Monday, January 23, 2017

Aibon dan Anak-Anak Putus Sekolah

Minggu 22 Januari siang kemarin, saya dikagetkan oleh suara-suara tak biasa dari samping rumah. Tepat di bedengan yang ditanami daun bawang, seorang anak berusia sekitar 10 tahun berbaring sementara dua temannya duduk di sampingnya. Entah karena siang itu sangat panas dan ada pohon advokat yang memberi kesejukan, ketiga anak itu kelihatan santai.

Setelah saya dekati, anak yang sedang berbaring di atas tanaman daun bawang itu ternyata sedang memegang botol bekas minuman dengan isi Lem Aibon. Teman satunya pun memegang botol serupa sambil sesekali menghirup aibon dari mulut botol itu. Satu temannya lagi hanya memandang keduanya tanpa botol di tangan.

Dari ketiga anak ini, hanya satu orang yang mengaku masih sekolah namun jarang masuk sekolah. Ketika ditanyakan, ketiganya dengan santai menjawab kalau malas ke sekolah lagi karena jarang ada guru yang masuk setiap hari. Rupanya kedua anak lainnya pun pernah sekolah namun berhenti.

Alasan serupa pernah saya dengar dari anak jalanan lainnya yang ada di sekitar jalan Irian Wamena. Beberapa mengakui bahwa mereka ke kota dan menghisap Aibon setelah kabur dari rumahnya di Kampung. Mereka terpaksa ke kota karena orangtuanya sering marah karena anak-anak jarang ke sekolah. Sementara, anak-anak ini enggan ke sekolah karena jarang ada kegiatan belajar mengajar di sekolah. Tentu saja alasan anak-anak ini patut dibuktikan lagi. Namun pengakuan mereka ini pun mesti menjadi catatan serius bagi pemerintah untuk menangani masalah pendidikan.

Anak lainnya mengakui bahwa dirinya ke kota karena orangtuanya sudah meninggal dunia. Ada juga yang mengaku tidak bisa melanjutkan pendidikan karena orangtua tidak mampu.

Aibon, kini menjadi masalah serius bagi anak-anak di Kabupaten Jayawijaya. Perlu perhatian serius dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan ini. Anak-anak ini sudah terlalu sering dikasari. Mereka pun disebut sebagai "Anak - anak Aibon". Tak jarang anak-anak ini dianggap kriminal, suka mencuri dan berbagai stigma megatif lainnya.

Ketika ditanyakan beberapa anak mengaku pernah mencuri barang seperti ban mobil. Namun mereka mengakui bahwa mereka mencuri karena dipaksa oleh orang-orang dewasa dari kelompok tertentu. Orang-orang yang menyuruhnya kelihatan sangat taat hukum, namun anak-anak ini dipandang sebagai kriminal.

Mereka hidup di jalanan tanpa pendidikan, tak ada jaminan kesehatan, tak ada jaminan keamanan. Mereka hidup dengan bayangan masa depan yang suram. Beralaskan lantai emperan pertokoan yang bukan miliknya, setiap malam mereka tidur di bawah kolong langit berselimutkan karung bekas untuk sekadar menghangatkan badan dari dinginnya Wamena. Sementara sebagian besar dana yang bisa digunakan untuk "fakir miskin dan anak terlantar" dikorupsi oleh mereka yang kelihatan saleh karena rajin berdoa, berpakaian bersih dan selalu mengawali pidato atau sambutan dengan memanggil nama Tuhan.

Aibon dan Anak-Anak Putus Sekolah

Minggu 22 Januari siang kemarin, saya dikagetkan oleh suara-suara tak biasa dari samping rumah. Tepat di bedengan yang ditanami daun bawang, seorang anak berusia sekitar 10 tahun berbaring sementara dua temannya duduk di sampingnya. Entah karena siang itu sangat panas dan ada pohon advokat yang memberi kesejukan, ketiga anak itu kelihatan santai.

Setelah saya dekati, anak yang sedang berbaring di atas tanaman daun bawang itu ternyata sedang memegang botol bekas minuman dengan isi Lem Aibon. Teman satunya pun memegang botol serupa sambil sesekali menghirup aibon dari mulut botol itu. Satu temannya lagi hanya memandang keduanya tanpa botol di tangan.

Dari ketiga anak ini, hanya satu orang yang mengaku masih sekolah namun jarang masuk sekolah. Ketika ditanyakan, ketiganya dengan santai menjawab kalau malas ke sekolah lagi karena jarang ada guru yang masuk setiap hari. Rupanya kedua anak lainnya pun pernah sekolah namun berhenti.

Alasan serupa pernah saya dengar dari anak jalanan lainnya yang ada di sekitar jalan Irian Wamena. Beberapa mengakui bahwa mereka ke kota dan menghisap Aibon setelah kabur dari rumahnya di Kampung. Mereka terpaksa ke kota karena orangtuanya sering marah karena anak-anak jarang ke sekolah. Sementara, anak-anak ini enggan ke sekolah karena jarang ada kegiatan belajar mengajar di sekolah. Tentu saja alasan anak-anak ini patut dibuktikan lagi. Namun pengakuan mereka ini pun mesti menjadi catatan serius bagi pemerintah untuk menangani masalah pendidikan.

Anak lainnya mengakui bahwa dirinya ke kota karena orangtuanya sudah meninggal dunia. Ada juga yang mengaku tidak bisa melanjutkan pendidikan karena orangtua tidak mampu.

Aibon, kini menjadi masalah serius bagi anak-anak di Kabupaten Jayawijaya. Perlu perhatian serius dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan ini. Anak-anak ini sudah terlalu sering dikasari. Mereka pun disebut sebagai "Anak - anak Aibon". Tak jarang anak-anak ini dianggap kriminal, suka mencuri dan berbagai stigma megatif lainnya.

Ketika ditanyakan beberapa anak mengaku pernah mencuri barang seperti ban mobil. Namun mereka mengakui bahwa mereka mencuri karena dipaksa oleh orang-orang dewasa dari kelompok tertentu. Orang-orang yang menyuruhnya kelihatan sangat taat hukum, namun anak-anak ini dipandang sebagai kriminal.

Mereka hidup di jalanan tanpa pendidikan, tak ada jaminan kesehatan, tak ada jaminan keamanan. Mereka hidup dengan bayangan masa depan yang suram. Beralaskan lantai emperan pertokoan yang bukan miliknya, setiap malam mereka tidur di bawah kolong langit berselimutkan karung bekas untuk sekadar menghangatkan badan dari dinginnya Wamena. Sementara sebagian besar dana yang bisa digunakan untuk "fakir miskin dan anak terlantar" dikorupsi oleh mereka yang kelihatan saleh karena rajin berdoa, berpakaian bersih dan selalu mengawali pidato atau sambutan dengan memanggil nama Tuhan.

Sunday, January 22, 2017

Aibon dan Anak-Anak Putus Sekolah

Minggu 22 Januari siang kemarin, saya dikagetkan oleh suara-suara tak biasa dari samping rumah. Tepat di bedengan yang ditanami daun bawang, seorang anak berusia sekitar 10 tahun berbaring sementara dua temannya duduk di sampingnya. Entah karena siang itu sangat panas dan ada pohon advokat yang memberi kesejukan, ketiga anak itu kelihatan santai.

Setelah saya dekati, anak yang sedang berbaring di atas tanaman daun bawang itu ternyata sedang memegang botol bekas minuman dengan isi Lem Aibon. Teman satunya pun memegang botol serupa sambil sesekali menghirup aibon dari mulut botol itu. Satu temannya lagi hanya memandang keduanya tanpa botol di tangan.

Dari ketiga anak ini, hanya satu orang yang mengaku masih sekolah namun jarang masuk sekolah. Ketika ditanyakan, ketiganya dengan santai menjawab kalau malas ke sekolah lagi karena jarang ada guru yang masuk setiap hari. Rupanya kedua anak lainnya pun pernah sekolah namun berhenti.

Alasan serupa pernah saya dengar dari anak jalanan lainnya yang ada di sekitar jalan Irian Wamena. Beberapa mengakui bahwa mereka ke kota dan menghisap Aibon setelah kabur dari rumahnya di Kampung. Mereka terpaksa ke kota karena orangtuanya sering marah karena anak-anak jarang ke sekolah. Sementara, anak-anak ini enggan ke sekolah karena jarang ada kegiatan belajar mengajar di sekolah. Tentu saja alasan anak-anak ini patut dibuktikan lagi. Namun pengakuan mereka ini pun mesti menjadi catatan serius bagi pemerintah untuk menangani masalah pendidikan.

Anak lainnya mengakui bahwa dirinya ke kota karena orangtuanya sudah meninggal dunia. Ada juga yang mengaku tidak bisa melanjutkan pendidikan karena orangtua tidak mampu.

Aibon, kini menjadi masalah serius bagi anak-anak di Kabupaten Jayawijaya. Perlu perhatian serius dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan ini. Anak-anak ini sudah terlalu sering dikasari. Mereka pun disebut sebagai "Anak - anak Aibon". Tak jarang anak-anak ini dianggap kriminal, suka mencuri dan berbagai stigma megatif lainnya.

Ketika ditanyakan beberapa anak mengaku pernah mencuri barang seperti ban mobil. Namun mereka mengakui bahwa mereka mencuri karena dipaksa oleh orang-orang dewasa dari kelompok tertentu. Orang-orang yang menyuruhnya kelihatan sangat taat hukum, namun anak-anak ini dipandang sebagai kriminal.

Mereka hidup di jalanan tanpa pendidikan, tak ada jaminan kesehatan, tak ada jaminan keamanan. Mereka hidup dengan bayangan masa depan yang suram. Beralaskan lantai emperan pertokoan yang bukan miliknya, setiap malam mereka tidur di bawah kolong langit berselimutkan karung bekas untuk sekadar menghangatkan badan dari dinginnya Wamena. Sementara sebagian besar dana yang bisa digunakan untuk "fakir miskin dan anak terlantar" dikorupsi oleh mereka yang kelihatan saleh karena rajin berdoa, berpakaian bersih dan selalu mengawali pidato atau sambutan dengan memanggil nama Tuhan.

Aibon dan Anak-Anak Putus Sekolah

Minggu 22 Januari siang kemarin, saya dikagetkan oleh suara-suara tak biasa dari samping rumah. Tepat di bedengan yang ditanami daun bawang, seorang anak berusia sekitar 10 tahun berbaring sementara dua temannya duduk di sampingnya. Entah karena siang itu sangat panas dan ada pohon advokat yang memberi kesejukan, ketiga anak itu kelihatan santai.

Setelah saya dekati, anak yang sedang berbaring di atas tanaman daun bawang itu ternyata sedang memegang botol bekas minuman dengan isi Lem Aibon. Teman satunya pun memegang botol serupa sambil sesekali menghirup aibon dari mulut botol itu. Satu temannya lagi hanya memandang keduanya tanpa botol di tangan.

Dari ketiga anak ini, hanya satu orang yang mengaku masih sekolah namun jarang masuk sekolah. Ketika ditanyakan, ketiganya dengan santai menjawab kalau malas ke sekolah lagi karena jarang ada guru yang masuk setiap hari. Rupanya kedua anak lainnya pun pernah sekolah namun berhenti.

Alasan serupa pernah saya dengar dari anak jalanan lainnya yang ada di sekitar jalan Irian Wamena. Beberapa mengakui bahwa mereka ke kota dan menghisap Aibon setelah kabur dari rumahnya di Kampung. Mereka terpaksa ke kota karena orangtuanya sering marah karena anak-anak jarang ke sekolah. Sementara, anak-anak ini enggan ke sekolah karena jarang ada kegiatan belajar mengajar di sekolah. Tentu saja alasan anak-anak ini patut dibuktikan lagi. Namun pengakuan mereka ini pun mesti menjadi catatan serius bagi pemerintah untuk menangani masalah pendidikan.

Anak lainnya mengakui bahwa dirinya ke kota karena orangtuanya sudah meninggal dunia. Ada juga yang mengaku tidak bisa melanjutkan pendidikan karena orangtua tidak mampu.

Aibon, kini menjadi masalah serius bagi anak-anak di Kabupaten Jayawijaya. Perlu perhatian serius dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan ini. Anak-anak ini sudah terlalu sering dikasari. Mereka pun disebut sebagai "Anak - anak Aibon". Tak jarang anak-anak ini dianggap kriminal, suka mencuri dan berbagai stigma megatif lainnya.

Ketika ditanyakan beberapa anak mengaku pernah mencuri barang seperti ban mobil. Namun mereka mengakui bahwa mereka mencuri karena dipaksa oleh orang-orang dewasa dari kelompok tertentu. Orang-orang yang menyuruhnya kelihatan sangat taat hukum, namun anak-anak ini dipandang sebagai kriminal.

Mereka hidup di jalanan tanpa pendidikan, tak ada jaminan kesehatan, tak ada jaminan keamanan. Mereka hidup dengan bayangan masa depan yang suram. Beralaskan lantai emperan pertokoan yang bukan miliknya, setiap malam mereka tidur di bawah kolong langit berselimutkan karung bekas untuk sekadar menghangatkan badan dari dinginnya Wamena. Sementara sebagian besar dana yang bisa digunakan untuk "fakir miskin dan anak terlantar" dikorupsi oleh mereka yang kelihatan saleh karena rajin berdoa, berpakaian bersih dan selalu mengawali pidato atau sambutan dengan memanggil nama Tuhan.

Saturday, January 14, 2017

Kebingungan yang Tersisa dari Debat

Debat pertama Pilgub DKI Jakarta menyisakan banyak keanehan bagi sebagian masyarakat. Hal ini terkait banyaknya perbedaan data yang digunakan. Paling kurang ada beberapa hal yang bisa disebutkan di sini.

Pertama, soal kartu Jakarta one dan Satu Jakarta. Ini lebih khusus soal bagaimana peraturan untuk mengeluarkan kartu seperti itu. Hal ini perlu dijelaskan secara baik agar masyarakat tidak tertipu dengan kartu-kartu seperti itu. Hal ini penting karena Ahok mengungkapkan bahwa untuk mengeluarkan kartu seperti itu perlu kerjasama dengan BI. Artinya ada aturan yang mesti ditaati. Sementara AHY dan Sylvi seperti dengan mudah bisa mengeluarkan kartu saktinya itu.

Kedua, soal Dana Bantuan Langsung sementara BLSM yang akan diberikan oleh pasangan Agus Sylvi jika menjadi gubernur. Namun, Ahok dan Djarot justru heran bagaimana program yang sudah dihentikan seperti itu justru kembali ingin dilakukan lagi bahkan sebagai program unggulan. Perlu ada penjelasan yang memadai baik dari pihak Agus Sylvi maupun Ahok Djarot tentang apakah program seperti itu mungkin atau tidak.

Ketiga, soal pertanyaan Anies Sandi kepada Ahok tentang Alexis. Ahok malah menjawab “Ketika Pak Anies bilang tak berani tutup Alexis, kami sudah tutup stadium dan Miles. Ketemu narkoba kami tutup." Sepintas jawaban Ahok tidak sesui pertanyaan Anies, namunmenunjukkan fakta berbeda. Yang menjadi kebingungan adalah mengapa Anies mengabaikan data bahwa Ahok telah menutup Stadium dan Miles. Sebagai seorang yang pernah menjadi dosen, data seperti itu tak boleh diabaikan.

Keempat, soal Transportasi murah oleh Anies Sandi VS transportasi gratis yang telah dibuat Ahok Djarot. Anies Sandi akan membuat transportasi murah untuk semua jurusan hanya Rp 3.500 atau Rp 5.000. Hal ini menjadi aneh karena Ahok dan Djarot telah menggratiskannya bagi para pekerja dengan UMP. Artinya jika Anies Sandi terpilih maka, para pekerja dengan UMP akan kembali membayar transportasinya.

Kelima, soal normalisasi sungai tanpa menggusur. Pasangan Agus Sylvi menegaskan untuk membangun tanpa menggusur sementara Anies Sandi belum jelas apakah akan melakukan penggusuran atau tidak. Ahok Djarot sudah melakukan penggusuran untuk normalisasi sungai. Jika tujuannya adalah mengatasi masalah banjir maka normalisasi sungai adalah satu jalan yang sulit diabaikan. Karena itu penyempitan sungai dari lebar awal 30 meter menjadi 5 meter mesti dinormalisasi serti semula. Namun bagaimana normalisasi sungai itu dilakukan jika ada orang yang mendiami wilayah yang sebelumnya bagian dari daerah aliran sungai. Membangun kampung terapung tanpa melakukan normalisasi sungai yang artinya menggusur adalah tidak masuk akal. Sementara itu, tidak melakukan normalisasi sungai tetapi mengharapkan agar sungai bersih dan tidak banjir adalah mimpi siang bolong.

Alexis: Antara Ahok dan Anies

Pertanyaan Anies kepada Ahok dan Djarot tentang Alexis dalam debat pertama beberapa hari lalu menjadi satu keheranan dari banyak hal lainnya yang muncul dalam debat tersebut. Keheranan ini terjadi karena Anies mempertanyakan keberanian Ahok dan Djarot dalam menutup tempat prostitusi bernama Alexis sambil mengabaikan fakta bahwa Ahok dan Djarot telah menutup Miles dan Stadium serta membongkar prostitusi Kalijodo.

Baca juga : Kebingungan Yang Tersisa dari Debat
                       Secepat Kasus Ahok
                       Tentang Jakarta

Alexis, sama seperti Miles dan Stadium dipandang sebagai tempat maksiat. Karena itu, dengan penekanan pada moralitas sebagaimana terus disuarakan Anies dalam debat, tempat maksiat seperti itu harus berani ditutup. Anies tegas mengatakan agar tempat maksiat harus ditutup. Hal ini dikatakan sebagai upaya untuk membandingkan ketegasan dan  keberanian Ahok dan Djarot dalam menggusur. Secara sederhana dapat dikatakan, jika Ahok dan Djarot tegas dan berani menggusur masyarakat yang mendiami bantaran sungai, maka harusnya tegas dan berani pula menutup tempat maksiat.

Pertanyaannya harusnya bukan lagi apakah Ahok dan Djarot tegas dan berani menutup Alexis sebagai tempat maksiat melainkan mengapa Ahok dan Djarot belum menutup tempat maksiat tersebut. Hal ini adalah dua hal yang berbeda. Soal ketegasan dan keberanian menutup tempat maksiat tentu perlu diuji. Faktanya Ahok dan Djarot telah menutup Miles, Stadium dan Kalijodo yang tidak dilakukan oleh gubernur sebelumnya.

Penutupan Miles, Stadium dan Kalijodo pasti telah diketahui Anies. Namun mengapa Anies mengabaikan data tersebut? Sebagai seorang akademisi, data seperti itu tak boleh diabaikan karena data-data seperti itu akan mempengaruhi kesimpulan yang ditarik darinya. Pengabaian data tentang penutupan Miles dan Stadium itulah yang membuat Anies berkesimpulan bahwa Ahok tidak berani menutup Alexis  yang diduga menjadi tempat maksiat. Pengabaian data itu pulalah yang menyebabkan Anies tidak mempertanyakan mengapa Miles dan Stadium sudah ditutup sementara Alexis belum ditutup.

Mengetahi data namun mengabaikannya hanya terjadi jika ada maksud tertentu yang ingin dicapai dengan pengabaian data tersebut. Untuk akademisi, hal seperti itu harusnya tidak terjadi. Akademisi mesti mempertimbangkan keberadaan data-data lain yang terkait seperti itu. Hal ini tentu berbeda dalam kenyataan dunia politik kita selama ini. Hanya data yang mendukung tujuan sajalah yang serikali digunakan. Akibatnya kita bisa menyaksikan bagaimana seorang korban penculikan bisa dengan mudah berbalik dan mendukung sang penculiknya. Atau seorang lawan politik yang sebelumnya dikritisi habis-habisan bisa menjadi rekan untuk mencapai kekuasaan. Artinya, data yang digunakan sehingga menjadi lawan atau kawan sanganlah berbeda. Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh seorang akademisi.

Karena itu, kita memang mesti tetap bertanya mengapa Alexis yang bagi kebanyakan orang dipandang sebagai tempat maksiat belum ditutup oleh Ahok dan Djarot. Untuk itu jawaban Ahok menjadi pintu masuk yang bisa digunakan.

“Ketika Pak Anies bilang tak berani tutup Alexis, kami sudah tutup stadium dan Miles. Ketemu narkoba kami tutup,” demikian kata Ahok menjawabi Anies.

Artinya, mesti ada alasan yang cukup dan sesuai dengan peraturan yang ada untuk bisa mengambil suatu tindakan. Ini bukan hanya soal ketegasan dan keberanian tetapi soal alasan untuk bersikap tegas dan berani. Ahok dan Djarot menunjukkan bahwa tempat-tempat seperti Alexis pun akan ditutup jika ada pelanggaran hukum seperti jika ditemukan narkoba.

Sementara untuk memberantas narkoba perlu suatu kerjasama semua pihak mulai dari orangtua, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, para pendidik dan semua orang. Sayangnya saat menjadi Menteri, Anies pernah menolak permintaan BNN agar membuat kurikulum anti narkoba.

Apakah karena alasan inilah maka Anies mengabaikan data bahwa Stadium dan Miles sudah ditutup Ahok karena ada penemuan narkoba???

Friday, January 13, 2017

Secepat Kasus Ahok

Kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Ahok ke dalam ruang pengadilan berlangsung sangat cepat. Tak sampai seminggu, pelimpahan berkas dari Polri ke kejaksaan dinyatakan P21 dan selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Kejadian ini adalah sejarah di Indonesia. Kejadian ini juga menjadi jawaban atas keluhan banyak pihak terkait lamanya proses hukum di Indonesia. Kasus Ahok menunjukkan bahwa proses hukum yang cepat itu mungkin dan pasti bisa.

Meskipun hal ini sesungguhnya menggembirakan, namun sekaligus juga menyakiti banyak orang lain yang proses hukumnya sangat lamban bahkan terkesan jalan di tempat. Tentu saja jenis kasus turut mempengaruhi lama cepatnya proses hukum. Kasus yang sulit ditemukan alat buktinya  pasti membutuhkan waktu yang lebih lama dari kasus yang alat buktinya mudah ditemukan.

Akan tetapi kesulitan proses hukum sulit diterima jika hingga bertahun-tahun proses hukum tak berjalan. Kita ingat kasus pembunuhan Munir dan deretan kasus pelanggaran HAM tak juga ada tanda-tanda diusut. Kita juga ingat bagaimana daftar panjang kasus kekerasan aparat negara terhadap orang Papua yang belum bahkan tidak diusut. Kasus Paniai yang kini mulai dilupakan sudah dua tahun berlalu, Kasus pembunuhan Arnol Alua di Wamena yang hingga kita tidak diproses hukum dan ada banyak kasus lainnya yang terkesan diabaikan.

Kesulitan-kesulitan yang dihadapi aparat penegak hukum sulit diterima jika didiamkan tanpa transparansi kepada masyarakat soal kesulitan yang dihadapi. Masyarakat khususnya keluarga korban berhak untuk tahu status kasus hukum tersebut. Jadi diam bukanlah hal yang baik karena masyarakat terus menantikan kepastian keadilan hukum itu.

Melihat sangat cepatnya kerja aparat penegak hukum dalam memproses kasus Ahok, masyarakat mengharapkan agar tindakan cepat yang sama juga dilakukan terhadap kasus lainnya. Andai prosesnya secepat proses hukum kasus Ahok maka hal itu juga bisa menjadi efek jera bagi pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana serupa karena ada kepastian hukumnya.

Andai saja kasus Munir secepat kasus Ahok, tentu juga ada banyak energi yang dihemat dan tak perlu ada aksi Kamisan untuk mencari keadilan di negara hukum ini. Andai saja kasus Paniai secepat kasus Ahok, maka tak perlu bertahun-tahun keluarga korban menangis menanti keadilan bahkan hingga mencari keadilan melalui campur tangan pihak internasional. Andai saja pembunuhan Arnol Alua diproses hukum, keluarganya tak perlu semakin menjadi korban karena bersusah payah mencari keadilan yang tak kunjung tampak.

Andai saja secepat kasus Ahok......

Thursday, January 12, 2017

Kemana Jatah BBM untuk Yahukimo

Setelah kunjungan Jokowi di Dekai Yahukimo, APMS yang ada di jalan raya Dekai menuju Pelabuhan Lokpon kembali ditutup. Sebelum kedatangan Jokowi, APMS tersebut pun tidak dibuka secara rutin. Sementara satu APMS lainnya tetap dibuka kecuali stok BBM sedang kosong atau disampaikan sedang kosong.
Namun saat Jokowi datang, masyarakat mengakui bahwa APMS tersebut beroperasi. Selanjutnya sejak akhir november sampai saat ini, APMS tersebut selalu tertutup.

Stok BBM di kabupaten Yahukimo diangkut melalui sungai. Karena itu, persediaan BBM akan sangat bergantung pada debit air sungai. Jika musim kering, maka kapal pengangkut BBM pun akan kesulitan membawa BBM ke Dekai. Tak heran pada musim kering seringkali terjadi kekosongan BBM di Dekai. Pada pertengahan Desember hingga awal januari ini, stok BBM seringkali habis. Akibatnya harga BBM pun meningkat hingga lebih dari Seratus Ribu Rupiah.

Tentu saja mengharapkan kondisi alam yang baik akan menyebabkan ketidakpastian stok BBM untuk masyarakat Yahukimo. Karena itu upaya Jokowi untuk menerapkan satu harga BBM mestinya diikuti dengan upaya penyaluran BBM ke wilayah seperti Dekai.

Akan tetapi persoalan saat ini, sudah berbulan-bulan satu dari dua APMS tidak beroperasi. Artinya quota BBM yang harusnya disalurkan oleh APMS tersebut belum disalurkan. Pertanyaannya adalah kemana quota BBM tersebut?

Pertamina atau pihak APMS mesti menjelaskan kepada masyarakat alasan tidak beroperasinya APMS tersebut dan kemana Quota BBM yang mesti disalurkan oleh APMS tersebut? Transparansi menjadi penting karena banyak masyarakat yang kebingungan dengan keterbatasan BBM di Dekai sementara dalam keadaan seperti itu ada pihak lain yang memiliki Stok BBM dan menjualnya dengan mahal.

Tentang Jakarta

"Indonesia bukan hanya Jakarta" demikian kata orang jika berbicara tentang Indonesia dalam wacana akhir-akhir ini. Kalimat seperti ini mencuat seiring dengan meningkatnya tensi politik di Jakarta menjelang Pilgub. Semua media selalu berbicara tentang Jakarta. Tentang kasus Ahok yang dituduh menista agama, tentang saksi sidang Ahok, atau tentang pasangan nomor urut 1 yang ingin bagi-bagi uang. Semuanya tentang Jakarta.

Belum lagi konsentrasi media pada FPI dan pimpinannya yang dilaporkan telah menghina Pancasila, atau kasus Makar yang menjerat Ahmad Dhani dkk. Sebelumnya media pun ramai dengan kasus kopi sianida. Berbulan-bulan media sibuk menayangkan proses hukum hingga persidangan kasus kopi. Semua media ramai bicara tentang Jakarta, tentang orang-orang di Jakarta, tentang kejahatan di Jakarta dan tentang kehebatan Jakarta.

Sementara wilayah lain Indonesia jarang diberitakan. Padahal saat yang sama banyak wilayah akan melakukan pilkada seperti Jakarta. Banyak juga kasus pembunuhan bahkan oleh aparat negara. Atau banyak juga orang yang dijerat kasus makar. Namun, Indonesia seperti hanya soal Jakarta dan wilayah lain tak ada nilainya di hadapan Jakarta. Nyawa orang di luar Jakarta pun tak ada nilainya. Semua yang terjadi di luar Jakarta tak terlalu penting jika tidak menguntungkan Jakarta. Karena itu, tuntutan pemilik hak tim ad hoc di Papua terkait kelebihan pajak Freeport sejak 1991 hingga kini agar dikembalikan ke Pemprov Papua tak diperdulikan berbagai pihak termasuk media. Sementara soal habisnya izin ekspor konsentrat pt Freeport justru ramai diperbincangkan.  Dalam aturan, negara menerima 25% pajak penghasilan, namun faktanya negara mengambil 35%. 10% kelebihannya itulah yang dituntut agar dikembalikan ke pemprov Papua. Tapi siapa yang peduli?

Selama merugikan kepentingan atau memperburuk citra Jakarta atau pemerintah pusat, semuanya akan diam. Namun jika pemberitaan kondisi luar Jakarta bisa menguntungkan Jakarta, media akan ramai mengangkatnya. Kini soal izin eksport konsentrat tersebut akan terus dibicarakan tak peduli berapa banyak orang Papua yang dibunuh karena izin tersebut akan memberikeuntungan bagi Jakarta. Malam nanti, beberapa stasiun TV akan menayangkan secara langsung debat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Tak lama setelah debat usai, media online akan ramai mengangkat berita dan analisis tentang debat tersebut. Daerah lain beserta manusia dalamnya akan kembali dilupakan.

Hari Rabu 11 Januari lalu, seorang pemuda bernama Edison Matuan dianiaya secara kejam oleh 5 orang oknum Polisi. Dia dianiaya bahkan ketika sedang dalam Rumah Sakit Umum Wamena. Secara sadis dia diseret ke dalam ruangan UGD, kepalanya dipukul dengan popor senjata lalu dibenturkan ke tembok hingga akhirnya meninggal dunia. Namun siapa peduli? Ini tak ada urusan dengan Jakarta, jadi jangan harap akan jadi perhatian. Semua media nasional sedang sibuk membahas tentang debat nanti malam. Indonesia memang tentang Jakarta.