Wednesday, December 21, 2016

Saya Kristen Tak Gunakan Ornamen Natal

Saya Kristen dan tak dapat diragukan lagi saya percaya kepada Kristus Yesus yang peringatan kelahirannya semakin dekat. Saya pun merayakan hari natal itu. Namun saya tak gunakan ornamen natal.

Apa karena itu iman saya diragukan???

Sabar dulu. Saya beriman secara kritis dan saya kritis dalam beriman. Maka saya tak mau dipengaruhi untuk berbuat sesuatu yang sulit diterima akal sehat namun juga sulit dipahami sebagai bentuk perwujudan iman meski hal itu datang dari pemuka agama.

Sederhana saja, pemuka agama, seberapa tinggi pangkat atau jabatannya dalam agama, atau seberapa agung namanya, dia tetaplah manusia. Dia tetap manusia yang tak bisa tidak pasti pernah bersalah. Entah seberapa sering ia berdoa, membaca kitab suci atau berbuat sesuai ajaran agamanya, ia tetap manusia. Yang jelas, seberapa banyak doa atau seberapa sering ia membaca kitab suci, tak akan mengubahnya menjadi malaikat. Ia tetap manusia dan pasti bisa bersalah.

Sebagai manusia, kita semua pun selalu hidup dalam konteks tertentu yang pasti tak pernah sama. Kita juga sadar bahwa konteks-konteks hidup kita itu bukanlah surga yang penuh kedamaian dan keadilan dll. Tapi kita hidup dalam dunia yang juga lebih menjadi neraka daripada surga untuk kita hidup.

Terhadap konteks hidup seperti itu pun, kita selalu berupaya menyesuaikan diri untuk bertahan hidup. Dalam penyesuaian diri itu, tak jarang kita pun berbuat salah. Karena kita bisa bersalah dalam menaggapi kondisi di sekitar kita, maka apa pun bentuk tanggapan kita atau hasil karya kita pun bisa salah.

Demikianlah dapat kita lihat dalam Kitab Suci. Karena kondisi saat itu sangat patriarki maka tulisan-tulisan dalam Kitab Suci pun bernuansa patriarkis. Dalam konteks saat ditulis, hal itu bisa diterima namun apakah kita saat ini bisa menggunakan kitab suci yang ditulis dengan nuansa patriarkis itu? Tentu saja bisa namun harus dengan penafsiran baru dan kesadaran akan konteksnya.

Bayangkan, dalam kitab yang suci sekalipun, kita bisa menemukan ayat-ayat yang seolah-olah menganjurkan kita untuk melakukan perang misalnya. Kitab yang menjadi rujukan saja terdapat ayat yang menurut pemahaman kita saat ini adalah sesuatu yang kurang baik. Kalau demikian, kita yang menafsirkannya saat ini pun bisa saja jadi berbeda.

Dalam setiap penafsiran pun pasti ada berbagai hal yang turut berpengaruh terhadap sang penafsir saat dia menafsirkan ayat kitab suci tersebut termasuk kepentingan di balik penafsiran itu. Selalu ada kepentingan yang turut mempengaruhi sang penafsir. Pertanyaan yang mesti selalu kita ajukan adalah mengapa ayat ini digunakan? Mengapa menafsirnya seperti itu bukan seperti ini? Untuk apa/siapa dia menafsirkan ayat itu? Atau mengapa kita harus mengikuti penafsiran seperti itu?

Jika kita kembali ke soal ornamen natal maka ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalkan saja, mengapa ada Santa Claus? Bagaimana sejarahnya santa Claus? Atau bagaimana sejarah munculnya pohon natal sementara dalam kisah kelahiran Yesus, tidak ada kisah tentang pentingnya pohon tertentu. Lalu kenapa kini umat Kristiani senang menggunakan topi santa, atau senamg membeli pohon natal dll?

Tentu ada sejarah panjang di balik perayaan dan kemeriahan natal saat ini. Dipengaruhi oleh berbagai budaya pada berbagai tempat dan beragam waktulah maka kita saat ini pun merayakan natal dengan beragam ornamen seperti itu. Apakah itu semua penting??

Saya teringat saat masih kecil. Saat kecil ada semacam kerinduan agar natal segera tiba. Saat itu yang dirindukan bukanlah soal kelahiran Yesus tetapi agar dibelikan baju baru yang selalu disebit sebagai "baju Natal". Akibat selalu dibicarakan tentang baju natal, maka setiap menjelang natal semacam ada keharusan dalam umat Kristiani agar membeli baju natal.

Jika diperhatikan, sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang menjadi ciri bahwa baju itu dinamakan baju natal. Namun karena sudah terinternalisasi maka umat kristiani pun tetap menyebutnya sebagai baju natal. Lalu natal berikutnya akan ada lagi baju natal baru. Meski yang lama masih sangat bagus, keinginan untuk mebeli baju natal baru pun tetap tinggi.

Lalu apakah karena ada orang yang tak ingin beli baju natal maka ia bukan orang kristen??? Atau apakah kalau orang tidak memasang pohon natal beserta kandang natal yang dihiasi bintang dan lampu kelap kelip, orang tersebut bukanlah atau diragukan sebagai orang Kristen??

Atau sebaliknya, apakah orang yang memasang lampu kelap kelip adalah orang Kristen? Atau apakah orang yang membeli baju baru saat menjelang natal adalah orang Kristen?

Maka bagi saya, kita saat ini masih melihat sesuatu hanya secara artifisial. Karena menggunakan benda2 artifisial maka orang secara sederhana mengidentifikasi orang tersebut.  Akibatnya kita terus bertengkar soal barang2 artifisial yang untuk saya tidak ada pengaruhnya terhadap iman seseorang. Kalau pun orang itu terpengaruh imannya karena barang2 artifisial, maka sesungguhnya orang itu kurang kuat dalam beriman.

Namun saat kita asik mempersoalkan ornamen-ornamen keagamaan tersebut, secara tak sadar kita sedang mempromosikan barang-barang tersebut secara gratis. Lalu kita lupa bahwa yang mendapat keuntungan dari wacana, perdebatan hingga mempersoalkan atribut-atribut tersebut adalah kapitalis. Maka saat ini, ada yang tersiksa hatinya karena tak mampu beli baju natal atau bergaya dengan ornamen natal, ada juga yang tersiksa karena terganggu dengan ornamen agama lain, namun ada kapitalis yang tertawa.

Yang Pasti saya Kristen meski saya tak pakai ornamen natal. Saya pun tetap merayakan natal tanpa kekurangan nilai sedikit pun karena dalam rumahku tak ada lampu natal yang memakan pulsa listrik untuk menerangi pohon natal.

No comments: