Wednesday, June 5, 2013

Absennya Negara dan Partai Politik dalam Pendidikan Politik (Refleksi setelah Workshop Pendidikan Politik I)

Workshop Pendidikan Politik bagi Perempuan (3-5 Juni 2013) yang diselenggarakan Divisi Perempuan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) bekerja sama dengan Mensen met een Missie (Belanda) dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kab. Sikka akhirnya selesai. Narasuber dalam Workshop ini adalah DR. Kunthi Tridewiyanti (Komnas Perempuan), Dr. Yovita Anike Mitak (Biro Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi NTT, DR. Otto Gusti (Dosen Filsafat Politik pada STFK Ledalero), Ignas Ledot (Dosen Liturgi pada STFK Ledalero), dan Hubert Thomas (Peneliti pada Puslit Candraditya Maumere). Dalam Workshop ini ada 24 caleg perempuan dari 10 Partai yang hadir(Yang diundang 30 Orang dari 12 Partai Politik). dari Workshop ini ditemukan bahwa, banyak perempuan direkrut Partai Politik hanya menjelang Pemilu dan terkesan hanya untuk memenuhi minimal 30% keterlitaban Perempuan dalam Politik sebagaimana ditetapkan UU. Selain itu, Ditemukan juga bahwa banyak caleg Perempuan yang belum mendapat pendidikan politik secara memadai. Hal ini menguak fakta bahwa Pemerintah dan Partai Politik masih sangat minim melakukan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya bagi para caleg. Padahal untuk Kabupaten Sikka, Pemerintah telah mengalokasikan dana pendidikan politik untuk setiap Parpol sebesar Rp 4.500/Suara/tahun. Kalau TRUK-F bisa menyelenggarakan pendidikan politik, Ini sebenarnya sesuatu yang harus membuat Pemerintah dan Partai Politik MALU...
Pertanyaannya: apa sebenarnya pendidikan politik itu?
Secara sederhana, pendidikan politik itu adalah upaya penyadaran bagi masyarakat akan hak, kewajiban, tanggung jawab, akses, dan manfaat politik setiap warga negara. Dengan penyadaran akan hal-hal itu, diharapkan warga negara bisa berpartisipasi dalam politik. Partisipasi di sini tidak hanya soal partisipasi dalam memilih pemimpin atau wakil rakyat. Hal ini sangat penting dalam suatu masyarakat demokratis. Tanpa partisipasi warga negara dalam politik, demokrasi hanyalah sesuatu yang semu. Demokrasi hanyalah soal prosedur dan belum menyentuh substansinya.
Apa akibatnya kalau demokrasi hanya urusan prosedur? masyarakat dijadikan alat menggapai kekuasaan. Warga negara dijadikan alat dan tidak dihargai sebagai subjek yang harus dihargai. Sebagai alat, warga negara tidaklah penting, yang penting adalah tujuannya. Tujuan itu adalah kekuasaan. Karena hanyalah alat, maka warga negara tidaklah penting dan tidak perlu diperhatikan kalau alat itu tidak dibutuhkan. Sebagaimana alat-alat yang sedang tidak digunakan ditelantarkan di gudang, demikian pun rakyat seringkali ditelantarkan. Rakyat hanya diperhatikan menjelang pemilu. Karena dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menentukan pemilu. dengan cara pandang bahwa rakyat hanyalah alat, maka rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu untuk melegitimasi kekuasaan. 
Ya rakyat yang dipandang sebagai alat akan terus ditelantarkan selama tidak dibutuhkan (tidak ada pemilu). entah rakyat itu miskin, melarat, sengsara, menderita, dan berbagai kesusahan lainnya, rakyat akan tetap tidak diperhatikan selama tidak dibutuhkan. 
Keadaan seperti ini tentu saja akan terus dipelihara para penguasa, entah itu penguasa negara maupun penguasa politik. Untuk mempertahankan keadaan seperti itu, maka masyarakat sebagai pemilik kekuasaan harus dibiarkan tetap sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Agar tetap sebagai alat, masyarakat harus tetap "dijaga" untuk tidak mengetahui bahwa ia adalah alat.  Karena itu, pendidikan politik yang menjadi tanggung jawab negara dan partai politik untuk menyadarkan masyarakat akan hak-haknya sehingga tidak menjadi alat, harus "ditiadakan".
Saya berpikir bahwa Politik itu adalah tentang kepentingan. Dan Kepentingan para Penguasa dan Para Pemimpin Partai Politik adalah agar kekuasannya tetap langgeng dan tidak diganggu. Maka salah satu cara agar hal itu tercapai adalah membiarkan masyarkat tetap "buta" terhadap politik. Untuk itu, pendidikan Politik untuk masyarakat tidak perlu dibuat.
Kalau demikian, apakah masyarakat masih perlu mengakui para pemimpin negara ini dan partai politik????
Kalau tidak, tidak cukup diperlukan adanya reformasi untuk membawa perubahan. Kita butuh REVOLUSI untuk mengubah keadaan seperti ini.
Perempuan direkrut jadi caleg: kebanggaan atau Penghinaan (Refleksi setelah Workshop Pendidikan Politik 2)

No comments: