusan adat itu. Selain itu, korban mesti kehilangan pakaiannya untuk dibakar
bersama pakaian pelaku. Dan akhirnya korban “diusir” (dipindahkan) dari
lingkungannya. Pertanyaannya; mengapa harus korban yang “diusir” dari
lingkungan hidupnya selama ini?
Kita
tentu saja bisa melihat bahwa pemindahan korban sebagai sebuah jalan keluar
agar korban tidak diintimidasi pelaku pada waktu yang akan datang. Selain itu,
pemindahan korban bisa dipandang sebagai cara untuk mengurangi rasa malu korban
di hadapan masyarakat yang telah mengetahui persoalannya. Ingatlah bahwa
persoalan seperti ini masih dianggap tabu oleh masyarakat dan dilihat sebagai
sebuah peristiwa memalukan bahkan bila kita berada pada posisi sebagai korban.
Karena itu, dalam pandangan masyarakat, korban tentu saja malu atau harus malu
seolah-olah korban turut bersalah atas kejadian tersebut sehingga korban harus
merasa malu. Bagi masyarakat kita, orang yang menjadi korban dipandang sebelah
mata sebagai orang yang memiliki kekurangan sehingga patut merasa malu. Untuk
itu, korban mesti dipindahkan ke tempat lain yang belum mengetahui persoalannya
itu. Ini bisa dilihat sebagai sebentuk penyelamatan atas korban untuk
mengurangi rasa malunya sehingga ia bisa bersosialisasi dengan masyarakat.
Akan
tetapi ‘menyelamatkan’ korban keluar dari lingkungan yang mengetahui
“kekurangannya” tidak bisa memenuhi rasa keadilan. Orang sudah menjadi korban
malah diusir dari lingkungannya dengan dalih sebagai upaya penyelamatan.
Sementara pelaku diperbolehkan tetap tinggal di lingkungannya tanpa sanksi yang
lebih berat selain rasa malu. Ini menjadi problematis karena proses dan putusan
pengadilan adat tidak memberi keuntungan kepada sang korban malah berkasihani
dengan sang pelaku. Bagi saya ini adalah sebuah bentuk viktimisasi korban yang
sungguh menyedihkan. Korban yang telah menderita, kini harus dikorbankan lagi
dan lagi.
Selain
itu, putusan adat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup korban pada waktu
mendatang. Hakim perdamaian adat hanya memutuskan bahwa korban harus
diungsikan, tetapi lupa memikirkan bagaimana tanggung jawab pelaku atas
kehidupan selanjutnya. Tanpa ada denda material, korban tidak mendapat ganti
rugi yang bisa sedikit memenuhi rasa keadilan. Sekali lagi korban akhirnya
dikorbankan kembali.
Hakim Perdamaian
Adat VS Kasus Pelecehan seksual
Kasus
ini hendaknya menjadi pintu masuk untuk mengubah kebijakan-kebijakan yang tidak
berpihak pada korban. Dan dalam konteks ini, penulis ingin mempertanyakan
kebijakan di desa yang memperbolehkan hakim Perdamaian Adat di desa untuk
menyelesaikan semua kasus yang ada termasuk pelecehan seksual terhadap anak. Hal
ini tidak dimaksudkan untuk mempersalahkan para hakim perdamaian adat, tetapi
untuk melihat bagaimana seharusnya menangani kasus-kasus dalam masyarakat.
Keberadaan hakim perdamaian adat tentu saja sangat penting dan dapat membantu
menyelesaikan berbagai kasus yang ada dalam masyarakat. Namun, pertanyaannya
kasus-kasus apa yang boleh ditangani hakim perdamaian adat?
Peraturan
Desa (Perdes) di desa setempat yang mengukuhkan peranan lembaga adat dalam
penyelesaian masalah dalam masyarakat tidak secara rinci membeberkan jenis
kasus yang boleh ditangani hakim perdamaian desa. Akan tetapi hal ini tidak
membenarkan bahwa semua kasus bisa diselesaikan pada tingkat pengadilan adat. Hakim
perdamaian adat di desa yang disahkan dalam perdes berperan sebagai lembaga
perdamaian. Dengan kata lain, hakim perdamaian adat berfungsi menangani masalah
secara non litigasi. Itu berarti, penyelesaian secara adat tidak menghilangkan
unsur pidananya. Dalam kasus ini, larangan untuk mengangkat kasus ini pada
waktu yang akan datang akan disanksi berarti menutup persoalan ini sekaligus
meniadakan unsur pidananya.
Selain
itu, dalam Pasal 7 ayat
(1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan
mengatur tentang hierarki perundangundangan di Indonesia. Dan hierarki ini
diatur berdasarkan prinsip Lex superior
derogat legi inferiori yang berarti peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Berdasarkan prinsip ini, tata
cara pengadilan di desa tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi. Maka dalam proses penyelesaian adat yang menghadirkan korban anak
secara terbuka di hadapan publik mesti gugur karena bertentangan dengan Bab III Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang No 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Dengan ini menjadi jelas bahwa tidak semua kasus boleh diselesaikan di tingkat
desa. Karena itu, agar kejadian ini tidak muncul lagi pada waktu yang akan
datang, perdes-perdes di desa mesti secara jelas menunjukkan jenis kasus yang
boleh ditangani oleh hakim perdamaian adat di desa.
No comments:
Post a Comment