Sunday, September 29, 2013

Anak-Anak di PUB

Lanjutan tentang Perdagangan Orang
Geliat perdagangan orang dan eksploitasi seksual di Sikka saat ini erat kaitannya dengan PUB-PUB yang ada di Maumere. Jika kita menyusuri pantai utara kota Maumere, kita akan melihat belasan PUB berjejer. Meski harus tetap diakui bahwa PUB-PUB itu memiliki nilai positif sebagai tempat yang mengakomodasi keingingan masyarakat akan rekreasi (tempat sah untuk berkaraoke dan minum-minuman beralkohol), eksploitasi terhadap perempuan dan anak di PUB-PUB tersebut adalah persoalan serius yang patut segera ditanggapi.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Divisi Perempuan TRUK-F telah menangani belasan anak korban perdagangan orang yang dipekerjakan di PUB-PUB di Maumere.


Sekali lagi, tentu saja data ini adalah puncak gunung es yang bisa kita ketahui karena korban meminta bantuan TRUK-F. Ada banyak korban yang tidak kita ketahui. Tentang hal ini, saya teringat akan suatu kejadian pada akhir Juni 2013 lalu. Saat itu, Divisi Perempuan TRUK-F sedang menangani tiga orang anak (15 dan 16 tahun) yang dijemput Polisi pada Polres Sikka dari salah satu PUB di Maumere. Ketiga anak ini dijemput polisi atas laporan keluarga mereka di Makasar.

Ketiga anak tersebut masih sekolah di salah satu SMA di Makasar. Ketiganya direkrut dengan janji akan bekerja di sebuah restoran selama sebulan di Denpasar. Dengan iming-iming gaji yang tinggi, ketiga anak ini pun setuju dan mengikuti sang calo. Ternyata mereka dibawa ke Maumere dan dipekerjakan di sebuah PUB di Maumere. Selama di PUB mereka bersama belasan gadis lainnya dieksploitasi hingga ketiganya tidak tahan dan segera menginformasikan kepada keluarganya di Makasar. Tepat dua minggu mereka bekerja di PUB tersebut, polisi menjemput ketiganya.

Divisi Perempuan TRUK-F yang memiliki shelter satu-satunya di Maumere akhirnya menjadi tempat penampungan sementara bagi ketiga anak ini sambil menunggu jadwal pemulangan. Karena ini masih ada beberapa orang anak yang ada di PUB tersebut, pihak kepolisian langsung kembali ke PUB tersebut. Di sana pihak PUB berjanji akan segera memulangkan anak-anak di bawah umur. Benarlah, dua hari kemudian, 7 orang anak di bawah umur dikirim pulang via kapal laut.




 Kenyataan seperti ini memperjelas bahwa tindak pidana perdagangan orang di Sikka yang melibatkan PUB-PUB sangatlah tinggi.  Akan tetapi, selama beberapa tahun ini, kebanyakan korban dari PUB hanya dipulangkan tanpa proses hukum. Padahal UU No 21 Tahun 2007 memiliki banyak terobosan yang memudahkan proses hukum kasus trafficking. Hal ini menjadi persoalan karena pihak kepolisian masih "belum terbiasa" dengan UU yang baru itu dan masih menggunakan KUHAP. Akibatnya untuk pembuktian menjadi sulit. Kalau menggunakan UU No. 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), hanya dibutuhkan dua alat bukti sedangkan dalam KUHAP harus lima alat bukti agar suatu kasus bisa diproses lebih lanjut.

Selain itu, korban masih belum berani untuk memproses kasusnya. Hal ini disebabkan adanya rasa malu karena sudah bekerja di tempat-tempat seperti itu. Bagi korban, kalau informasi bahwa mereka pernah bekerja di PUB tersebar maka masyarakat akan selalu memandang mereka sebagai perempuan "tidak baik". Hal ini membuat mereka tidak berani untuk memproses kasus yang dialaminya.