Monday, October 14, 2013

Bunda Putri VS Kamisan : Respon Kilat VS Kebisuan SBY

Dalam sepekan terakhir, nama Bunda Putri menjadi subjek diskusi politik di negara ini. Sekonyong-konyong saja perempuan ini menjadi sangat terkenal. Adalah keterkaitannya dengan Presiden RI, SBY dan sejumlah menterinyalah yang membuat perempuan ini ramai didiskusikan. Entah benar atau tidak, tetapi kesaksian mantan presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) pada pengadilan tipikor bahwa Bunda Putri adalah orang dekat SBY dan menjadi pengatur kuota Impor Daging Sapi dan menjadi penghubung antara dewan pembina partai, telah menggangu kenyamanan SBY dan sejumlah Menterinya.

Akibatnya SBY secepat kilat merespon hal ini. Respon kilat SBY ini tentu saja sangat berbeda dengan kebiasaannya selama ini yang lambat dan tidak tegas dan tidak jelas. Alhasil, respon kilat SBY ini menjadi kelihatan sangat berlebihan, apalagi ditambah dengan kata-kata yang terkesan bombastis "2000 % bohong".

Bagi saya, respon kilat SBY ini sangatlah berlebihan bukan karena dia tidak pantas untuk menanggapi pemberitaan ini tetapi karena SBY seolah-olah baru muncul saat ada masalah yang berhubungan dengan diri, keluarga atau partainya. Bukan rahasia lagi bahkan bisa dilihat sebagai model kepemipinan SBY bahwa ia lebih banyak diam atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Persoalan Ahmadyah, pembakaran berbagai gereja, atau kasus sampang misalnya bisa menunjukkan ketidakjelasan sikap SBY. Ini persoalan intoleransi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, dan karena itu SBY sebagai presiden negara Pancasila ini seharusnya mengambil sikap yang jelas atas persoalan ini. Kenyataannya SBY lebih memilih mengambil sikap diam dan membiarkan Pancasila remuk bersamaan dengan jatuhnya korban.

Namun, ketika sebagian besar masyarakat Indonesia menolak penghargaan bagi SBY atas kerjanya menjamin  toleransi di Indonesia, SBY dengan cepat merespon dan berjuang agar penghargaan itu harus tetap diterimanya. Padahal sangat jelas ada banyak kasus intoleransi yang terjadi di depan mata tetapi tidak ada tanggapan yang jelas. Pertanyaannya atas prestasi apa SBY diberi penghargaan ini? Ataukah penghargaan ini adalah suatu sinisme dan dengan demikian seharusnya disadari SBY agar bisa merebut penghargaan yang sesungguhnya yaitu saat Intoleransi hilang dari bumi nusantara ini. Nyatanya setelah menerima penghargaan ini, SBY kembali diam atas persoalan intoleransi yang terjadi.

Kini masyarakat Indonesia disadarkan akan adanya presiden saat respon kilat dan bombastis presiden ini diharapkan bisa membersihkan citra SBY yang terancam dinodai kesaksian LHI.

Respon kilat SBY ini akan menjadi sangat menyakitkan jika kita melihat Aksi Diam Kamisan di depan Istana Negara. Aksi Diam di depan istana negara atau yang sering disebut Kamisan, merupakan aksi berdiri di depan istana negara untuk menuntut pemerintah RI menyelesaikan berbagai pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM) di Indonesia ini. Aksi yang telah dimulai sejak 18 januari 2007 ini bermaksud untuk mengingatkan pemimpin negara ini bahwa semua orang yang malakukan kesalahan apalagi pelanggaran atas HAM haruslah dihukum. Kenyataannya, para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia ini berkeliaran bebas dan tidak tersentuh hukum. Melawan impunitas inilah, setiap kamis diadakan aksi diam tersebut.

Akan tetapi, sudah dapat diduga kalau SBY yang tiap hari kamis mendapat surat dari para keluarga korban dan aktivis memiliki suatu kepastian sikap yakni diam membisu. SBY hampir tidak punya sikap lain terhadap aksi kamisan ini selain sikap diam.

Tentu saja respon kilat Presiden SBY atas pernyataan LHI sungguh sangat menyakitkan para keluarga korban dan aktivis yang setiap kamis berdiri di depan istana negara untuk menggugah kesadaran presiden SBY untuk merespon berbagai persoalan kemanusiaan yang ada.

Kadang Diam itu Emas. dalam kasus Bunda Putri lebih tepat kalau SBY sebagai presiden bersikap diam dan membiarkan proses hukum yang membuktikannya. Tetapi Diam itu juga adalah bencana, karena sebagai Presiden, diam adalah sikap membiarkan kejahatan yang terjadi terus berlangsung. Dalam konteks ini, Sikap diam SBY sebagai presiden adalah suatu pembiaran atas pelanggaran HAM yang terjadi, dan karena itu melanggar HAM juga.