Thursday, September 26, 2013

Perempuan bukan Pelayan

suatu siang yang biasa, panas mentari terasa luar biasa membakar kesejukan yang kunikmati sejak pagi ini. Mengisi kegalauan siang itu, kuambil Pos Kupang dan menemukan berita tentang perebutan kursi Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.

Bagi saya, dunia politik di Indonesia sudah melorot hingga ke titik nadir. Karenanya, harapan lahirnya suatu semangat baru dengan sistem politik baru pun selalu memenuhi angan-anganku. Dan harapan itu saya tumpahkan pada lembaga pendidikan. Terlepas dari berbagai persoalan besar yang dihadapi dunia pendidikan kita, harapan akan munculnya perubahan dari  dunia pendidikan tetap tak tergantikan. Harapan ini tentu bukan tanpa alasan. Dunia pendidikan bagiku adalah tempat ilmu dipikirkan sebagai ilmu, ilmu dikonfrontasikan dengan kenyataan, ilmu diaplikasikan dalam kenyataan, dan kenyataan dipikirkan sebagai ilmu. Dengan demikian dunia pendidikan bisa meningkatkan ilmu pengetahuan setiap saat, tetapi juga dapat mendorong lahirnya dunia kehidupan yang lebih dari waktu ke waktu.

Atas dasar pandangan seperti ini, ketika cahaya dari korang Pos Kupang edisi 22 itu dipantulkan dan mengenai retina mata saya, tanganku yang biasanya tidak tenang kalau sedang membaca koran dipaksa untuk membatu. Terasa aliran darah begitu deras menuju kepalaku, memberikan suatu semangat tersendiri untuk melahap informasi itu.

Sayang semangat itu akhirnya membakar amarah di dada hingga aliran darah berdesir deras memenuhi dada.

Mungkin saya salah terlalu mengidolakan dunia pendidikan meski tahu bahwa dunia pendidikan sedang bermasalah dan bahkan lebih buruk dari politik di republik ini. Saya kadang berpikir, mungkin saya termasuk dalam golongan yang ingin merengkuh gelar dalam dunia pendidikan agar bisa mendapatkan pekerjaan. Ya dunia pekerjaan di Indonesia ini lebih mementingkan gelar dari pada keahlian, seolah-olah gelar yang tinggi selalu berjalan lurus dengan keahliannya.

Kembali ke dadaku yang sesak oleh amarah dan keheranan, sebagai seorang relawan yang sering berbicara dan memperjuangkan kesetaraan gender, membaca tanggapan seorang calon rektor Undana yang melihat bahwa perempuan itu tidak cocok menduduki jabatan penting karena akan lebih banyak mengurus rumah, anak dan suami, pikiran saya seperti tertabrak pada sebuah gunung pertanyaan.

Seakan tak percaya, mata saya kembali memelototi kalimat tersebut:

"....Sulit karena apabila pembantu rektor perempuan atau dari gender, maka akan sibuk dengan urusan lain seperti mengurus rumah, anak bahwakn suami sehingga nanti banyak minta izin dan pulan." demikian tangapan profesor YLH, salah satu calon rektor Undana sebagaimana ditulis Pos Kupang.

Kali ini, kepalaku terasa bermahkotakan beribu bintang, aku pusing karena kebingungan.
Di zaman dengan perjuangan kesetaraan gender yang sangat bergelora ini, cukup heran juga masih ada orang-orang dalam dunia pendidikan yang berpikiran bias gender.

Ingatan saya terbawa pada kisah-kisah masa lampau dalam masyarakat NTT ini. Dalam sebagian besar budaya NTT, perempuan tidak punya tempat dalam urusan pengambil kebijakan. Hidup perempuan lebih banyak berada di dapur dan berbagai pekerjaan domestik lainnya. Ini bukan karena perempuan tidak berkualitas, tetapi tidak diberikan posisi dalam pengambilan kebijakan hanya karena terlahir sebagai perempuan. Perempuan akhirnya hanya dilihat sebagai pembantu atau pelayan.

Kalau sekarang ada kebijakan affirmative action di Indonesia dengan kuota minimal 30 % perempuan dalam partai politik dan caleg di setiap daerah pemilihan, ini adalah suatu langkah baru yang harus selalu dikontrol. Sebab kebijakan affirmative action yang merupakan suatu bentuk intervensi positif agar perempuan mendapat peluang yang lebih besar justru bisa menjadi lahan baru memperalat perempuan sebagai pelayan. Ya kalau kuota 30% tersebut tidak dikontrol, maka pemenuhan kuota 30% tersebut seringkali hanya untuk memenuhi UU. Artinya perempuan diperalat untuk memenuhi ketentuan UU. Banyak perempuan direkrut seadanya saja, tanpa suatu kaderisasi, yang penting memenuhi ketentuan UU dan dengan demikian kepentingan penguasa politik selama ini tetap terjaga.

Kembali ke dunia pendidikan. Masalah ketidaksetaraan gender sudah menjadi masalah mondial dan bahan kajian dunia pendidikan. Pertanyaannya apakah dunia pendidikan di Indonesia dan NTT khususnya bisa lebih dalam lagi mengkaji persoalan gender ini sehingga bisa melahirkan suasana baru bagi masyarakat NTT??? Harapan besar tentunya berada di pundak para pegiat pendidikan agar budaya yang selama ini sering menyebabkan lahirnya kekerasan terhadap perempuan karena berbasiskan pandangan yang bias gender bisa diubah dengan budaya yang lebih menghargai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

No comments: