Sunday, December 20, 2015

Alergi Dengan "Merdeka" (Bagian IV)





Konsekuensi lanjutan dari kondisi seperti itu adalah wilayah Papua akan senantiasa dijaga agar tidak terpisah dari Indonesia sementara manusia Papuanya bisa dibunuh atau dibiarkan mati tanpa perawatan. Demikianlah jika hanya wilayah teritorial saja yang menjadi bagian integral dari Indonesia sementara manusia Papua tidak pernah diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan masyarakat Indonesia di wilayah lain Indonesia. Hal ini semakin nyata dalam ekploitasi terhadap kekayaan alam Papua. Tanpa memperhatikan masyarakat Papua yang sangat dekat dengan alam dan hidup dari alam, alamnya dihancurkan untuk mengeksploitasi kekayaan yang terkandung dalamnya. Akibatnya masyarakat Papua menjadi terasing dari sumber kehidupannya dan tercerabut dari akar budaya dan lingkungan hidupnya sendiri.

Kondisi seperti inilah yang sesungguhnya dinamakan dengan penjajahan itu. Masyarakat Papua dijajah demi pengerukan kekayaan alamnya. Maka ketika orang Papua atau orang yang peduli tentang kondisi masyarakat Papua berteriak merdeka, sesungguhnya tersirat suatu gugatan terhadap negara ini akan tindakan penjajahan yang selama ini dilakukan terhadap orang Papua. Tentu saja ini baru dilihat dari Prinsip "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Jika merujuk pada sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, situasi penjajahan itu menjadi jelas.

Namun, masyarakat Papua yang meneriakan persoalan ketidakadilan sosial seperti itu pun distigma sebagai Seperatis. Padahal masyarakat Papua sedang menuntut haknya sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat Papua itu sendiri.Maka ketika negara menstigma masyarakat Papua karena menyuarakan hak-haknya siapakah yang sesungguhnya Separatis?

Menyuarakan kepada negara tentang persoalan keadilan sosial mengandaikan bahwa pihak yang menyuarakan hal itu adalah bagian dari negara bersangkutan atau paling kurang mengakui bahwa negara bertanggung jawab atas kehidupannya yang layak. Dengan demikian ketika masyarakat Papua menyuarakan persoalan ketidakadilan sosial yang dialaminya berarti masyarakat Papua sedang menuntut tanggung jawab negaranya terhadap kehidupannya yang layak. Namun ketika mereka yang bersuara itu distigma sebagai separatis, maka yang separatis sesungguhnya bukanlah masyarakat itu tetapi aparat negara yang memberi stigma itu. Sebab dalam kehidupan bernegara, masyarakat memiliki hak yang sama dan negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak masyarakatnya. Dengan demikian stigma separatis terhadap masyarakat Papua yang berseru tentang ketidakadilan sosial yang dialaminya adalah tindakan kaum separatis yang memisahkan Papua dalam konteks keadilan sosial dari seluruh masyarakat Indonesia di wilayah lainnya.

Ketika negara dalam diri aparaturnya bertindak secara diskriminatif terhadap orang Papua maka aparat negara itu telah melanggar prinsip hidup dalam negara ini. Dengan demikian aparat negara itu adalah separatis. Separatis di sini hendaklah tidak dilihat hanya sebagai upaya pemisahan wilayah oleh orang yang berada di wilayah tersebut. Pembedaan perlakuan terhadap masyarakat Indonesia di suatu wilayah juga merupakan suatu pemisahan wilayah karena menganggap masyarakat di wilayah tersebut bukan bagian dari masyarakat Indonesia. Yang terjadi di Papua selama bertahun-tahun adalah seperti itu, masyarakat Papua tidak dianggap dan diperlakukan sebagai masyarakat Indonesia tetapi sebagai orang Papua yang bukan merupakan wilayah Indonesia. Dengan demikian kelompok separatis sesungguhnya adalah aparat negara yang melanggar prinsip hidup bernegara di Indonesia dan memperlakukan masyarakat Papua sebagai bukan masyarakat Indonesia. Jika diungkapkan dengan kata-kata lain, yang menginginkan Papua berpisah dari Indonesia bukan hanya orang Papua sendiri yang merasa dijajah tetapi juga aparat negara Indonesia yang memperlakukan Papua sebagai negara lain yang ada di Indonesia.



Saturday, December 19, 2015

Alergi Dengan "Merdeka" (Bagian III)



Ketika orang Papua berbicara tentang Merdeka maka akan ditangkap sebagai separatis. Kata separatis selalu melekat dengan orang Papua bahkan ketika orang Papua tidak berbicara tentang merdeka. Stigma sebagai separatis selalu dilekatkan kepada orang Papua apa pun yang dibicarakan, baik itu soal demokrasi, kebebasan berekspresi pun soal ketiadaan pelayanan kesehatan dan pendidikan di Papua yang memang parah dan sangat memprihatinkan.

Kata separatis menjadi padanan yang tepat dan selalu bersanding dengan isu merdeka. Namun kata merdeka dan separatis memiliki makna yang berbeda meski untuk orang Papua selalu dengan konsekuensi yang sama. Kata Merdeka mengandaikan adanya penjajahan sementara separatisme berarti keinginan untuk memisahkan diri. Merdeka berarti bebas dari kondisi dijajah, sementara separatisme berarti memisahkan sebagian wilayah dari suatu kesatuan. Merdeka dengan demikian mengandung adanya keterpisahan antara sesuatu yang dijajah dengan pihak yang menjajah. Keduanya tidak pernah menjadi satu. Sementara Separatisasi mengandaikan adanya kesatuan yang kemudian ingin dipisahkan.Namun kedua terminologi ini untuk konteks Papua senantiasa mengancam nyawa orang Papua.

Pertanyaan penting yang mesti dijawab oleh negara Indonesia dan aparatnya yang alergi dengan kata Merdeka adalah apakah benar Papua sungguh menjadi bagian dari kesatuan Indonesia? Kalau Papua sungguh menjadi bagian integral dari Kesatuan Negara Indonesia ini maka kata merdeka menjadi tidak relevan dan karena itu para aparat negara tidak perlu alergi dengan kata itu. Namun konsekuensi lanjutnya adalah apa yang telah dilakukan negara ini terhadap Papua sehingga Papua sungguh-sungguh menjadi bagian dari Indonesia bukan hanya sekadar suatu bagian dari wilayah teritorial yang dijaga oleh TNI/Polri?

Untuk melihat kesatuan tersebut, tentu saja mesti berpedoman pada prinsip yang dihidupi di Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin mengangkat satu prinsip yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan menggunakan salah satu dari Kelima Sila Pancasila tersebut, kita diajak untuk melihat sejauh mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu terjadi di Papua. Tentu saja masyarakat dari wilayah lain akan katakan bahwa di wilayahnya pun keadilan sosial itu masih sebuah mimpi. Namun jika melihat kondisi Papua, siapa pun akan mengakui bahwa Papua itu tidak termasuk dalam prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu. Dengan Kata lain, Masyarakat Papua itu sesungguhnya tidak pernah diperlakukan sebagai masyarakat Indonesia. Sebab di Papua, ketidakadilan itu tampak jelas. Masyarakat dibiarkan sakit dan mati tanpa adanya petugas kesehatan dan perlengkapan yang memadai, anak anak tidak bisa sekolah karena ketiadaan guru, harga Bensin pun mencapai hingga Rp 200.000.

Dengan kondisi demikian apakah Papua merupakan bagian integral dari Indonesia??? Kalaupun Papua menjadi bagian integral dari Indonesia, maka itu hanyalah wilayah teritorial dan kekayaan alamnya, sementara manusia Papua itu sendiri tidak pernah diperlakukan sebagai bagian dari Indonesia.

Baca Juga Bagian IV

Alergi dengan "Merdeka"??? (Bagian II)



Bentuk-bentuk alergi terhadap kata Merdeka ini sangat tampak di Papua. Masyarakat Papua sejak bergabung dengan Indonesia terus menerus ditangkap dan dibunuh karena kata Merdeka itu. Sementara itu, kekayaan alam Papua yang luar biasa besarnya habis dikeruk untuk kepentingan Negara.Alam Papua pun hancur. Padahal masyarakat Papua sangat dekat dengan alam dan telah melindunginya selama bertahun-tahun.Namun, segala bentuk protes akan berarti menjadi separatis dan dengan itu pantas dibunuh sehingga para pembunuhnya pun menjadi pahlawan.

Namun apakah benar negara ini alergi dengan kata Merdeka?

Ketika musim kampanye atau dalam rangka memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kata merdeka menjadi sangat familiar di telinga dan mulut masyarakat Indonesia.Atau ketika memandang Palestina yang terus berperang melawan Israel, Negara Indonesia ini dengan keras mengutuk Israel dan berteriak untuk kemerdekaan Palestina. Tentu kata Merdeka bukanlah sesuatu yang alergic bagi negara ini.
Namun ketika orang Papua berteriak merdeka maka kata itu serentak berubah menjadi bahaya yang harus dibasmi dengan senjata dan kekerasan.

Dengan demikian, aparat negara ini tidak alergi dengan kata Merdeka tersebut tetapi alergi terhadap orang Papua yang bersikap kritis dan menyerukan kata Merdeka. Maka selama kata Merdeka itu digunakan oleh orang lain untuk konteks lain, aparat Negara ini akan mendukung sepenuhnya, namun jangan sekali-kali digunakan untuk konteks Papua atau disebutkan oleh orang Papua. Maka kemerdekaan itu memang hak segala bangsa kecuali bangsa Papua dan Penjajahan di atas Bumi ini memang harus dihapuskan kecuali penjajahan terhadap bangsa Papua karena kemanusiaan dan keadilan tidak berlaku di Papua dan untuk orang Papua.

Baca juga Bagian III

Alergi Dengan "Merdeka"???? (Bagian I)


Mahasiswa Papua dalam Mobil Tahanan
(Foto: #PapuaItuKita)
Sekali lagi dalam sebulan terakhir mahasiswa asal Papua ditangkap di Jakarta. Kali ini 23 orang mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi mahasiswa Papua (AMP) yang ditangkap. Sebelumnya ada 300-an orang ditangkap. Semua penangkapan itu terkait dengan Papua, entah orang Papua yang ditangkap atau orang-orang yang mengangkat isu Papua. Penangkapan-penangkapan ini terjadi di Ibu Kota Negara Kasatuan Republik Indonesia. Jika kita melihat kejadian serupa di wilayah lain, khususnya di Papua sendiri, angka itu akan membumbung tinggi. Pertanyaannya: ada apa dengan Papua?

Tentu pertanyaan itu ketika diajukan kelihatan bodoh. Sebab penangkapan bahkan penembakan dan pembunuhan orang Papua itu sudah terlalu sering. Demikian pula penutupan akses Papua terhadap dunia luar pun sudah terlalu sering didengar. Isu Papua selalu ditekan dan orang Papua selalu ditangkap dan dibunuh.Semua orang pun tahu hal itu. Alasan tindakan represif negara pun menjadi jelas ketika melihat berbagai penangkapan dan pembunuhan terhadap orang Papua tersebut.

Penangkapan oleh Kepolisian Polda Metro Jaya terhadap 23 orang mahasiswa asal Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua di Jakarta kali ini semakin memperjelas posisi negara di hadapan orang Papua dan isu Papua. Kalau selama ini, kata "MERDEKA" tidak pernah boleh muncul di Papua jika tak ingin ditangkap dengan pasal Makar, maka kali ini kata yang sama dilarang diucapkan di Jakarta, tempat negara ini senantiasa mendengungkan bahwa "Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu segala penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Namun bunyi pembukaan UUD 1945 tersebut harus segera ditambahkan dengan "terkecuali untuk bangsa Papua". Bagaimana tidak, 23 mahasiswa Papua itu ditangkap karena kata merdeka itu. Aparat kepolisian pun tak tinggal diam dan segera menangkap para mahasiswa yang meneriakan kata Merdeka itu. Polisi ternyata alergi dengan kata Merdeka.

Akan tetapi, jika merenungkan kembali bunyi kalimat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, secara jelas terungkap bahwa Merdeka bukan hanya sebuah kata tetapi mengandung perjuangan. Perjuangan di sini adalah perjuangan untuk menghapus segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini. Maka Merdeka selalu berarti berlawanan dengan penjajahan. Dengan demikian kalau polisi alergi dengan kata Merdeka, sesungguhnya polisi menghendaki penjajahan atau ingin menjajah.

Baca juga Bagian II

Thursday, December 17, 2015

Papa Minta Saham, Papua Minta Apa?

Foto seorang ibu yang sakit dengan kedua anaknya di dalam rumah mereka ini diunggah melalui jejaring sosial facebok milik akun Yan Akobiarek.

Tindakan Setya Novanto, Ketua DPR Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah "Papa Minta Saham" mempertegas sekaligus membuat menjadi benderang proses eksploitasi Papua yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Entah kata apa yang bisa digunakan untuk sikap seperti ini, yang jelas selama bertahun-tahun Papua menjadi ladang penghasilan Indonesia sekaligus para pejabatnya.Namun di balik semua gerakan tambahan yang dilakukan Novanto sebagai Ketua DPR RI, ada suatu kisah panjang yang memilukan bangsa Papua tetapi sering dilupakan bangsa Indonesia. Tentu sangat sulit dikatakan bahwa para pejabat seperti Novanto tidak tahu apa yang terjadi terhadap orang Papua sebagai pemilik kekayaan alam yang diambil Indonesia dan Amerika sejak bertahun-tahun lalu.Semua pejabat itu tahu, tetapi matanya telah tertutup kemilau emas di Bumi Papua.

Sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah sejarah eksploitasi kekayaan alam dan manusia Papua oleh Indonesia. Bagaimana tidak, sebelum Papua diintegrasikan atau dipaksakan untuk menjadi bagian dari Indonesia, Kesepakatan eksploitasi emas oleh Freeport sudah dilakukan. PEPERA baru terjadi tahun 1969 tetapi emasnya sudah menjadi milik Indonesia jauh sebelum PEPERA. Integrasi Papua ke dalam Indonesia ini  adalah upaya mengerukkan kekayaan Papua dan bukan karena Papua benar-benar disadari sebagai bagian dari Indonesia. Menyatakan bahwa Papua adalah bagian inheren dari Indonesia adalah suatu upaya menyembunyikan keinginan untuk mengeruk kekayaan Papua.

Kasus Papa Minta Saham bisa jadi bukanlah peristiwa pertama yang terjadi terhadap kekayaan Papua. Besar kemungkinan kasus seperti ini banyak terjadi, hanya saja tidak terungkap. Jika mengikuti berbagai analisa tentang pembunuhan Kenedy dan lengsernya Soekarno, hal serupa dengan Papa Minta Saham sesungguhnya telah terjadi sebelumnya. Jabatan sebagai Presiden yang diperoleh Soeharto adalah bentuk lain dari Papa Minta Saham.Kalau Novanto disidangkan MKD lalu mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI, Soeharto bahkan menjadi Bapak Pembangunan-termasuk pembangunan perusahan Freeport Indonesia di Papua- dan setelah meninggal diusulkan menjadi pahlawan.

Namun setelah lebih dari setengah abad Indonesia menguasai Papua, dan telah terjadi banyak kejadian Papa Minta Saham yang kebetulan belum terungkap, rakyat Papua dapat apa? Kalau bukan dapat peluru, siksaan, kemelaratan dan kemiskinan, rakyat Papua dapat penghargaan dalam kata-kata manis 'pemilik tanah yang kaya raya'. Saat Papa Novanto minta-minta Saham, ada banyak orang Papua meninggal dunia karena penyakit yang bisa disembuhkan namun tak ada tangan-tangan penyembuh di puskesmas. Saat Papa sibuk minta saham, Papa lupa ada banyak orang Papua yang minta Obat saja susah. Saat Papa-papa minta saham terus minta lobster sampai minta mundur, orang-orang Papua susah minta guru.

Sementara Papa-Papa di Jakarta makin rakus makan kekayaan Papua, Orang Papua dipaksa beli Bensin dengan harga hingga Rp 200.000. Orang-orang di Jakarta hingga Amerika sibuk bersaing dalam gaya dengan emas bergantungan di mana-mana, rakyat Papua masih pusing bagaimana agar sagu dan ubi masih tetap ada untuk anak cucunya.Padahal emas-emas yang mengkilau di leher mereka itu dari alam Papua.Lalu Papa-Papa katakan Papua itu Indonesia dan banyak uang telah dikirim ke Papua. Tapi Papa-Papa itu sengaja tidak tahu bahwa uang yang banyak dikirim ke Papua habis untuk beli Bensin yang berharga Rp 200.000 atau untuk beli Semen seharga Rp 1.500.000 bahkan lebih. Lalu kalau orang Papua protes, dengan mudah dikatakan sebagai separatis.
Baca juga tentang Kelangkaan dan mahalnya harga BBM

Namun siapakah separatis sesungguhnya? Masyarakat Papua yang minta merdeka karena merasa dijajah atau papa-papa yang jual Papua ke Amerika Cs. Atau dengan bunyi Pancasila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" masih pantaskah Papua dilihat sebagai bagian dari Indonesia? Kalau keadilan sosial itu tidak ada di Papua, maka negara Indonesia sesungguhnya tidak pernah menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia, kecuali kekayaannya.Kalau di Jawa masyarakat Indonesia bisa membeli Bensin dengan harga tujuh ribuan Rupiah, sementara di Papua hingga Dua Ratusan Ribu Rupiah, apakah salah jika kita memandang bahwa Pemerintah Indonesia selama ini sedang membentuk negara Papua?

Maka kalau Papa-papa sibuk minta saham untuk terus mengeruk kekayaan orang Papua sambil membiarkan sekaligus membunuh orang Papua, apakah salahnya jika orang Papua minta untuk tidak dijajah atau bebas????