Wednesday, April 29, 2015

Merehabilitasi Yudas dan Petrus

Oleh John Mansford Prior, SVD
Pastor Rutan Negara Maumere

TERLEPAS dari maksud tulisan Inosentius Mansur (Opini 7 April 2015), saya tertarik dengan penilaiannya tentang dua rasul yang berperan dalam Kisah Sengsara Yesus, yakni Yudas Iskariot dan Simon Petrus. Tandas Mansur, Yudas "membohong" ketika mencium gurunya di Taman Getsemani (Mrk 14:45), dan Simon Petrus "membohong" ketika menyangkal Yesus di halaman Mahkamah Agama (Mrk 14:66-72). Hemat saya, penilaiannya terlalu blak-blakan.

Apakah betul Yudas mengkhianati Yesus hanya untuk 30 keping perak saja? Mungkin, tapi belum tentu. Benar, seperti para bendahara pada umumnya Yudas dicurigai malah dicap seorang "pencuri" oleh Penginjil Yohanes (Yoh 12:6). Tetapi sebetulnya, ada tafsiran lain yang cukup meyakinkan.
Yudas dijuluki "Iskariot", artinya "pembawa belati", yaitu dari aliran patriot/nasionalis yang fanatik, seorang simpatisan kaum gerilyawan yang melawan penjajahan militer Roma. Yudas mengikuti Yesus yang mengelilingi Galilea dan Yudea sambil mengumumkan kedatangan Kerajaan Allah. Dan, sama seperti semua murid lain, Yudas menanti berdirinya Kerajaan Daud di Yerusalem. Tidak ada murid yang tepat memahami apa yang dimaksudkan Yesus. Apa lagi menjelang perayaan Paskah Yesus memimpin sebuah pawai palma, sejenis demo damai, ketika memasuki Kota Yerusalem dan rakyat menyambutnya dengan teriakan "Hosana Putra Daud". Rasanya, hanya sesaat lagi dan kerajaan Daud akan Yesus umumkan, lantas Gubernur Pilatus dan tentara Roma diusir, dan umat Allah bisa sekali lagi menikmati kemerdekaannya di bawah kedaulatan Allah.

Jadi, apa sebetulnya tujuan Yudas dengan "mengkhianati" Yesus? Kita pasti ingat sebuah kisah kecil yang menggegerkan kaum nasionalis Indonesia menjelang 17 Agustus 1945. Anak muda Adam Malik bersama Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana, menculik Bung Karno dan Bung Hatta dan membawa mereka ke Rengasdengklok. Mereka bermaksud memaksa Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dan, keesokan harinya proklamasi
dimaklumkan.

Boleh jadi Yudas Iskariot, simpatisan (atau anggota?) kaum nasionalis fanatik punya maksud serupa. Dengan membawa serombongan orang dengan pedang dan pentung ke Taman Getsemani, Yudas hendak memicu proklamasi berdirinya Kerajaan Daud. Sekarang kita menyadari bahwa visinya, sebagaimana visi murid-murid lain, baik laki-laki pun perempuan - memang keliru. Strategi dan taktik Yudas juga meleset dan berakibat tragis. Maka, sesudah menyaksikan bahwa Yesus tidak melawan - para murid sudah siap dengan pedang (Luk 22:38) -tetapi Yesus menyerahkan diri begitu saja, Yudas putus asa, mengembalikan uang pembayarannya itu, dan membunuh diri. Taktik Adam Malik berhasil - visinya sejalan dengan visi dan harapan Sukarno. Taktik Yudas gagal - Yesus punya visi dan strategi lain.

Sebelum Yudas menawar jasanya kepada Dewan Imam mereka sudah mengambil keputusan untuk mengamankan Yesus, keputusan yang mereka ambil sesudah Yesus mengacau-balaukan persiapan persembahan yang sah di alun-alun Bait Allah - dan pada masa yang paling sibuk. Dalam sidang Pengadilan Agama, Yesus dijatuhkan hukuman mati karena murtad, karena menganggap dirinya putra Allah. Dalam sidang Pengadilan Negeri, Yesus dijatuhkan hukum mati karena subversif dengan menerima gelar "raja". Kita dapat membaca di sini bahwa Yesus disalibkan karena gerakannya mengancam hirarki agamanya dan posisi pemerintah penjajah. Yesus menerima dengan tenang akibat dari pewartaannya, panggilannya untuk membebaskan umat manusia; dan Yudas membuka jalan untuk itu.

Dan Simon Petrus? Apakah ia menolak Yesus hanya karena takut ditahan, diadili, dihukum mati? Mungkin saja. Tapi, ada kemungkinan lain. Petrus tidak kenal sosok Yesus yang diborgol, didera, dimahkotai duri, seorang Yesus yang menyerahkan diri begitu saja kepada pemerintah penjajah. Yesus macam itu Petrus tidak kenal. Yesus yang Simon Petrus kenal selama dua-tiga tahun adalah Yesus Sang Penyembuh, Sang Nabi yang membangkitkan orang mati, yang memperganda roti dan ikan, yang meredakan badai, Sang Putra Daud yang memimpin demo memasuki Kota Yerusalem, Sang Putra Allah yang membuka Bait Allah bagi segala bangsa (Mrk 11:17). Simon Petrus mengenal dan mengikuti Sang Rabi dan Guru yang serba kuat nan "jantan", bukan Yesus yang kalah dan nampak serba impoten.
Pada umumnya kita cenderung membaca Injil hanya dari pihak "Yesus" atau dari pihak orang yang percaya. Sebetulnya, tak salah jika kita juga membaca kisah-kisah Injil dari pihak masing-masing pelakon dalam adegan-adegan tertentu. Pernah, misalnya, di pedalaman Flores kami membaca kembali Kisah Sengsara Yesus dari berbagai pihak: sejumlah ibu mengulangi kisahnya dari sisi ibu-ibu Yerusalem, kelompok lain dari sudut pandang tentara Roma (anak-anak kampung, malah ada anak dari ibu-ibu Yerusalem, dus perspektif mereka bertolak belakang), sejumlah umat lain menceritakan pengalaman mereka pada Jumat sore itu sebagai teman-teman penyamun (nasionalis/gerilyawan) yang disalibkan bersama Yesus. Sesudah itu, diadakan diskusi hangat di antara para ibu Yerusalem, anak-anak mereka yang masuk angkatan bersenjata, teman-teman penyamun, dan rasul laki-laki yang tak hadir. Ramai. Yang mengejutkan ialah bahwa kami menjadi sadar bahwa sifat dari masing-masing pelakon hadir pula dalam diri kami.

Jadi, ada untung jika kita tidak begitu saja menilai Yudas Iskariot dan Simon Petrus secara blak-blakan. Dengan membaca kembali Kisah Sengsara dari sudut pandang pelaku yang percaya dan yang tidak percaya, dari sisi simpatisan Yesus pun lawannya, dari perspektif orang yang yakin dan orang yang bingung, murid yang tanggap dan murid yang keliru, kita dapat menemukan dalam diri kita sedikit-sedikit dari sifat seorang Yudas (maksud baik, namun harapan dan taktik salah) dan seorang Petrus (mau ikut orang yang berkuasa, bukan orang yang dikalahkan/ distigmatisasi). Biar kita tidak sampai "merehabilitasikan" Yudas Iskariot, paling kurang kita bisa mulai memahaminya, dan lebih memahami diri kita sendiri. *