Saturday, January 14, 2017

Alexis: Antara Ahok dan Anies

Pertanyaan Anies kepada Ahok dan Djarot tentang Alexis dalam debat pertama beberapa hari lalu menjadi satu keheranan dari banyak hal lainnya yang muncul dalam debat tersebut. Keheranan ini terjadi karena Anies mempertanyakan keberanian Ahok dan Djarot dalam menutup tempat prostitusi bernama Alexis sambil mengabaikan fakta bahwa Ahok dan Djarot telah menutup Miles dan Stadium serta membongkar prostitusi Kalijodo.

Baca juga : Kebingungan Yang Tersisa dari Debat
                       Secepat Kasus Ahok
                       Tentang Jakarta

Alexis, sama seperti Miles dan Stadium dipandang sebagai tempat maksiat. Karena itu, dengan penekanan pada moralitas sebagaimana terus disuarakan Anies dalam debat, tempat maksiat seperti itu harus berani ditutup. Anies tegas mengatakan agar tempat maksiat harus ditutup. Hal ini dikatakan sebagai upaya untuk membandingkan ketegasan dan  keberanian Ahok dan Djarot dalam menggusur. Secara sederhana dapat dikatakan, jika Ahok dan Djarot tegas dan berani menggusur masyarakat yang mendiami bantaran sungai, maka harusnya tegas dan berani pula menutup tempat maksiat.

Pertanyaannya harusnya bukan lagi apakah Ahok dan Djarot tegas dan berani menutup Alexis sebagai tempat maksiat melainkan mengapa Ahok dan Djarot belum menutup tempat maksiat tersebut. Hal ini adalah dua hal yang berbeda. Soal ketegasan dan keberanian menutup tempat maksiat tentu perlu diuji. Faktanya Ahok dan Djarot telah menutup Miles, Stadium dan Kalijodo yang tidak dilakukan oleh gubernur sebelumnya.

Penutupan Miles, Stadium dan Kalijodo pasti telah diketahui Anies. Namun mengapa Anies mengabaikan data tersebut? Sebagai seorang akademisi, data seperti itu tak boleh diabaikan karena data-data seperti itu akan mempengaruhi kesimpulan yang ditarik darinya. Pengabaian data tentang penutupan Miles dan Stadium itulah yang membuat Anies berkesimpulan bahwa Ahok tidak berani menutup Alexis  yang diduga menjadi tempat maksiat. Pengabaian data itu pulalah yang menyebabkan Anies tidak mempertanyakan mengapa Miles dan Stadium sudah ditutup sementara Alexis belum ditutup.

Mengetahi data namun mengabaikannya hanya terjadi jika ada maksud tertentu yang ingin dicapai dengan pengabaian data tersebut. Untuk akademisi, hal seperti itu harusnya tidak terjadi. Akademisi mesti mempertimbangkan keberadaan data-data lain yang terkait seperti itu. Hal ini tentu berbeda dalam kenyataan dunia politik kita selama ini. Hanya data yang mendukung tujuan sajalah yang serikali digunakan. Akibatnya kita bisa menyaksikan bagaimana seorang korban penculikan bisa dengan mudah berbalik dan mendukung sang penculiknya. Atau seorang lawan politik yang sebelumnya dikritisi habis-habisan bisa menjadi rekan untuk mencapai kekuasaan. Artinya, data yang digunakan sehingga menjadi lawan atau kawan sanganlah berbeda. Hal ini seharusnya tidak dilakukan oleh seorang akademisi.

Karena itu, kita memang mesti tetap bertanya mengapa Alexis yang bagi kebanyakan orang dipandang sebagai tempat maksiat belum ditutup oleh Ahok dan Djarot. Untuk itu jawaban Ahok menjadi pintu masuk yang bisa digunakan.

“Ketika Pak Anies bilang tak berani tutup Alexis, kami sudah tutup stadium dan Miles. Ketemu narkoba kami tutup,” demikian kata Ahok menjawabi Anies.

Artinya, mesti ada alasan yang cukup dan sesuai dengan peraturan yang ada untuk bisa mengambil suatu tindakan. Ini bukan hanya soal ketegasan dan keberanian tetapi soal alasan untuk bersikap tegas dan berani. Ahok dan Djarot menunjukkan bahwa tempat-tempat seperti Alexis pun akan ditutup jika ada pelanggaran hukum seperti jika ditemukan narkoba.

Sementara untuk memberantas narkoba perlu suatu kerjasama semua pihak mulai dari orangtua, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, para pendidik dan semua orang. Sayangnya saat menjadi Menteri, Anies pernah menolak permintaan BNN agar membuat kurikulum anti narkoba.

Apakah karena alasan inilah maka Anies mengabaikan data bahwa Stadium dan Miles sudah ditutup Ahok karena ada penemuan narkoba???

No comments: