Wednesday, May 22, 2013

Mengapa Ilmuwan Harus Menulis

Mengapa Ilmuwan Harus Menulis?

(Tanggapan untuk Florianus Geong)
Oleh Yusuf Leonard Henuk

Judul tulisan sengaja dipilih oleh To'o YLH untuk menanggapi tanggapan menarik dari Florianus Geong (FG) (Mahasiswa STFK Ledalero, Kru KMK Ledalero) terhadap opini Prof. YLH yang telah terbit di media ini sebelumnya dalam tulisannya berjudul: "Menulis untuk Apa?" (Pos Kupang, Rabu, 22 Juni 2011: 4), bertepatan dengan Prof. YLH telah sah mendaftar sebagai Mahasiswa Magister (S2) di Program Hukum dan Pembangunan (Law and Development) Aliansi Unair dan Undana, Program Pascasarjana Undana setelah niat tulusnya mengurus/mengobati birokrasi di Fapet Undana yang dipandang pendukungnya tidak termasuk Prof. Ir. Frans Umbu Datta, M.App.Sc.,Ph.D (Rektor Undana/salah satu dari ke-8 Guru Besar di Fapet Undana) dan para peserta pemaparan program kerja (civitas akademika Fapet Undana: 20 Juni 2011) terhadap calon Dekan Fapet Undana (2011-2015) sedang sakit kronis, tapi kandas melawan 'incumbent' pada tanggal 21 Juni 2011 dengan kedudukan: 9 vs. 8 suara (putaran I) dan berakhir 10 vs 7 suara (putaran II) (plus 'Cadek' ke-3: Ir. Jalaludin, M.Si: 0 suara) untuk kemenangan Ir. Agustinus Konda Malik, MS - lebih banyak berpengalaman mengurus birokrasi khususnya pendidikan (proses belajar mengajar/PBM) ketimbang Prof. YLH yang banyak berpengalaman dalam maupun luar negeri mengurus penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam lingkungan Undana.
Kini Prof. YLH tidak terbeban apa pun untuk melanglangbuana ke mana saja setelah selesai rutin melaksanakan dharma pendidikan setiap semester dan bebas bepergian ke mana saja untuk terus mengembangkan pengalamannya dalam bidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi dan terpenting pengembangan 'talenta menulisnya' (my writing talent) guna mempersiapkan diri sebagai salah satu calon Rektor Undana (2013 - 2017) sesuai saran via SMS dari mantan dosennya, Prof. Vincent Gasperz: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda dan biasa dalam hidup" dan Walikota Kupang (Drs. Daniel Adoe): "Kegagalan awal dari kemenangan" serta rekan-rekan dosen sesama penulis (Dr. Ir. LM Riwu Kaho, M.Si): "Pemilihan Dekan Fapet Undana cuma 1 episode dalam hidup To'o YLH.
Hal yang lebih buruk, bahkan sudah pernah To'o YLH lalui dan alami ketika melawan Rektor Undana di PTUN - PT TUN - MA bukan? So, be cool To'o YLH. Viva To'o YLH!" dan (Ir. Melkianus Luji Jadi, MP): "Waktu Tuhan akan tiba pada waktunya. Banyak introspeksi diri supaya tampil lebih baik nanti" plus 2 rekan seniornya sesama anggota senat Undana dari FISIP Undana: (i) Dra. MM Malelak, MS: "Tuhan menjadikan sesuatu indah pada saatNya dan bukan saatmu, masih ada waktu lain"; dan (ii) Drs. Yusuf Kuahaty, SU: "Kalah tak masalah yang penting sudah terbukti punya potensi yang dapat diperhitungkan di masa depan". Kini Prof. YLH pun bisa berbangga karena telah terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Komite SD Inpres Maulafa (2011 - 2016) pada tanggal 25 Juni 2011.
Selanjutnya, Prof. YLH harus 'angkat topi' kepada HOS dan kini FG yang masih berstatus sebagai mahasiswa tetapi telah berani 'bertarung melawan' seorang profesor dalam acara 'berpacu dalam IQ', walaupun diharapkan oleh publik seharusnya ada komentar menarik dari para profesor lain di Indonesia pada umumnya, dan khusus di Undana atas komentar dari para mahasiswa ataupun siapa saja terhadap kami semua yang telah rutin menerima 'besar tunjangan kehormatan Profesor setara dengan 2 (dua) kali gaji pokok plus tunjangan sertifikasi dosen (serdos) sampai berumur 70 tahun yang dialokasikan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Khusus FG, Prof. YLH harus berterima kasih karena telah menanggapi sekaligus memperkenalkan kembali Prof. YLH yang telah memproklamirkan dirinya dalam opini terbaiknya berjudul: "YLH: 'Profesor Penulis dari Undana" (Pos Kupang, Jumat, 17 Juni 2011: 4). Ukuran terbaik opini YLH ini didasarkan pada SMS berupa komentar dari dua rekan penulis di media massa: (1) AGH Netti: "Wah! Artikel di rubrik opini Pos Kupang 17 Juni 2011 hebat dan luar biasa" dan (2) Bobby J Mooynafi: "Syalom Bapa, saya sudah baca opini di Pos Kupang 17 Juni 2011 bagus sekali. Proficiat."
Sebagai 'pukulan perkenalan' terhadap komentar FG: "keikutsertaan para profesor dalam diskusi di ruang publik (di sini dibatasi ruang publik hanya pada tempat yang dengan mudah dapat dijangkau sebagian besar masyarakat yaitu koran) dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat banyak sehingga turut membangun masyarakat dan daerah kita ini. Keterlibatan para guru besar di NTT dapat dikategorikan sangat minim", YLH harus jernihkan pikiran HOS dan FG bahwa kami para profesor di Indonesia kebanyakan tampil di ruang publik yang lebih bergengsi di seminar-seminar yang tentu dibayar oleh para penyelenggara seminar dengan biaya yang tentu lebih besar dari para mahasiswa yang hanya berstatus sebagai peserta yang biasa diberi dua potong kue dan segelas minuman ringan. Sedangkan, hasil dari seminar yang telah dilakukan oleh kami para profesor disebar-luarkan oleh para wartawan, dosen ataupun mahasiswa ke media massa.
Khusus FG yang masih berstatus mahasiswa, YLH memberi tugas untuk membaca buku YLH berjudul: "Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Penyusunan Ransum Untuk Ternak" dan simak kata-kata YLH (2011: 4): "Kampus adalah tempat kita mencari banyak gelar akademik, sedangkan tempat kita mencari banyak pengetahuan adalah melalui membaca banyak buku", sehingga jangan terpaku membaca koran melulu karena bobot ilmiahnya sangat rendah. YLH dan kami para profesor selalu memberi nilai rendah kepada para mahasiswanya yang malas mencari sumber-sumber bacaan ilmiah (text-books) dan jurnal ilmiah (scientific papers) ketika kami memberi tugas (assignment) yang sumber bacaannya semuanya hanya mengandalkan koran (journalistic papers) melulu.
Tanggapan YLH ini sekaligus menjawab pertanyaan FG: apa yang menjadi kita menulis? Demi gengsi, kredit, atau untuk menyampaikan ide atau pendapat kita kepada orang lain agar dimengerti dan membawa manfaat bagi kehidupan bersama? Jawaban terhadap pertanyaan FG dapat dipahami bukan saja oleh HOS dan FG sebagai mahasiswa dan/ataupun para pembaca di mana pun di muka bumi ini jika membaca buku YLH berjudul: "Pedoman Penulisan Artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah" (2005: 2):
"Menulis artikel tidak hanya sekadar sebagai penyampaian gagasan atau opini terhadap suatu tema atau peristiwa yang aktual, hangat, dan sedang diperbincangkan khalayak yang dimuat dalam suatu penerbitan surat kabar atau majalah, tetapi juga untuk kepentingan penulisnya. Bagi penerbit media massa, pengiriman artikel oleh pembacanya merupakan umpan-balik bagi penerbitannya. Sedangkan, kepentingan setiap penulis dalam menulis artikel yang diterbitkan di surat kabar, majalah, jurnal ilmiah, dan sebagainya, tergantung profesi masing-masing penulis. Bagi mereka yang berprofesi jurnalis atau wartawan (termasuk mahasiswa), kepentingan nyata bagi penulis artikel bukan hanya mendapatkan imbalan materi, akan tetapi juga memperoleh kepuasan rohani dan kenikmatan psikologis. Siapapun pasti akan merasa senang bila melihat tulisannya terpampang di suatu media massa yang terkenal yang dibaca oleh khalayak luas. Apalagi tulisannya menimbulkan polemik yang berkepanjangan, sehingga yang bersangkutan wajib menanggapinya. Sedangkan, kepentingan sangat nyata dalam menulis artikel bagi mereka yang berprofesi dosen dapat disimpulkan sebagai berikut: "... pentingnya menulis tulisan ilmiah sebanyak-banyaknya bagi kita yang berprofesi dosen tidak hanya semata-mata untuk mengejar angka kredit saja, tetapi kita pun punya andil dalam menyebarluaskan informasi ilmiah sekaligus tentu nama dan institusi tempat kita bekerja pun ikut terkenal."
Tanggapan Prof. YLH yang didasarkan bukunya sendiri justru merupakan 'pukulan telak' untuk FG dalam komentarnya: "YLH juga menulis bahwa harapan HOS agar profesor menulis di media massa tidak sesuai dengan UU (No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen terkait) tugas profesor. Namun, apakah seorang profesor yang menulis di koran dinilai sebagai sesuatu yang salah bila menulis di koran tidak termasuk dalam tugas profesor sebagaimana tertuang dalam UU? Jika salah dan karena itu profesor tidak boleh di koran karena sekali lagi, menulis di koran merupakan tugas mahasiswa, kurang bergengsi, memiliki kredit yang kecil dan tidak sesuai dengan UU. Namun ketika YLH menunjukkan ketidakpantasan seorang profesor menulis di koran melalui opininya di koran bukankah itu suatu kontradiksi?"
Prof. YLH berupaya untuk menjelaskan pertanyaan menarik FG sesuai judul opininya di media ini: "Menulis untuk Apa?" sekaligus pertanyaan Prof. YLH: "Mengapa Ilmuwan Harus Menulis?" yang didasarkan pada bukunya tersebut di atas (2005: 36-37): "Menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah, kini sudah tidak lagi sekadar hobi semata, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan bagi kaum intelektual, terutama bagi mereka yang menduduki jabatan fungsional seperti guru, dosen, peneliti, dan lain sebagainya. Menulis karya ilmiah justru sekarang sangat penting dan dibutuhkan oleh mereka untuk mendapatkan angkat kredit guna dapat dipromosi ke jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Terpenting dari itu, mereka punya andil dalam menyebarluaskan informasi ilmiah kepada sesama ilmuwan.
Pada dasarnya, kualitas seorang ilmuwan tidak diukur dari kemampuannya melakukan penelitian dengan menggunakan dana penelitian yang tergolong cukup besar dan pengetahuannya yang luas tentang bidang keahliannya, tetapi kualitasnya semata-mata diukur dari banyak karya ilmiah yang telah dipublikasikannya. Semakin banyak jumlah karya ilmiah yang dipublikasinya, semakin terkenal namanya di kalangan ilmuwan yang punya bidang keahlian yang sama.
Bagaimanapun juga karya ilmiah yang telah dipublikasi oleh seorang ilmuwan akan tetap tersimpan selamanya di perpustakaan sampai setelah yang bersangkutan tiada. Setiap pembaca akan tetap mengenangnya bila membaca dan menggunakan karya ilmiahnya sebagai bahan referensi dalam suatu tulisan ilmiah yang baru. Khusus para ilmuwan dalam lingkungan perguruan tinggi, terdapat suatu kepuasan batin tersendiri dalam diri seorang dosen bila yang bersangkutan mencantumkan urutan panjang jumlah karya ilmiah yang telah dipublikasikannya dalam suatu daftar riwayat hidup yang buatnya untuk memenuhi suatu maksud tertentu. Akibatnya, seorang dosen yang telah memperoleh gelar akademik yang tertinggi sekalipun, sebenarnya ia baru mencapai kepuasan batin yang sesungguhnya bila yang bersangkutan dapat mempublikasi karya ilmiah dalam jumlah yang banyak sebanding dengan deretan panjang gelar akademik yang telah diraihnya.
Pada kenyataannya, 'without communication, science would not have develop. Even today, scientists are judged by their ability to communicate their ideas and findings through written scientific papers and conference presentations' (Tanpa komunikasi, bidang sains tidak dapat berkembang. Bahkan kini, para ilmuwan dinilai berdasarkan kemampuan mereka mengutarakan gagasan-gagasan dan penemuan-penemuan mereka lewat tulisan-tulisan ilmiah yang dipublikasi di jurnal ilmiah dan presentasi-presentasi tulisan ilmiah pada konferensi ilmiah).
Akibatnya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tidak akan berkembang bila tidak ada komunikasi ilmiah. Jelasnya, komunikasi dengan sesama ilmuwan, baik lisan maupun tulisan mutlak diperlukan oleh para ilmuwan sebagai bagian dari masyarakat ilmiah di manapun dan sampai kapanpun mengingat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun, sebab tahap akhir dilaporkannya suatu hasil penelitian mungkin merupakan titik awal dimulainya penelitian yang lain. Bahkan dalam artikel, Profesi dosen: 'publish or perish', penulis ibaratkan menulis karya ilmiah bagi para ilmuwan sebagai makanan di mana siapa saja bisa memasak makanan bagi mereka, tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menyantap makanan bagi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka perlu terus memahami dan menguasai dengan baik metodologi penulisan dan penyajian karya ilmiah."

Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel Florianus Geong "Menulis Untuk Apa?" Dimuat di Pos Kupang edisi 30 Juni 2011.
sumber: http:////kupang.tribunnews.com/read/artikel/65499/editorial/opini/2011/6/30/mengapa-ilmuwan-harus-menulis

No comments: