Thursday, December 15, 2016

Penyelesaian Pelanggaran HAM dan Botaknya Kepercayaan

Peringatan Hari HAM,10 Desember 2016 yang baru saja berlalu dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Di Papua sendiri pun terjadi di berbagai tempat dengan beragam cara. Yang sangat fenomenal terjadi di Wamena, ibu kota kabupaten Jayawijaya.

Fenomenal karena peringatan Hari HAM di salah satu kota di Pegunungan Tengah Papua ini dihadiri oleh ribuan masyarakat dalam Demonstrasi. Jumlah massa oleh beberapa media disebutkan lebih dari enam ribu orang. Demonstrasi di depan Kantor DPRD ini sangat luar biasa bukan hanya dari jumlah massa yang tidak biasa, tetapi juga soal cara Komite Nasional Papua Barat merangkul massa yang begitu banyak.

Jika aparat baik Polri maupun TNI memandang KNPB sebagai kelompok terlarang dan berbahaya, ribuan massa justeru melihat KNPB sebagai wadah dan sahabat perjuangan. Alhasil, massa bukannya membenci KNPB tetapi bergabung dalam aksi KNPB dan taat pada aturan yang dibuat agar kondisi aman.

Fenomenal juga karena KNPB mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat sekaligus menjadi petunjuk bagi pemerintah bahwa yang berjuang di Papua bukanlah segelintir orang sebagaimana sering dikatakan selama ini. Yang berteriak tentang pelanggaran HAM bukan hanya KNPB atau korban dan keluarganya. Yang berteriak merdeka bukan hanya KNPB atau ULMWP, tapi masyarakat Papua. ULMWP atau KNPB hanyalah wadah pergerakan di Papua. Dewan Adat Papua pun hanyalah wadah yang rutin berjuang. Tapi masyarakat Papualah yang sesungguhnya sedang berjuang melalui wadah-wadah tersebut.

Menjadi pertanyaan, mengapa enam ribu lebih masyarakat Papua yang ada di Wamena rela berjemur di bawah panas mentari dan mengabaikan perayaan HUT kota Wamena yang diadakan Pemda Jayawijaya pada hari yang sama?

Orasi-orasi selama demo di DPRD kabupaten Jayawijaya menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah Indonesia sudah menipis. Masyarakat Papua tak lagi percaya bahwa pemerintah Indonesia bisa atau berniat menyelesaikan masalah HAM di Papua. Kepercayaan itu telah botak dikikis oleh sebaris janji pemerintah sendiri tanpa ada realisasinya. Rakyat tak lagi percaya bahwa pelanggaran HAM akan diselesaikan sementara sebaris pelanggaran HAM baru tak terhitung setiap tahunnya.

Setelah peristiwa Paniai 8 Desember 2014, Jokowi, Presiden Indonesia berjanji kepada rakyat Papua di hadapan para pemuka agama Papua bahwa kasus itu akan segera diselesaikan. Tapi, setelah dua tahun berlalu, janji itu tak juga terwujud. Jangankan menyelesaikannya, mengakui siapa pelakunya saja belum dilakukan pemerintah. Entah berapa banyak Tim yang sudah turun ke Paniai dan melakukan investigasi, yang pasti belum ada pelaku yang diumumkan.

Kini sudah setahun usia Tim Terpadu Penyelesaian masalah HAM Papua, hal yang sama terjadi. Dari belasan kasus yang ditangani, belum satu pun pelaku yang diumumkan apalagi diadili dan dihukum. Masyarakat pun kian tak percaya. Akankah masalah pelanggaran HAM Papua diselesaikan??

Kini rakyat Papua mengendaki pihak lain yang menangani masalah Papua. "Tidak mungkin pelaku pelanggaran HAM akan menyelesaikan pelanggaran HAM yang dilakukannya sendiri. Maka biarkan pihak lain menyelesaikannya" demikian salah satu bunyi orasi saat demo hari HAM.

Tentu Tim Terpadu bentukan Menkopolhukam akan tetap bekerja meski suara tak setuju terus bergema. Namun, jika Tim tersebut tak segera menyelesaikan pelanggaran HAM maka kepercayaan masyarakat akan semakin botak hingga tak ada lagi yang percaya pada pemerintah negara ini. Jadi yang menentukan kepercayaan masyarakat Papua, bukanlah rakyat Papua sendiri, tapi pemerintah Indonesia. Mari kita menantikan jalan terjal yang diciptakan sendiri oleh negara ini untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.

No comments: