Friday, February 27, 2015

PANTE PEDE Dan EDUCATING UP

    • Persoalan Pante Pede dan Educating 









Tentang sosialisasi oleh Pemerintah Provinsi NTT tentang pembangunan Hotel milik PT. Investama Manggabar, beberapa Koran di NTT baik cetak maupun Online menulis bahwa sosialisasi itu berakhir ricuh. Akan tetapi sesungguhnya ada hal yang menarik yang mesti menjadi pelajaran dari peristiwa sosialisasi tersebut, lebih dari sekadar ricuh. Konteksnya, pada tanggal 17 Januari 2015, Gubernur NTT mengutus beberapa pejabat SKPD yang terkait dengan urusan Pante Pede untuk melakukan sosialisasi pembangunan Hotel di Pante Pede. Sosialisasi ini dibuat menyusul penolakan besar-besaran oleh masyarakat Manggarai Barat. Pemerintah Provinsi kemudian memperluas persoalan, dari sekadar ingin mempihakketigakan penggunaan Pante Pede menjadi persoalan kepemilikan. Pemprov NTT atas dasar persoalan kepemilikan merasa berhak untuk menyerahkan Pante Pede kepada siapa saja untuk dikelolah. Artinya karena Pante Pede adalah milik Pemprov NTT maka Pemprov NTT yang berkuasa penuh atasnya. Sementara masyarakat pada satu sisi tetap menolak adanya privatisasi terhadap Pante Pede. Dasarnya adalah karena Pante Pede merupakan ruang publik yang tersisa bagi masyarakat untuk menikmati indahnya alam kepunyaan masyarakat Manggarai Barat. Sementara orang-orang dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang menikmati alam Manggarai Barat, masyarakat Manggarai Barat hanya menjadi penonton dan tidak bisa menikmati alam indahnya. Dan terkait persoalan kepemilikan, masyarakat Manggarai Barat pun memiliki basis hukum yang seharusnya ditaati oleh Pemprov agar asset seperti Pante Pede diserahkan ke kabupaten Manggarai Barat. Dengan basis argumentasi seperti itu, Pemprov dan masyarakat Manggarai Barat bertemu. Sayangnya utusan Pemprov datang dengan kebiasaan pemerintah yang melihat bahwa apa yang diputuskan pemerintah selalu benar dan masyarakat selalu sebagai pihak yang belum mengerti tentang keputusan pemerintah sehingga butuh penjelasan. Istilah sosialisasi di tengah berbagai penolakan privatisasi Pante Pede cukup menggambarkan kerangka berpikir pemerintah. Maka utusan Gubernur datang dengan harapan bahwa masyarakat Manggarai Barat akan mengerti dan kemudian pembangunan hotel di Pante Pede bisa dimulai. Yang jadi soal adalah, Gubernur dan para utusannya tidak memiliki suatu argumentasi yang bisa meyakinkan masyarakat mengapa Pante Pede harus diserahkan ke PT. Investama Manggabar milik Setya Novanto. Pemprov hanya berkutat pada persoalan kepemilikan dan juga Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat mudah dipatahkan oleh masyarakat. Soal kepemilikan, masyarakat pun memiliki argumentasi hukum yang tidak mampu dijawab oleh pemerintah provinsi selain rasionalisasi bahwa Pemprov tidak menyerahkan Pante Pede kepada Pemda Manggarai Barat karena tidak ada kata “harus” dalam Pasal 13 UU no. 8 tahun 2003. Akan tetapi Pemprov lupa bahwa dalam pasal yang sama tidak ada kata pengecualian yang memperbolehkan Pemprov untuk tidak menyerahkan Pante Pede kepada Pemda Manggara Barat. Pemprov pun hanya melihat keuntungan dari aspek PAD. Selain angka PAD yang dibanggakan Pemprov terlalu kecil, masyarakat membaca persoalan Pante Pede secara lebih luas tidak sebatas PAD. Bagi masyarakat, PAD yang akan diterima Pemprov dari PT. Investama Manggabar sebesar Rp 250.000.000 per tahun atau 20.833.333/bulan atau Rp 685.000/hari terlalu kecil dibandingkan apa yang bisa diperoleh Pemprov, Pemkab dan terutama masyarakat sendiri bila Pante Pede tetap menjadi ruang publik tetapi yang ditata dengan baik. Educating Up Maka apa yang terjadi dalam Sosialisasi Pembangunan Hotel di Pante Pede oleh Pemprov terlalu sempit kalau hanya dilihat aspek ricuhnya. Kericuhan itu disebabkan oleh penjelasan Pemprov yang berbelit-belit dan tidak menjawabi pertanyaan masyarakat. Selebihnya, proses yang terjadi adalah suatu bentuk pendidikan kepada pemerintah oleh masyarakat sipil. Masyarakat memberikan pelajaran kepada pemerintah bahwa masyarakat tidak membutuhkan penjelasan yang berbelit-belit. Yang dibutuhkan adalah suatu jawaban yang sesuai dengan pertanyaan masyarakat. Selain itu, masyarakat sendiri sedang mengingatkan pemerintah bahwa segala hal yang dilakukan oleh pemerintah semestinya ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan investor. Maka dalam sosialisasi tersebut sesungguhnya ada beberapa hal penting yang terjadi. Pertama, pembalikan pandangan bahwa yang perlu dididik hanyalah masyarakat. Proses sosialisasi itu menjadi titik balik dimana pemerintah perlu belajar. Dan masyarakat Manggarai Barat sedang menyadarkan para pemimpinnya bahwa pemerintah sedang terjebak dalam suatu model pembangunan yang membelenggu dan keluar dari tujuan adanya negara. Maka yang terjadi sesungguhnya bukanlah sosialisasi dari pemerintah tetapi sosialisasi masyarakat kepada pemerintah tentang bagaimana harus mengatur kehidupan bersama dalam negara. Di sini masyarakat tidak bisa lagi dipandang sebagai orang lemah dan bodoh yang harus dididik sehingga perlu dibuat sosialisasi tentang keputusan pemerintah. Artinya, penolakan masyarakat terhadap privatisasi Pante Pede bukan karena masyarakat belum mengerti sehingga perlu sosialisasi tetapi karena masyarakat sadar akan masalah yang sedang dihadapinya. Dengan pembalikan pandangan ini sesungguhnya masyarakat Manggarai Barat sedang menggugurkan suatu model pembangunan dari atas ke bawah. Di sini pemerintah tidak bisa dilihat lagi sebagai penyelamat yang datang untuk menolong masyarakat. Kedua, pemerintah seringkali terjebak dalam pembangunan yang membelenggu. Kesadaran masyarakat akan kehilangan ruang publik karena berbagai pembangunan selama ini melahirkan penolakan terhadap pencaplokan ruang publik di Pante Pede. Sementara pemerintah melihat bahwa kesukesan pembangunan hanya diukur dari banyaknya gedung mewah dan PAD yang diperoleh, masyarakat memandangnya secara lebih luas dengan mengukur pembangunan dari seberapa bermanfaatnya bagi masyarakat banyak sebagaimana tujuan didirikannya suatu negara. Pemerintah terjebak dalam tipu daya pembangunan dengan melihat besaran PAD tetapi lupa akan tujuan pembangunan yaitu untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang mengekslusi masyarakat kebanyakan dari hasil pembangunan itu sendiri adalah suatu kegagalan meskipun menghasilkan PAD yang besar. Ketiga, pentingnya kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Dalam konteks pemerintah seringkali terjebak dalam pandangan pembangunan dari atas ke bawah dan terbuai oleh tipu daya pembangunan, maka kontrol masyarakat sangat dibutuhkan. Gerakan masyarakat menolak privatisasi Pante Pede merupakan suatu bentuk kontrol sosial masyarakat terhadap pemerintah yang patut diapresiasi dan diteladani. Kontrol sosial seperti ini sangat penting untuk menyadarkan kembali tujuan adanya negara dan bagaimana para pemimpin harus membangun negara ini. Tanpa kontrol sosial seperti ini, masyarakat akan semakin disingkirkan dari berbagai pembangunan dan akhirnya pembangunan hanya dinikmati segelintir orang kaya dan para pelancong dari negara lain. Pertanyaannya adalah apakah Pemprov tidak menyadari persoalan seperti ini? Tentu saja terlalu naïf untuk mengatakan bahwa pemerintah provinsi tidak menyadari bahaya privatisasi Pante Pede bagi penyingkiran masyarakat dari pembangunan itu. Berbagai protes yang diajukan telah cukup jelas menggambarkan bahaya itu. Namun, kegigihan Gubernur NTT untuk tetap menyerahkan Pante Pede kepada PT. Investama Manggabar menjadi suatu pertanyaan yang mesti dijelaskan sendiri oleh Gubernur. Sementara argumen-argumen yang dipakai Pemprov tidak memadai di hadapan argument masyarakat, Pemprov tetap pada pendiriannya. Maka patut dicurigai kepentingan apa yang ada di balik kegigihan Pemprov untuk mempertahankan rencananya sendiri dengan mengabaikan masyarakat banyak.